JEMBER, RADARJEMBER.ID – Perpisahan dengan bulan Ramadan 1442 H/2021 M belum satu bulan, namun rasanya sudah lama sekali. Seolah-olah tidak ada efek apa-apa dari Ramadan yang baru pergi. Setidaknya itulah yang ada pada renungan penulis. Kok bisa begitu? Dalam renungannya terlintas bayangan bahwa banyak kebiasaan di bulan Ramadan sudah dilupakan (baca ditinggalkan). Renungan ini semoga dapat menjadi pemantik bagi penulis untuk lebih baik di masa yang akan datang.
Masih segar dalam ingatan, saat Ramadan kemarin, siang dan malam diisi dengan kegiatan-kegiatan ibadah. Baik hubungan dengan Allah, maupun hubungan antara sesama manusia dan makhluk Allah yang lain. Bulan suci tersebut diakhiri dengan salat Idul Fitri dan saat itulah hamba Allah mengakui kesalahannya dan rela meminta maaf. Bulan suci tersebut betul-betul merupakan “madrasah rohaniah” (meminjam istilah Jalaluddin Rakhmat) yang dapat menjadikan manusia tidak hanya baik hubungannya dengan Allah, tetapi juga harmonis dengan sesama mahluk Allah. Dengan kata lain, “madrasah rohaniah” tersebut akan menjadikan manusia sebagai hamba Allah yang bertakwa (QS.2/183).
Tidak dapat dimungkiri malam-malam Ramadan yang lalu diisinya dengan salat malam/salat Tarawih baik secara mandiri di rumah-rumah maupun berjamaah di musala serta masjid. Doa-doa terbaik diucapkan dengan keyakinan agar terkabulkan. Kegiatan mengaji (semoga juga mengkaji) Alquran dilakukan setiap malam baik berkelompok di masjid dan musala maupun secara mandiri di rumah-rumah. Walaupun malu kepada Allah, ingin disampaikan secara jujur bahwa selepas Ramadan, kebiasaan itu menjadi berkurang. Salat malam tak lagi rajin, mengaji dan mengkaji sudah tidak sering lagi.
Di bulan yang penuh kasih sayang tersebut, dengan berpuasa manusia mampu menahan hawa nafsunya untuk tidak melanggar semua yang membatalkan puasa. Bahkan sesuatu yang pada saat tidak berpuasa dihalalkan (makan minum serta hubungan suami istri), saat berpuasa mampu tidak dilakukan semata mata mematuhi perintah Sang Maha Pencipta. Padahal, kalau mereka akan melanggar, sangat bisa dilakukan di saat sendiri, karena tidak seorang pun yang akan mengetahuinya. Akan tetapi itu tidak dilakukan karena ada keyakinan bahwa Tuhan mengawasi serta Maha Mengetahui terhadap yang tampak dan yang tersembunyi. Dalam hal ini, saat berpuasa Allah selalu hadir dalam setiap tarikan napas dan langkah kehidupan. Namun, selepas melaksanakan ibadah puasa, kehadiran Allah dalam kehidupan sepertinya tidak sesering di Bulan Ramadan.
Saat bulan suci yang lalu, manusia bukan hanya rela menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal yang membatalkan puasa, tetapi juga mampu serta mau menahan diri dari apa-apa yang dapat merusak pahala puasa. Semua itu dilakukan semata-mata menjaga keikhlasan dalam mematuhi perintah Tuhan. Saat puasa Ramadan kita bisa memelihara “lisan” untuk tidak mengeluarkan kata-kata yang dapat menyakiti orang lain, menahan langkah untuk tidak melakukan sesuatu yang sia-sia. Kita mampu merawat kesabaran bahkan andai diajak bertengkar atau diolok olok oleh orang lain, kita diminta tetap bersabar serta berkata “saya sedang berpuasa” (hadis). Di bulan yang penuh ampunan tersebut, kita mampu tidak berbohong walau sangat bisa dilakukan dan tidak berkhianat kepada sesamanya. Semua itu adalah perbuatan-perbuatan yang akan menjadikan siapa pun bukan hanya dicintai Allah tetapi juga disukai sesama makhluk Allah.
Kalau direnungkan, selepas Ramadan belum satu bulan ini, masihkah semua itu dapat kita rasakan ataukah telah hilang bagai diterpa angin entak ke mana perginya. Akhirnya ibadah puasa bulan Ramadan ditutup dengan melaksanakan salat sunah Idul Fitri. Dengan penuh keyakinan bahwa dosa-dosa yang lalu diampuni, ibadah puasa menjadikan manusia sebagai hamba Allah yang kembali suci. Kita dengan ikhlas mengakui kesalahan serta berani meminta maaf dan memberi maaf.
Selepas salat Idul Fitri dan beberapa hari setelahnya, tiba-tiba manusia menjadi sangat rendah hati dengan mengakui kesalahan0kesalahan yang telah dilakukan. Saat itu apa pun profesi seseorang dengan tingkat sosial serta pendidikan yang berbeda beda, dapat mengakui kesalahan dan meminta maaf serta rela memaafkan kesalahan orang lain. Rasanya saat Idul Fitri kehidupan begitu tenang, damai, tentram serta harmonis karena timbul kesadaran bahwa setiap orang bisa saja berbuat kesalahan dan sangat layak untuk saling memaafkan. Tidak dapat disangkal bahwa saat Hari Raya Idul Fitri tiba-tiba kehidupan berubah menjadi sangat damai sekali. Saat itu sepertinya tidak ada manusia yang merasa paling benar dan menganggap hanya orang lainlah yang paling salah. Semua mengakui kesalahan dan bersedia meminta maaf serta memaafkan.
Dapat dibayangkan seandainya kebiasaan yang dilakukan di bulan yang istimewa kemarin bisa dipertahankan, kehidupan akan menjadi sesuatu yang menyenangkan. Setiap orang akan menjaga untuk tidak saling menyakiti baik dengan perbuatan maupun dengan perkataan. Bertindak dan berprilaku jujur dalam segala urusan akan menjadi pakaian kehidupan karena Allah selalu hadir dalam dirinya. Manusia menjadi seorang satria yang berani mengakui kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan serta meminta maaf dengan niatan tulus tidak akan mengulanginya. Kita dengan rela memberi maaf kepada orang lain secara ikhlas dengan keyakinan kesalahan yang sama bisa saja terjadi pada diri kita. Begitu indahnya kehidupan ini seandainya kita mampu serta mau mempertahankan “madrasah rohaniah” yang baru kita tinggalkan belum satu bulan yang lalu. Dalam renungan penulis terbayang, “Andaikan bulan Ramadan sepanjang tahun.”
*) Penulis adalah anggota Keris CLS dan Guru Besar Linguistik Terapan di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember.