DUNIA pendidikan yang terguncang dampak pandemi Covid-19 masih terasa di tahun kedua ini. Semua bertanya, kapankah pembelajaran betul-betul bisa kembali normal seperti dulu kala, sebelum wabah ini melanda. Peserta didik bisa berinteraksi dengan temannya dalam dimensi ruang dan waktu mengukir kebermaknaan hidup sesuai dengan usianya, agar bisa menjadi cerita di masa yang akan datang untuk dikenang dalam sejarah dan dinamikanya.
Kerinduan akan kondisi sebelum pandemi dalam pembelajaran menjadi tanggung jawab bersama. Semua upaya telah dikerahkan. pemikiran telah dicurahkan untuk mencari solusi sebagai jalan keluar dari fenomena yang belum ketemu ujung pangkalnya. Meskipun secara perlahan mulai terurai, mulai dari keharusan vaksin untuk guru, serbuan vaksin untuk peserta didik adalah bentuk ikhtiar lain menyongsong new normal dalam kegiatan belajar mengajar.
Sampai saat ini kita bisa melihat pemandangan, hampir di semua lembaga pendidikan, adanya aktivitas pembelajaran yang setengah hati atas nama kewaspadaan dalam kerinduan pembelajaran langsung luar jaringan (luring). Tentunya dengan mematuhi aturan dalam menjalankan protokol kesehatan, sehingga keinginan untuk pembelajaran tatap muka dilakukan dengan berbagai problematikanya berwujud pembelajaran dalam bentuk pembagian sif. Ini merujuk pada SKB 3 Menteri (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, Menteri Kesehatan, dan Menteri Dalam Negeri) Nomor 440-842 Tahun 2020 Tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran pada Masa Pandemi.
Keputusan bersama yang dimaksud mensyaratkan kepada sekolah agar mendapatkan izin dari pihak berbagai pihak. Di antaranya pemerintah daerah, Dinas Pendidikan Kabupaten, dan perwakilan orang tua melalui komite sekolah. Jika ada orang tua yang keberatan anaknya ke sekolah, maka diizinkan untuk tidak ikut tatap muka dalam pembelajaran.
Syarat berikutnya, sekolah juga harus memaksimalkan sarana prasarana pendukung dalam menerapkan protokol kesehatan dengan baik. Hal ini tentu tidak akan berjalan dengan baik tanpa adanya dukungan dari semua pihak, baik orang tua maupun masyarakat, dalam memantau perilaku baik, sehat dan bertanggung jawab kepada anak-anak atau peserta didik. Karena sejatinya pembelajaran ada di masyarakat. Komitmen ini adalah bentuk ikhtiar membuka pendidikan di sekolah dan menjadi tempat yang aman bagi semua dengan tidak menimbulkan klaster baru yang lebih luas.
Implementasi dari peraturan ini, bagi sekolah yang memenuhi syarat, bisa melaksanakan pembelajaran tatap muka dengan berbagai rambu-rambu yang harus dipatuhi oleh semua pihak. Siswa penuh tanggung jawab dan disiplin untuk mencuci tangan, memakai masker, dan menjaga jarak aman (3M). Pendidik dan tenaga pendidik memilki peran sangat fundamental dalam memberi keteladanan kepada peserta didik.
Pada praktiknya, pembelajaran tatap muka yang konon katanya menjadi kerinduan semua pihak mengalami dinamika dalam keunikannya masing-masing. Semacam gayung tidak bersambut ketika kesempatan untuk tatap muka tidak dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh semuanya. Siswa yang diberi kesempatan datang ke sekolah ternyata masih ada saja yang tidak masuk tanpa ada keterangan. Ada juga siswa yang datang, tapi tidak langsung masuk ke sekolah sehingga masuknya terlambat dengan berbagai argumentasi saat ditanya kenapa terlambat datang dan masuk kelas.
Dinamika ini tentu menjadi bahan renungan bagi semuanya. Apakah ini yang disebut dengan sindrom keterbuaian dalam kenyamanan setelah beberapa waktu semua terlena dengan pembelajaran jarak jauh yang menyebabkan kecenderungan malas bagi semua pihak. Baik peserta didik atau bahkan tidak menutup kemungkinan gurunya juga. Kalau kondisi ini dibiarkan, maka apa yang terjadi tidak bisa kita bayangkan, culture shock dunia pendidikan.
Kondisi ini mengalami beberapa situasi atau tahapan. Pertama adalah honeymoon stage. Kondisi ini memberi pengalaman pertama kepada semua pihak dalam dunia pendidikan. Pembelajaran yang awalnya berlangsung dengan moda tatap muka, berubah karena situasi yang tidak memungkinkan. Muncullah moda dalam jaringan (daring) dengan memanfaatkan teknologi, pembelajaran jarak jauh (PJJ) dengan segala keunikannya. Kondisi ini satu sisi memberi euforia kepada sebagian pihak karena merasa “merdeka” dari rutinitas kegiatan di dalam kelas, meskipun kondisi ini tidak akan berlangsung lama.
Kedua adalah negotiation stage. Keberlangsungan situasi euforia tersebut tidak berlangsung lama, pembelajaran di luar kelas dengan moda daring dalam pembelajaran jarak jauh ada pada posisi di mana guru juga mengalami kejenuhan. Ini karena banyaknya kesenjangan yang terjadi, materi tidak tersampaikan dengan maksimal. Apalagi tersampaikannya nilai-nilai pembelajaran kehidupan dalam bingkai pembentukan karakter. Dua hal ini menjadi sulit untuk terlaksana karena keterbatasan ruang dan waktu. Situasi ini menggugah nurani untuk segera bisa kembali bisa melaksanakan pembelajaran sebagaimana biasanya sebelum pandemi melanda.
Selanjutnya adjustment stage. Upaya yang sudah dilakukan oleh semua pihak untuk mengembalikan pembelajaran secara langsung dengan tatap muka tentunya adalah sebuah kondisi yang disadari oleh semua. Mulai dari peserta didik, guru, orang tua, Dinas Pendidikan, dan pemerintah. Seluruhnya haruslah bersinergi agar kesenjangan yang terjadi dalam pembelajaran masa pandemi bisa terurai, dan segara bisa dilakukan pembelajaran tatap muka yang full. Tidak lagi dengan model sif dibatasi jumlah dalam pelaksanaannya. Meskipun sebenarnya kondisi pandemi masih belum aman, sehingga perilaku yang sudah berlangsung saat ini dengan konsep 3M+2M (memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, dan mengurangi mobilitas) sebagai wujud protokol kesehatan haruslah tetap dijalankan dan dipatuhi dengan penuh tanggung jawab.
Kemudian adaptation stage. Perubahan situasi ini tentu menuntut keberpihakan semua unsur dalam mengembalikan ruh pendidikan sebagai usaha sadar mengembangkan potensi peserta didik dalam wujud transfer knowledge, lebih-lebih dalam upaya transfer value dalam membentuk karakter dan mewujudkan profil pelajar Pancasila yang menjadi harapan pemerintah menyongsong era digitalisasi. Karena karakter inilah yang akan menjadi fondasi terkuat dalam mewujudkan eksistensi bangsa menjadi bermartabat.
Transisi dari masa pandemi menuju endemi haruslah dengan kesiapan dan kebulatan tekad, serta tanggung jawab dari semua pihak. Ini agar pendidikan bisa berjalan dengan baik bukan sebaliknya malah memunculkan klaster baru penyebaran wabah virus yang tidak berkesudahan laksana benang kusut.
Pada akhirnya kegiatan belajar mengajar dalam pendidikan haruslah berlangsung dengan baik. Kalaupun masa pandemi menyisakan banyak cerita dan kesenjangan, tetapi masih ada segi positif yang bisa kita rengkuh darinya. yaitu peningkatan kompetensi tenaga pendidik khususnya dalam memanfaatkan perkembangan teknologi. Hal ini akan menjadi sangat bernilai saat bisa diimplementasikan dalam membersamai peserta didik dalam kegiatan belajar mengajar di masa yang akan datang, saat semua betul-betul bisa belajar tanpa halangan.
*) Penulis adalah pendidik di SMPN 1 Balung dan Sekretaris MGMP PAI SMP Kabupaten Jember.