Era Disrupsi dan Pendidikan

ERA disrupsi dewasa ini sudah merambah berbagai sendi kehidupan manusia. Era ini ditandai dengan semakin masifnya pemanfaatan teknologi yang melibatkan berbagai peranti digital dengan didukung koneksi internet. Penggunaan teknologi ini menjadi revolusi tersendiri dalam sistem kehidupan manusia. Segala aktivitas manusia yang awalnya masih memerlukan pertemuan maupun kehadiran fisik, kini diambil alih secara drastis oleh peranti yang dapat mengontrol dan mengelola aktivitas tersebut tanpa kehadiran fisik manusia. Saat ini, pemanfaatan perangkat seperti komputer, laptop, maupun telepon seluler dengan dibantu koneksi internet telah mampu mengubah wajah kehidupan manusia secara global.

Fenomena yang sangat mudah ditemui saat ini adalah semakin maraknya penggunaan ponsel cerdas (smartphone) untuk membantu aktivitas manusia dengan berbagai kepentingannya. Pemanfaatan kecerdasan buatan (artificial intelligence) membuat teknologi ini hadir membantu pekerjaan manusia dalam berpikir, merancang, merencanakan, dan membuat keputusan untuk semua keperluannya. Untuk bepergian, misalnya, penumpang moda transportasi tertentu tidak perlu lagi datang dan antre di loket untuk membeli tiket. Cukup buka aplikasi penyedia tiket, maka tiket pun didapat lebih cepat. Demikian pula untuk belanja berbagai keperluan, kini sudah tersedia berbagai aplikasi belanja daring (online).

Penggunaan teknologi tersebut secara masif semakin mendapatkan momennya saat pandemi Covid-19 melanda dunia. Pandemi yang menyebar melalui kontak antarmanusia dalam waktu cepat dan luas ini memaksa manusia di seluruh dunia untuk sementara menghindari kontak antarmanusia demi memutus mata rantai penularan virus Covid-19. Tak pelak, kegiatan yang melibatkan kehadiran fisik maupun kerumunan untuk sementara dikurangi, bahkan dicegah. Sebisa mungkin hubungan antarmanusia dilakukan tanpa melibatkan pertemuan tatap muka. Di sinilah teknologi komunikasi melalui peranti gawai sangat terasa keberadaannya. Berbagai kepentingan antarmanusia yang awalnya melibatkan kehadiran fisik kini dapat dilakukan secara daring.

Situasi tersebut juga tidak terelakkan di dunia pendidikan. Aktivitas pendidikan sangat bertumpu pada proses belajar-mengajar di kelas yang melibatkan pertemuan tatap muka. Namun, di era pandemi ini mau tidak mau pertemuan fisik tersebut harus dialihkan menjadi pertemuan virtual dengan bantuan aplikasi pada peranti komunikasi jarak jauh. Pertemuan daring demi tetap menjalankan aktivitas belajar-mengajar sudah menjadi hal biasa di dunia pendidikan. Beragam aplikasi bertebaran dengan menawarkan fitur-fitur menarik. Proses belajar-mengajar dapat terjadi secara terjadwal dan bersamaan waktunya (synchronous) maupun tidak terjadwal (asynchronous) dengan melibatkan beragam aplikasi. Terfasilitasinya teks, gambar diam, gambar bergerak (video) dengan disertai suara di aplikasi tersebut, membuat proses belajar terasa seolah nyata.

Pada masa yang akan datang, sekalipun pandemi sudah dinyatakan berakhir, penggunaan teknologi komunikasi dan informasi untuk memfasilitasi pertemuan jarak jauh akan tetap digunakan. Demikian pula berbagai media yang membantu pemenuhan kepentingan manusia, seperti transaksi keuangan, pengaturan jadwal kerja, hiburan, dan sebagainya. Bahkan tren yang muncul saat ini adalah semakin termanjakannya personalisasi dalam akses teknologi yang tidak memerlukan intervensi orang lain kecuali diri sendiri.

Kondisi ini tentunya menuntut kemandirian dan kemampuan individu dalam penggunaan teknologi. Kegagalan dalam penyesuaian diri terhadap situasi ini akan menyebabkan ketertinggalan dalam berbagai bidang yang sudah menerapkan teknologi ini. Siapa saja yang memiliki kemandirian dan kemampuan adaptasi yang sangat baik di era disrupsi ini berpeluang besar untuk mendapatkan keuntungan yang berguna bagi kehidupannya.

Mereka dapat mengakses informasi dan pengetahuan yang menjadi daya tariknya kapan pun tanpa batas. Dengan ketekunannya, sangat mungkin ia menguasai informasi dan pengetahuan di bidang tertentu dan membuat kapasitas dirinya menjadi lebih baik. Dengan pengalamannya dalam menggeluti pengetahuan tersebut, ia dapat hadir sebagai sosok yang cukup diperhitungkan dalam menghasilkan karya yang bermanfaat bagi masyarakat. Selama ia mampu meyakinkan orang lain dan membuat mereka puas dengan hasil karyanya, tentu ia akan mendapatkan penghargaan yang layak atas hasil kerjanya itu, terlepas apakah ia pernah mengenyam pendidikan formal ataupun tidak.

Di sinilah tantangan bagi dunia pendidikan. Selain tuntutan adaptasi terhadap era disrupsi, orientasi pendidikan pun tidak boleh melupakan cita-cita mulianya, yaitu memanusiakan manusia, dalam arti menjadikan manusia bernilai dari tata nilai kemanusiannya. Ia bernilai tidak saja karena pengetahuan maupun keterampilan yang dimilikinya, namun juga karena potensi kemanusiaannya yang lain, khususnya jiwa mandiri dan ulet dalam belajar dan berusaha. Ini tidak hanya bermanfaat bagi dirinya, namun juga berguna dalam menjalin hubungan dengan orang lain.

UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 sebenarnya sudah mengakomodasi cita-cita tersebut. Dijelaskan dalam UU tersebut bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Cita-cita mulia ini hendaknya menjadi pedoman pokok para insan pendidikan dan menerjemahkannya ke dalam kegiatan belajar-mengajar.

Dewasa ini pendidikan lebih dikaitkan pada proses membentuk anak didik menjadi apa, bukan siapa. Dunia yang semakin materialistis dan liberal membuat keberadaan manusia cenderung ditentukan dari nilai materi yang dapat dihasilkannya. Kecenderungan ini membuat pendidikan hanya berorientasi pada tujuan pragmatis, yaitu mengantarkan anak didik mencapai cita-citanya, yang disempitkan artinya menjadi posisi tertentu yang memiliki prestise dan nilai ekonomis (baca: pekerjaan). Jika ini yang terjadi, banyak fakta yang menunjukkan bahwa pencapaian nilai itu sesungguhnya tidak harus melalui pendidikan formal.

Karena itu tujuan pendidikan harus dikuatkan lagi pada relnya, yaitu membantu anak didik dalam berproses menemukan jati dirinya. Selain menempa mereka dengan pengetahuan dan keterampilan (hard skill), karakter anak didik pun harus dibangun dengan baik guna menumbuhkan mental kerja keras, tidak mudah menyerah, dan mandiri.

Selain itu, pembentukan karakter ini ditujukan sebagai bekal hidup berdampingan dengan orang lain yang menuntut kemampuan sosialnya berupa sikap tanggung jawab, jujur, empati, kerja sama, saling memahami, dan sebagainya atau dikenal juga dengan istilah soft skill. Di era disrupsi yang terus berkembang ini, hard skill tidaklah menjamin keberhasilan manusia dalam hidupnya jika tidak disertai soft skill yang memadai. Cepat atau lambat, kapasitas individu akan menjadi penentu eksistensinya, baik sebagai pribadi maupun sebagai bagian dari sebuah sistem. (*)

*)Penulis adalah Instruktur di UPT Bahasa Universitas Jember.