23.4 C
Jember
Thursday, 23 March 2023

Belajar Menghargai Masa Depan

Mobile_AP_Rectangle 1

Saat ini kita sedang memasuki fase kehidupan di era kesejagatan. Sebagai pencirinya bahwa interaksi antar manusia tidak lagi dibatasi dengan sekat kewilayahan, tetapi sudah lintas batas. Manusia dapat berinteraksi dengan manusia lain di planet bumi. Melalui pemanfaatan teknologi informasi manusia dapat berkomunikasi dengan mudah melalui pemanfaatan media social. Hidup di era global, yang semuanya sudah serba digital, makin mempermudah kita dalam mendapatkan semua informasi yang dibutuhkan. Kita dihadapkan dalam kelimpahan pilihan akses informasi dan pengetahuan. Gawai menjadi mesin pintar yang setia mendampingi kita. Sumber informasi dan pengetahuan bisa dilacak hanya dengan klik mbah google, semuanya terjawab. Informasi tentang kebutuhan sehari-hari, dan pengetahuan umum bahkan sampai pengetahuan agama, semuanya ada di google.

Jika era dulu kita dihadapkan pada kesulitan untuk memperoleh informasi dan pengetahuan, kini kita justru menghadapi kesulitan menentukan pilihan. Dulu, jangankan memilih, memperoleh informasi dan pengetahuan saja sudah kesulitan tersendiri. Ketika studi di universitas,  kita harus mencari literatur ke perpustakaan di berbagai perpusda, perpustakaan pribadi dosen, sampai ke Perguruan Tinggi lain. Ketika pembimbingan dengan dosennya harus bersabar menunggu sampai beberapa jam atau bahkan beberapa hari karena harus antri. Waktu itu berkembang istilah menunggu itu termasuk mata kuliah kesabaran, dengan bobot tiga SKS. Satire ini sangat populer di kalangan mahasiswa sarjana dan pascasarjana. Waktu itu kita belum mengenal internet, termasuk google, sehingga bimbingan online belum ada, satu-satunya cara bimbingan dengan tatap muka (offline).  Meski dengan segala keterbatasan dan kesulitan, kita tetap mempertahankan dan memperjuangkan sebuah pilihan masa depannya. Hanya satu spiritnya yaitu harus lulus. Ketika hampir menyerah dalam menyelesaikan skripsi/tesis/disertasi, maka semboyan kita agak didown grade menjadi, ‘skripsi/tesis/disertasi yang baik itu adalah yang selesai’. Kualitas itu urusan nanti, bisa diperoleh melalui proses pendewasaan setelah kembali mengabdi dan mengembangkan diri di institusi.

Nampaknya ada yang membedakan antara orang dulu dengan orang sekarang. Orang dulu ketika sudah menentukan pilihan, mereka akan konsisten dan memperjuangkan pilihannya tersebut. Mereka akan menunjukkan dedikasi dan bekerja keras untuk mencapai pilihan yang dicita-citakan. Mereka sangat menghargai pilihan yang sudah diputuskannya. Generasi sekarang dengan segala fasilitas dan kemudahan akses informasi dan pengetahuan, justru menjadi terlena. Terdapat kecenderungan mereka justru asyik dengan dunia hiburan, permainan, dan informasi sumir yang lainnya. Mereka menganggap hidup ini dinikmati saja dengan berhappy ria melalui media sosial. Dampaknya bisa dilihat bahwa channel youtube yang berkonten hiburan memiliki tren lebih banyak yang menyukai dibanding dengan yang berkonten ilmu pengetahuan. Akibat lanjutannya, banyak generasi milenial yang mengalami sindrom digital. Kemanapun dia pergi, gawai selalu menempel di tubuhnya. Mereka kecanduan handphone, dengan semua menu yang bisa diakses sewaktu-waktu. Mereka bermain HP sampai lupa waktu, seperti lupa makan, lupa bersih diri, lupa tidur dan yang lebih parah lagi mereka sampai lupa mengaji serta lupa studi. Inilah alarm sebagai pengingat agar generasi milenial tidak sampai terjangkit syndrome digital. Dampak buruknya dapat mengganggu konsentrasi pada studi sehingga gagal meraih masa depan yang menjadi harapannya.

- Advertisement -

Saat ini kita sedang memasuki fase kehidupan di era kesejagatan. Sebagai pencirinya bahwa interaksi antar manusia tidak lagi dibatasi dengan sekat kewilayahan, tetapi sudah lintas batas. Manusia dapat berinteraksi dengan manusia lain di planet bumi. Melalui pemanfaatan teknologi informasi manusia dapat berkomunikasi dengan mudah melalui pemanfaatan media social. Hidup di era global, yang semuanya sudah serba digital, makin mempermudah kita dalam mendapatkan semua informasi yang dibutuhkan. Kita dihadapkan dalam kelimpahan pilihan akses informasi dan pengetahuan. Gawai menjadi mesin pintar yang setia mendampingi kita. Sumber informasi dan pengetahuan bisa dilacak hanya dengan klik mbah google, semuanya terjawab. Informasi tentang kebutuhan sehari-hari, dan pengetahuan umum bahkan sampai pengetahuan agama, semuanya ada di google.

Jika era dulu kita dihadapkan pada kesulitan untuk memperoleh informasi dan pengetahuan, kini kita justru menghadapi kesulitan menentukan pilihan. Dulu, jangankan memilih, memperoleh informasi dan pengetahuan saja sudah kesulitan tersendiri. Ketika studi di universitas,  kita harus mencari literatur ke perpustakaan di berbagai perpusda, perpustakaan pribadi dosen, sampai ke Perguruan Tinggi lain. Ketika pembimbingan dengan dosennya harus bersabar menunggu sampai beberapa jam atau bahkan beberapa hari karena harus antri. Waktu itu berkembang istilah menunggu itu termasuk mata kuliah kesabaran, dengan bobot tiga SKS. Satire ini sangat populer di kalangan mahasiswa sarjana dan pascasarjana. Waktu itu kita belum mengenal internet, termasuk google, sehingga bimbingan online belum ada, satu-satunya cara bimbingan dengan tatap muka (offline).  Meski dengan segala keterbatasan dan kesulitan, kita tetap mempertahankan dan memperjuangkan sebuah pilihan masa depannya. Hanya satu spiritnya yaitu harus lulus. Ketika hampir menyerah dalam menyelesaikan skripsi/tesis/disertasi, maka semboyan kita agak didown grade menjadi, ‘skripsi/tesis/disertasi yang baik itu adalah yang selesai’. Kualitas itu urusan nanti, bisa diperoleh melalui proses pendewasaan setelah kembali mengabdi dan mengembangkan diri di institusi.

Nampaknya ada yang membedakan antara orang dulu dengan orang sekarang. Orang dulu ketika sudah menentukan pilihan, mereka akan konsisten dan memperjuangkan pilihannya tersebut. Mereka akan menunjukkan dedikasi dan bekerja keras untuk mencapai pilihan yang dicita-citakan. Mereka sangat menghargai pilihan yang sudah diputuskannya. Generasi sekarang dengan segala fasilitas dan kemudahan akses informasi dan pengetahuan, justru menjadi terlena. Terdapat kecenderungan mereka justru asyik dengan dunia hiburan, permainan, dan informasi sumir yang lainnya. Mereka menganggap hidup ini dinikmati saja dengan berhappy ria melalui media sosial. Dampaknya bisa dilihat bahwa channel youtube yang berkonten hiburan memiliki tren lebih banyak yang menyukai dibanding dengan yang berkonten ilmu pengetahuan. Akibat lanjutannya, banyak generasi milenial yang mengalami sindrom digital. Kemanapun dia pergi, gawai selalu menempel di tubuhnya. Mereka kecanduan handphone, dengan semua menu yang bisa diakses sewaktu-waktu. Mereka bermain HP sampai lupa waktu, seperti lupa makan, lupa bersih diri, lupa tidur dan yang lebih parah lagi mereka sampai lupa mengaji serta lupa studi. Inilah alarm sebagai pengingat agar generasi milenial tidak sampai terjangkit syndrome digital. Dampak buruknya dapat mengganggu konsentrasi pada studi sehingga gagal meraih masa depan yang menjadi harapannya.

Saat ini kita sedang memasuki fase kehidupan di era kesejagatan. Sebagai pencirinya bahwa interaksi antar manusia tidak lagi dibatasi dengan sekat kewilayahan, tetapi sudah lintas batas. Manusia dapat berinteraksi dengan manusia lain di planet bumi. Melalui pemanfaatan teknologi informasi manusia dapat berkomunikasi dengan mudah melalui pemanfaatan media social. Hidup di era global, yang semuanya sudah serba digital, makin mempermudah kita dalam mendapatkan semua informasi yang dibutuhkan. Kita dihadapkan dalam kelimpahan pilihan akses informasi dan pengetahuan. Gawai menjadi mesin pintar yang setia mendampingi kita. Sumber informasi dan pengetahuan bisa dilacak hanya dengan klik mbah google, semuanya terjawab. Informasi tentang kebutuhan sehari-hari, dan pengetahuan umum bahkan sampai pengetahuan agama, semuanya ada di google.

Jika era dulu kita dihadapkan pada kesulitan untuk memperoleh informasi dan pengetahuan, kini kita justru menghadapi kesulitan menentukan pilihan. Dulu, jangankan memilih, memperoleh informasi dan pengetahuan saja sudah kesulitan tersendiri. Ketika studi di universitas,  kita harus mencari literatur ke perpustakaan di berbagai perpusda, perpustakaan pribadi dosen, sampai ke Perguruan Tinggi lain. Ketika pembimbingan dengan dosennya harus bersabar menunggu sampai beberapa jam atau bahkan beberapa hari karena harus antri. Waktu itu berkembang istilah menunggu itu termasuk mata kuliah kesabaran, dengan bobot tiga SKS. Satire ini sangat populer di kalangan mahasiswa sarjana dan pascasarjana. Waktu itu kita belum mengenal internet, termasuk google, sehingga bimbingan online belum ada, satu-satunya cara bimbingan dengan tatap muka (offline).  Meski dengan segala keterbatasan dan kesulitan, kita tetap mempertahankan dan memperjuangkan sebuah pilihan masa depannya. Hanya satu spiritnya yaitu harus lulus. Ketika hampir menyerah dalam menyelesaikan skripsi/tesis/disertasi, maka semboyan kita agak didown grade menjadi, ‘skripsi/tesis/disertasi yang baik itu adalah yang selesai’. Kualitas itu urusan nanti, bisa diperoleh melalui proses pendewasaan setelah kembali mengabdi dan mengembangkan diri di institusi.

Nampaknya ada yang membedakan antara orang dulu dengan orang sekarang. Orang dulu ketika sudah menentukan pilihan, mereka akan konsisten dan memperjuangkan pilihannya tersebut. Mereka akan menunjukkan dedikasi dan bekerja keras untuk mencapai pilihan yang dicita-citakan. Mereka sangat menghargai pilihan yang sudah diputuskannya. Generasi sekarang dengan segala fasilitas dan kemudahan akses informasi dan pengetahuan, justru menjadi terlena. Terdapat kecenderungan mereka justru asyik dengan dunia hiburan, permainan, dan informasi sumir yang lainnya. Mereka menganggap hidup ini dinikmati saja dengan berhappy ria melalui media sosial. Dampaknya bisa dilihat bahwa channel youtube yang berkonten hiburan memiliki tren lebih banyak yang menyukai dibanding dengan yang berkonten ilmu pengetahuan. Akibat lanjutannya, banyak generasi milenial yang mengalami sindrom digital. Kemanapun dia pergi, gawai selalu menempel di tubuhnya. Mereka kecanduan handphone, dengan semua menu yang bisa diakses sewaktu-waktu. Mereka bermain HP sampai lupa waktu, seperti lupa makan, lupa bersih diri, lupa tidur dan yang lebih parah lagi mereka sampai lupa mengaji serta lupa studi. Inilah alarm sebagai pengingat agar generasi milenial tidak sampai terjangkit syndrome digital. Dampak buruknya dapat mengganggu konsentrasi pada studi sehingga gagal meraih masa depan yang menjadi harapannya.

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca

/