Beberapa wilayah di Indonesia dijadwalkan melaksanakan pemilihan kepala desa (pilkades) secara serentak tahun 2021. Meski masih dalam situasi pandemi, hajatan demokrasi desa ini tampaknya tetap perlu dilangsungkan. Beberapa daerah sudah mulai melaksanakan tahapan-tahapan pemilihan.
Padahal belum lama ini muncul Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) Nomor 141/4251/SJ, yang memerintahkan penundaan pelaksanaan pilkades. Terutama tahapan kegiatan yang berpotensi mengundang kerumunan massa. Merespons instruksi ini, beberapa daerah memutuskan mengatur ulang jadwal pelaksanaan pilkades. Termasuk hari pencoblosan yang jelas menjadi tempat konsentrasi warga.
Tentu melihat tren pandemi yang belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir, beberapa daerah tetap perlu bersiap-siap untuk melaksanakan pilkades di tengah pandemi. Setidaknya, ada tiga alasan mengapa kita perlu mempersiapkan skenario pilkades di saat wabah ini belum berakhir.
Pertama, secara yuridis formal, suksesi kepala desa secara teratur adalah amanat undang-undang. Seperti halnya jabatan kepala pemerintahan di atasnya, masa jabatan kepala desa telah diatur dengan tegas dalam durasi periode kepemimpinan yang terbatas. Dalam perspektif demokrasi, pembatasan ini diharapkan bisa mencegah munculnya para tiran yang kekuasaannya tidak terbatas.
Kedua, seiring dengan berakhirnya masa jabatan beberapa kepala desa, penundaan pilkades dapat melahirkan kekosongan kekuasaan di tingkat desa dengan ekses multidimensional. Merujuk kepada ketentuan perundang-undangan, pejabat kepala desa dapat diangkat oleh pemerintah secara temporal.
Meski demikian, pengangkatan penjabat kades dalam jangka lama tidaklah sehat. Sebab, hal ini menunjukkan adanya simtom gangguan demokrasi. Sebab, suksesi merupakan “variabel politik penting dalam rangka melakukan perubahan kebijakan di negara-negara demokratis” (Bunce, 1980).
Belum lagi, potensi kejahatan politik rentan terjadi dalam kasus penunjukan pejabat sementara. Operasi tangkap tangan yang dilakukan oleh KPK terhadap Bupati Probolinggo menegaskan bahwa pengisian pejabat kepala desa dalam jangka lama menjadi lahan basah praktik jual beli.
Ketiga, dunia telah lama mendeklarasikan normal baru (new normal). Pandemi belum menunjukkan symptom berakhir, sementara aktivitas publik tidak bisa terus bertahan pada gigi kosong. Reaktivasi kegiatan publik adalah kemestian. Termasuk agenda-agenda pemerintahan.
Pandemi tidak memungkinkan reaktivitasi dilakukan dengan cara lama. Perlu cara baru yang berpijak di atas prinsip epidemiologis di mana mencegah penyebaran virus menjadi parameter utama.
Thomas Stamford Raffles adalah tokoh penting yang mencetuskan pelaksanaan pilkades pada fase peralihan kekuasaan Inggris (British interregnum) era kolonial. Saat itu, pilkades diproyeksikan sebagai alat mencengkeram masyarakat pedesaan di bawah kendali penjajah ( Husken, 1994). Melihat sejarahnya, pilkades dapat dianggap sebagai model demokrasi elektoral langsung tertua di tanah air.
Pelbagai upaya untuk membenahi tata kelola penyelenggaraan Pilkades terus dilaksanakan dari masa ke masa. Termasuk tata kelola organisasi pemerintah desa.
Reformasi demokratis (democratic reform), terutama dengan terbentuknya Badan Permusyawaratan Desa (BPD) tahun 1999, menandai fase demokratisasi penting dalam tata kelola desa. Ditetapkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa semakin memperkuat laju reformasi demokratis di desa.
Sebagian sarjana menyebut bahwa desa saat ini telah mengalami apa yang disebut sebagai revolusi senyap atau quiet revolution (Antlov, 2003). Revolusi ini ditandai dengan begitu radikalnya perubahan struktur serta tata kelola pemerintahan desa era reformasi dalam waktu yang relatif singkat.
Reformasi demokratis ini tidak boleh berhenti. Pemerintah desa dituntut untuk menawarkan kebijakan-kebijakan yang responsif dan inovatif seiring dengan semakin peliknya persoalan yang dihadapi masyarakat. Karena itulah, suksesi tidak boleh berhenti sehingga formulasi dan reformulasi kebijakan ideal tersebut dapat terus berjalan.
Pandemi memang menjadi tantangan nyata yang mengganggu hampir semua agenda pemerintahan. Namun, pilkades tidak mungkin ditunda berkelaluan, apalagi dalam jangka waktu lama. Tentu, keselamatan dan kesehatan masyarakat tetap menjadi barometer utama dalam pelaksanaannya.
Karena itulah, kedisiplinan mematuhi protokol kesehatan selama penyelenggaraan tahapan pilkades menjadi keharusan. Edukasi untuk meningkatkan kesadaran taat prokes harus dilakukan. Di samping itu, diperlukan sokongan sistem yang memadai untuk menekan potensi penyebaran virus.
Secara sistemik, pembentukan model tempat pemungutan suara yang desentralistik, sebagaimana dalam Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 141/5483/BPD, adalah alternatif paling realistis. Sebab, sentralisasi lokasi pemungutan suara sebagaimana dalam penyelenggaraan pilkades di saat normal, menjadi ruang konsentrasi massa yang berbahaya secara epidemiologis.
Pemekaran TPS ke dalam beberapa titik serta pembatasan jumlah pemilih maksimal 500 orang, diharapkan bisa memecah konsentrasi massa sehingga potensi penularan Covid-19 bisa dicegah. Meski demikian, “saat sesuatu sempurna, kekurangannya pun menjadi tampak” begitu kata kaidah yurisprudensi Islam. Ada persoalan yang berpotensi muncul dari kebijakan zonasi TPS tersebut. Inilah tantangan yang perlu diantisipasi oleh semua kalangan.
Terutama terkait dengan dua hal utama. Pertama, sistem zonasi mempersempit–sekaligus memperjelas–topografi perilaku politik pemilih. Artinya, tidak begitu sulit bagi para pihak yang berkepentingan untuk membaca peta dukungan politik baik secara individual maupun spasial.
Hal ini rawan dimanfaatkan oleh pemenang kontestasi untuk menjalankan politik balas dendam (political retaliation) setelah pemilihan. Bukan rahasia lagi, jika pemimpin terpilih beserta tim suksesnya acapkali memelihara dendam politik baik kepada individu maupun kelompok masyarakat pada lokasi tertentu dengan mempersempit akses memperoleh pelayanan maksimal. Kita tentu berharap, sistem zonasi tidak malah menyediakan peta pelampiasan dendam politik.
Karena itulah, harus ada kesadaran serta komitmen kolektif untuk menghormati seluruh proses demokrasi elektoral desa. Jikapun kredo “pemenang mengambil semua” diterima, ia harus tetap berpijak di atas prinsip memimpin untuk semua. Dendam politik hanya melahirkan diskriminasi sekaligus tergerusnya solidaritas sosial dalam jangka waktu lama.
Kedua, karena mudah dipotret, sangat mungkin muncul kekhawatiran dari sebagian pemilih untuk menentukan pilihan politiknya secara bebas. Terutama saat harus berseberangan secara politik dengan figur-figur yang ditakuti. Selanjutnya, muncul rasa tidak aman (insecure) karena merasa terintimidasi sehingga membatasi kebebasan pemilih untuk menentukan hak politiknya secara bebas.
Untuk itulah, demokrasi desa perlu dipahami secara substantif. Terutama oleh para kontestan dan tim pemenangannya. Misalnya dengan menginsafi bahwa setiap orang bebas menentukan pilihannya secara merdeka. Menghormati perbedaan pilihan adalah manifestasi dari penghayatan setiap orang terhadap nilai demokrasi yang sebenarnya.
*) Penulis adalah dosen Sosiologi Universitas Nurul Jadid dan aktivis Network for Indonesia Democratic Society Jawa Timur.