Judul di atas nampak seperti tidak nyambung. Apa hubungan antara pesantren dan perang besar yang kini sedang melanda Eropa? Apalagi kita tahu dunia pesantren biasanya sibuk dengan berbagai kegiatan rutin mengkaji kitab-kitab agama dan tidak sempat mengkaji masalah-masalah besar global secara mendalam. Ini bukan berarti mereka tidak tahu apa yang terjadi di luar sana, namun fokus mereka adalah pada standar pengajaran yang sudah menjadi pakem di pesantren.
Sekitar seminggu sebelum perang Rusia-Ukraina itu meletus, saya diundang oleh seorang kiai dari sebuah pesantren besar yang mempunyai santri ribuan di bagian Selatan Jember. Melalui seorang teman dosen yang merupakan sahabat kiai, saya dijemput untuk mendiskusikan geopolitik di seputar perang yang seminggu kemudian benar-benar meletus. Mendengar undangan itu saya sangat terkejut. Pesantren mendiskusikan geopolitik dunia? Untuk apa pikir saya.
Sahabat saya tadi mencoba meyakinkan saya panjang lebar tentang apa yang akan dibicarakan. Demikian juga beberapa santri senior menelpon saya untuk meyakinkan apa yang perlu saya bicarakan. Mereka mengatakan kita akan menghubungkan perang itu dengan semangat akhir zaman dan datangnya messiah yang ditunggu-tunggu. Saya menangkap ada kekhawatiran, krisis dan harapan penyelamatan bila perang itu terjadi. Pertanyaan mereka mirip seperti kekhawatiran umum, misalnya akan kah perang ini memicu Perang Dunia ke-3.
Rupanya pesantren itu sudah lama menggelar diskusi rutin yang melibatkan banyak kalangan tentang berbagai masalah nasional dan global. Di situ ada dosen, notaris, aktivis pemuda, aktivis gerakan anti narkoba dan aktivis kesatuan bangsa selain tentu saja beberapa santri senior. Kebetulan hari itu juga hadir tim penyelenggara muzakarah ulama internasional dari Palembang yang sejauh ini telah menghasilkan Lembaga Ahlul Halli Wal ‘Aqdi.
Kiai mengantar diskusi dan memperkenalkan konsepnya yang komprehensif tentang dunia ini dan bagaimana upaya untuk mencapai etika kemanusiaan global, suatu konsepsi dunia pasca-modernitas yang juga popular di kampus. Walaupun ada sequence yang hilang dan belum bisa cukup saya pahami dalam konsepsi besar itu, tetapi ini sesuatu konsep yang sangat menarik.
Saya tidak tahu seberapa banyak kiai-kiai pesantren yang begitu sensitive dan eager bahkan mengkhawatirkan perkembangan global. Tentu saja ada yang lain. Terutama pesantren-pesantren yang berada di daerah kota dan di seputar kampus di Jember, mestinya terbiasa dengan diskusi demikian. Namun tidak banyak yang memulai dialog dengan mereka yang dianggap pakar masalah-masalah sosial dan global. Walaupun dalam bidang-bidang teknik dan pertanian tentu saja sudah banyak interaksi antara pesantren dengan dunia kampus.
Kesan saya, yang tentu saja tidak representative karena hanya di satu pesantren, dialog dan diskusi demikian memang sangat diperlukan. Pemahaman dan dialog terus menerus perlu dibangun apalagi di tengah kekhawatiran–seperti ditengarai BNPT–tentang ratusan pesantren yang terpapar terorisme. Dalam arus informasi yang mudah melalui berita media dan Youtube yang sangat bebas, setiap orang harus kritis dalam memilih sumber informasi. Youtube misalnya merupakan salah satu saluran yang efektif untuk menyebarkan ideologi tertentu dan untuk mengajak orang kepada suatu jalan penyelamatan yang bisa saja justru menyesatkan.
Kita melihat misalnya bagaimana para ulama diadu domba di Youtube supaya viewers-nya naik dan yang melanggan semakin banyak. Kebanyakan masyarakat yang tidak kritis akan mencari berita yang mendukung prakonsepsi atau persepsinya sendiri tentang sesuatu. Bila itu menyangkut tokoh yang dibenci, maka dia akan mencari saluran yang menjustifikasi kebencian itu tanpa pernah mencoba memahami pandangan sebenarnya dari tokoh yang ia benci. Sangat jarang yang mencoba mengkonfirmasi atau mencari pembanding dari satu pandangan dengan sumber-sumber lain. Kebanyakan masyarakat memang melihat sesuatu dari perspektif suka atau tidak suka bukan dari sudut pandang logis atau tidak logis.
Sebaliknya juga begitu. Kebanyakan orang suka memuja seorang tokoh idolanya dan mencaci tokoh lainnya musuhnya tanpa ukuran yang rasional. Ukurannya adalah suka dan tidak suka dan kemudian menutup mata dari kemungkinan-kemungkinan lain. Dalam istilah keren, kebanyakan orang biasanya susah untuk move on dan selalu membutakan diri dengan pandangan di luar sana. Keberhasilan pemimpin yang dianggap musuh tidak dianggap keberhasilan, tetapi kekurangan pemimpin idola bukan lah dianggap kekurangan.
Kembali ke pesantren tadi. Saya diundang sampai tiga hari berturut-turut untuk berdiskusi tentang geopolitik perang Rusia-Ukraina. Penjelasan saya standar-standar saja seperti webinar yang sering kita ikuti saat ini. Webinar tentang perang ini luar biasa banyaknya hampir tiap hari, walaupun tidak satu pun pembicaranya yang pernah mempelajari Rusia dan Ukraina secara mendalam. Menariknya bagi saya topik diskusi di pesantren itu menggunakan kata kunci geopolitik, sesuatu yang memang menjadi penjelasan utama mengapa perang itu terjadi sejauh ini. Ini menunjukkan bahwa berita-berita dunia menjadi makanan sehari-hari para tokoh di pesantren ini.
Diskusi tiga hari sebetulnya tidak cukup. Perspektif kampus dan perspektif pesantren (yang saya kunjungi) terasa belum begitu nyambung. Penjelasan orang kampus biasanya sangat akademis, sekuler dan tidak ada sentuhan religiusitasnya sama sekali. Sementara pada santri menghubungkan perang itu dengan pertanyaan-pertanyaan apakah ini tanda-tanda akhir zaman, apakah akan muncul Yakjuj dan Makjuj, siapakah Imam Mahdi yang akan muncul. Apakah sang messiah, si satrio piningit itu akan muncul di suatu tempat di Indonesia, seperti apa rupanya dia. Kalau memang ia akan muncul pada hari tertentu, mari kita ke sana menemuinya. Mitos-mitos itu lebih menarik bagi para santri dan menariknya misteri-misteri Ratu Adil itu tersedia lengkap di Youtube yang menjadi salah satu sumber referensi.
Saya teringat salah satu cerita bagaimana ISIS dulu merekrut anggota melalui cerita akhir zaman ini. Mereka menyebarkan video dan gambaran tentang kehidupan kekhalifahan yang indah surgawi di daerah kekuasaan mereka di perbatasan Suriah-Irak. Ada yang tergoda, bahkan datang satu keluarga. Namun pengakuan mereka yang selamat dan berhasil pulang tentang apa yang mereka saksikan sungguh sangat mengerikan dan kontras dengan gambaran surgawi loh jinawi yang mereka janjikan.
Bagaimana pun, diskusi atau dialog 3 hari di pesantren itu tetap lah unik. Unik karena kiai memperhatikan pandangan semua orang. Bahkan diantara peserta ada yang secara terbuka mengkritik pandangan kiai. Suatu yang rasanya bagi saya yang kurang akrab dengan dunia pesantren pun terlihat janggal. Tidak ada kesan kiai menempatkan diri sebagai orang yang paling tahu. Ini tentu saja suatu modal besar untuk membangun literasi tentang masalah-masalah global.
Memang titik temu bukan tujuan akhir tetapi pengayaan pengetahuan terhadap isu global seperti perang Rusia-Ukraina itu sangat penting. Saya pun tersadar adalah penting juga bagi kalangan ilmuwan kampus untuk memikirkan aspek religiositas dari peristiwa-peristiwa global itu. Penjelasan rasional saja bagi kalangan pesantren ini sungguh sangat tidak memuaskan karena mirip berita-berita di media saja.
Seorang peserta mencoba mencari solusi. Apakah kita memerlukan seorang Nabi Khidir? Manusia utusan Tuhan yang dapat meramalkan apa yang akan terjadi di kemudian hari dan membatalkan semua pertanyaan empiris-rasional Nabi Musa as dalam perjalanan petualangan mereka mencari ilmu.
Selang beberapa hari kemudian setelah diskusi, Rusia menyerbu Ukraina. Diskusi rasional sebelumnya yang mengarah pada kesimpulan bahwa tidak mungkin Rusia akan menyerbu Ukraina, ternyata keliru. Perang meletus. AS, NATO dan negara-negara Eropa yang diharapkan menghalangi serangan itu tidak terjadi. Orang-orang bertanya apakah tujuan Rusia menyerbu Ukraina? Kesimpulan umum mengatakan itu adalah faktor geopolitik keamanan Rusia yang terancam. Tetapi siapakah yang tahu jawaban Nabi Khidir tentang peristiwa itu?
Saya ditelpon oleh kawan-kawan dan utusan kiai untuk mendiskusikan perang yang meletus ini. Sayang untuk sementara saya tidak bisa bergabung karena harus isolasi terkena virus yang lagi marak. Entah di mana saya terpapar virus berbahaya itu, saya tidak tahu. Hanya saja saya merasa tidak taat pada prokes saat diskusi di pesantren, sementara teman-teman di pesantren aman semua. Walau mereka tidak pernah pakai masker. Apakah itu karena saya terlalu rasional?
*Penulis adalah dosen Jurusan HI Fisip Universitas Jember  Â