31.4 C
Jember
Thursday, 30 March 2023

Mengurai Aliran Dana Bansos PKH

Mobile_AP_Rectangle 1

Bagai petir di siang bolong munculnya pemberitaan dugaan penyelewengan dana bantuan sosial (bansos) di Lumajang. Berita ini telah viral menggemparkan sekaligus mengenaskan di tengah pandemi Covid-19 yang tak kunjung usai. Baru saja kita dikejutkan oleh kejadian di Jakarta ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menjerat Juliari Batubara dengan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, di mana mantan Mensos akhirnya dituntut 11 tahun penjara. Objeknya bansos, namun kali ini justru terjadi di sebuah desa dan bisa saja terjadi di desa-desa lain di penjuru Nusantara.

Apa yang dipikirkan pelaku kejahatan ketika akan beraksi? Bagaimana pergulatan antara akan berbuat curang dengan kemiskinan masyarakat penerima manfaat? Dilema ini yang harus kita pikirkan sejak sekarang sebelum terlambat. Dilansir dari Jawa Pos Radar Jember (3 September 2021) Pemkab Lumajang tengah membuka pos pengaduan bantuan sosial di semua desa, sementara Unit Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Satreskrim Polres Lumajang sudah mulai menggelar pemeriksaan.

Tindak pidana korupsi biasanya tidak berdiri sendiri dan melalui proses yang tidak sederhana. Korupsi jelas sesuatu yang melanggar hukum ketika dilakukan dalam situasi dan kondisi normal, apalagi ketika korupsi dilakukan dalam kondisi khusus ketika negara dan bangsa ini sedang menghadapi bencana Pandemi Covid-19. Baharuddin Lopa mengutip pendapat David M. Chalmers: “Financial manipulations and deliction injurious to the economy are often labeled corrupt.”

Mobile_AP_Rectangle 2

Korupsi dapat dikonotasikan perbuatan curang, tindak pidana yang merugikan keuangan negara. Korupsi dapat terjadi di mana saja, di kota maupun di desa. Desa merepresentasikan wilayah dengan kultur budaya yang masih tinggi. Budaya timur yang penuh etika dan tepo seliro. Seharusnya tidak boleh terjadi di desa yang penuh dengan penjagaan nilai-nilai agama, kesederhanaan hidup, dan kegotong-royongan.

Terdapat kata indah bermakna, “To end corruption is my dream; togetherness in fighting it makes the dream come true.” Artinya mengakhiri korupsi adalah impian saya, kebersamaan dalam berjuang itu membuat mimpi menjadi kenyataan. Marilah bersama kita berupaya dengan segenap kesungguhan di era disruptif ini ikut mewujudkan tujuan negara untuk memajukan kesejahteraan umum (welfare state) dengan menjauhkan diri dari sesuatu yang bersifat amoral dan perbuatan curang.

Di sisi lain kita perlu mengapresiasi langkah sigap masyarakat dan perangkat Desa Sawaran Lor, media, aparat penegak hukum, serta Pemkab Lumajang yang telah dapat mengambil perannya dalam mewujudkan amanah untuk meletakkan hukum sebagai panglima sehingga pemerintah akan mampu meletakkan trust masyarakat terhadap hukum karena menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap hukum itu sangat berbahaya. Peran dan sinergisitas pilar penegakan hukum sangatlah strategis untuk diwujudkan yaitu hakim, jaksa, advokat, polisi, masyarakat, dan media.

Membahas bansos Program Keluarga Harapan (PKH) tidak dapat lepas dari landasan yuridisnya yaitu Peraturan Menteri Sosial RI (Permensos) Nomor 1 Tahun 2018. Aspek filosofis PKH untuk meningkatkan kualitas hidup keluarga miskin dan rentan melalui peningkatan aksesibilitas terhadap layanan kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan sosial sehingga dibutuhkan program perlindungan sosial yang terencana, terarah, dan berkelanjutan. Ini adalah sebuah cita-cita luhur negara yang dimandatkan kepada pemerintah sehingga wajib didukung perwujudannya oleh segenap stakeholder terkait.

Bantuan Sosial PKH berupa uang, kepada keluarga atau seseorang miskin, tidak mampu atau rentan terhadap risiko sosial. Program pemberian bantuan sosial ini bersyarat kepada keluarga atau seseorang miskin dan rentan yang terdaftar dalam data terpadu program penanganan fakir miskin yang diolah oleh Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial dan ditetapkan sebagai keluarga penerima manfaat PKH. Data terpadu PKH telah melalui tahapan verifikasi, validasi dan pemutakhiran data. verifikasi merupakan proses kegiatan pemeriksaan dan pengkajian untuk menjamin kebenaran data, validasi merupakan kegiatan untuk menetapkan kesahihan data sementara pemutakhiran data adalah proses perubahan terkini sebagian atau seluruh data anggota keluarga penerima manfaat PKH. Jadi database inilah salah satu kunci dalam kesuksesan penyelenggaraan PKH, tak terkecuali di Kabupaten Lumajang.

Tujuan PKH syarat dengan misi pemberdayaan yaitu: 1) meningkatkan taraf hidup keluarga penerima manfaat melalui akses layanan pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial, 2) mengurangi beban pengeluaran dan meningkatkan pendapatan keluarga miskin dan rentan, 3) menciptakan perubahan perilaku dan kemandirian keluarga penerima manfaat dalam mengakses layanan kesehatan dan pendidikan serta kesejahteraan sosial, 4) mengurangi kemiskinan dan kesenjangan; dan 5) mengenalkan manfaat produk dan jasa keuangan formal kepada keluarga penerima manfaat (Pasal 2 Permensos : 1/2018)

Munculnya istilah pendampingan PKH dari pasal 6 Permensos 1/2018 ini, yang lebih lanjut dijelaskan dalam Pasal 10 secara bertingkat dan untuk wilayah kabupaten terdiri dari: 1) koordinator daerah kabupaten/kota, 2) supervisor pekerjaan sosial, 3) pendamping sosial, 4) asisten pendamping sosial; dan 5) administrator pangkalan data. Unsur sumber daya manusia inilah yang dapat digunakan untuk mengurai sengkarut bansos PKH sehingga menjadi terang dan jelas aspek pertanggungjawabannya. Yang perlu digarisbawahi bahwa sumber daya manusia dimaksud dihadirkan melalui rekrutmen, seleksi, dan ditetapkan oleh direktur yang menangani pelaksanaan PKH sehingga harapannya memenuhi aspek kapasitas pelaku program pemberdayaan.

Beberapa pihak di kabupaten yang terkait program bansos PKH antara lain :

1) e-Warong muncul berdasar Permensos No.11/ 2018 jo Keputusan Dirjen Perlindungan dan Jamsos Nomor: 02/3/OT.02.01/12/2020 tentang Juknis Penyaluran Bansos Non Tunai Bab III Informasi dan Layanan Pengaduan A. angka 2 Peran e-Warong dalam Penyaluran PKH antara lain: 1) perpanjangan tangan dari bank penyalur dalam program bansos secara non-tunai, 2) sebagai media penghubung pengaduan penerima bantuan PKH dalam penyampaian pengaduan masyarakat. Pemerintah termasuk Kades tidak dapat mengintervensi e-Warong. Hal ini karena e-Warong adalah agen bank, pedagang dan/atau pihak lain yang telah bekerja sama dengan Bank Penyalur dan ditentukan sebagai tempat penarikan/ bersama bank penyalur.

2) Pendamping Sosial yang bertugas melakukan Pendampingan PKH bertugas antara lain: 1) melakukan fasilitasi, dan advokasi bagi keluarga penerima manfaat PKH dalam mengakses layanan fasilitas kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan sosial, (2) memastikan anggota keluarga penerima manfaat PKH menerima hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan dan persyaratan penerima manfaat PKH, 3) memastikan penerima bansos PKH diterima oleh keluarga penerima manfaat PKH tepat jumlah dan tepat sasaran, 4) memfasilitasi keluarga penerima manfaat PKH mendapatkan program bantuan komplementer di bidang kesehatan, pendidikan, subsidi energi, ekonomi, perumahan, dan pemenuhan kebutuhan dasar lain.

3) Dinas Sosial Kabupaten selaku Pelaksana PKH, salah satu tugasnya adalah bertanggung jawab dalam penyediaan informasi dan sosialisasi PKH di kecamatan, melakukan supervisi, pengawasan, dan pembinaan terhadap pelaksanaan PKH di kecamatan, memastikan pelaksanaan PKH sesuai dengan rencana serta menyelesaikan permasalahan dalam pelaksanaan PKH. Demikian pula tugas pelaksana PKH di tingkat kecamatan. Jika hal ini terlaksana secara periodik, maka akan dapat menekan kebocoran yang mungkin terjadi sehingga tidak merugikan masyarakat penerima manfaat.

Kasus Bansos PKH ini berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 pasal 2 ayat (1) ancaman hukumannya minimal 4 tahun. Jika pelakunya penyelenggara Negara akan dikaitkan dengan Pasal 12 ancaman hukumannya maksimal 20 tahun penjara. Sementara jika dikaitkan dengan objek hukum penerima manfaatnya adalah unsur “miskin” maka penegakan hukumnya dapat digunakan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin yang ancaman hukumannya maksimal 5 tahun atau maksimal denda 500 juta rupiah (Pasal 43 ayat (1)).

 

Rekomendasi

1) Kasus “sunat bansos PKH” ini dapat dijadikan pintu masuk semua pemangku kepentingan guna melakukan aksi pencegahan dini terhadap peluang melakukan tipikor.

2) Perlu ditambahkan integrity test dalam proses rekrutmen sumber daya manusia di setiap program pemberdayaan sehingga didapatkan the right man the right job guna meminimalisasi penyimpangan dalam pelaksanaan program.

3) Penting bagi penegak hukum untuk menemukan motif korupsi dalam rangka mendapatkan moral value untuk law enforcement sehingga dari proses hukum akan didapatkan hal baru untuk membentuk regulasi yang sifatnya predicable guna upaya pencegahan tipikor.

 

*Penulis adalah dosen STIE Widya Gama Lumajang dan mahasiswa S3 Fakultas Hukum Universitas Jember.

- Advertisement -

Bagai petir di siang bolong munculnya pemberitaan dugaan penyelewengan dana bantuan sosial (bansos) di Lumajang. Berita ini telah viral menggemparkan sekaligus mengenaskan di tengah pandemi Covid-19 yang tak kunjung usai. Baru saja kita dikejutkan oleh kejadian di Jakarta ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menjerat Juliari Batubara dengan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, di mana mantan Mensos akhirnya dituntut 11 tahun penjara. Objeknya bansos, namun kali ini justru terjadi di sebuah desa dan bisa saja terjadi di desa-desa lain di penjuru Nusantara.

Apa yang dipikirkan pelaku kejahatan ketika akan beraksi? Bagaimana pergulatan antara akan berbuat curang dengan kemiskinan masyarakat penerima manfaat? Dilema ini yang harus kita pikirkan sejak sekarang sebelum terlambat. Dilansir dari Jawa Pos Radar Jember (3 September 2021) Pemkab Lumajang tengah membuka pos pengaduan bantuan sosial di semua desa, sementara Unit Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Satreskrim Polres Lumajang sudah mulai menggelar pemeriksaan.

Tindak pidana korupsi biasanya tidak berdiri sendiri dan melalui proses yang tidak sederhana. Korupsi jelas sesuatu yang melanggar hukum ketika dilakukan dalam situasi dan kondisi normal, apalagi ketika korupsi dilakukan dalam kondisi khusus ketika negara dan bangsa ini sedang menghadapi bencana Pandemi Covid-19. Baharuddin Lopa mengutip pendapat David M. Chalmers: “Financial manipulations and deliction injurious to the economy are often labeled corrupt.”

Korupsi dapat dikonotasikan perbuatan curang, tindak pidana yang merugikan keuangan negara. Korupsi dapat terjadi di mana saja, di kota maupun di desa. Desa merepresentasikan wilayah dengan kultur budaya yang masih tinggi. Budaya timur yang penuh etika dan tepo seliro. Seharusnya tidak boleh terjadi di desa yang penuh dengan penjagaan nilai-nilai agama, kesederhanaan hidup, dan kegotong-royongan.

Terdapat kata indah bermakna, “To end corruption is my dream; togetherness in fighting it makes the dream come true.” Artinya mengakhiri korupsi adalah impian saya, kebersamaan dalam berjuang itu membuat mimpi menjadi kenyataan. Marilah bersama kita berupaya dengan segenap kesungguhan di era disruptif ini ikut mewujudkan tujuan negara untuk memajukan kesejahteraan umum (welfare state) dengan menjauhkan diri dari sesuatu yang bersifat amoral dan perbuatan curang.

Di sisi lain kita perlu mengapresiasi langkah sigap masyarakat dan perangkat Desa Sawaran Lor, media, aparat penegak hukum, serta Pemkab Lumajang yang telah dapat mengambil perannya dalam mewujudkan amanah untuk meletakkan hukum sebagai panglima sehingga pemerintah akan mampu meletakkan trust masyarakat terhadap hukum karena menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap hukum itu sangat berbahaya. Peran dan sinergisitas pilar penegakan hukum sangatlah strategis untuk diwujudkan yaitu hakim, jaksa, advokat, polisi, masyarakat, dan media.

Membahas bansos Program Keluarga Harapan (PKH) tidak dapat lepas dari landasan yuridisnya yaitu Peraturan Menteri Sosial RI (Permensos) Nomor 1 Tahun 2018. Aspek filosofis PKH untuk meningkatkan kualitas hidup keluarga miskin dan rentan melalui peningkatan aksesibilitas terhadap layanan kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan sosial sehingga dibutuhkan program perlindungan sosial yang terencana, terarah, dan berkelanjutan. Ini adalah sebuah cita-cita luhur negara yang dimandatkan kepada pemerintah sehingga wajib didukung perwujudannya oleh segenap stakeholder terkait.

Bantuan Sosial PKH berupa uang, kepada keluarga atau seseorang miskin, tidak mampu atau rentan terhadap risiko sosial. Program pemberian bantuan sosial ini bersyarat kepada keluarga atau seseorang miskin dan rentan yang terdaftar dalam data terpadu program penanganan fakir miskin yang diolah oleh Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial dan ditetapkan sebagai keluarga penerima manfaat PKH. Data terpadu PKH telah melalui tahapan verifikasi, validasi dan pemutakhiran data. verifikasi merupakan proses kegiatan pemeriksaan dan pengkajian untuk menjamin kebenaran data, validasi merupakan kegiatan untuk menetapkan kesahihan data sementara pemutakhiran data adalah proses perubahan terkini sebagian atau seluruh data anggota keluarga penerima manfaat PKH. Jadi database inilah salah satu kunci dalam kesuksesan penyelenggaraan PKH, tak terkecuali di Kabupaten Lumajang.

Tujuan PKH syarat dengan misi pemberdayaan yaitu: 1) meningkatkan taraf hidup keluarga penerima manfaat melalui akses layanan pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial, 2) mengurangi beban pengeluaran dan meningkatkan pendapatan keluarga miskin dan rentan, 3) menciptakan perubahan perilaku dan kemandirian keluarga penerima manfaat dalam mengakses layanan kesehatan dan pendidikan serta kesejahteraan sosial, 4) mengurangi kemiskinan dan kesenjangan; dan 5) mengenalkan manfaat produk dan jasa keuangan formal kepada keluarga penerima manfaat (Pasal 2 Permensos : 1/2018)

Munculnya istilah pendampingan PKH dari pasal 6 Permensos 1/2018 ini, yang lebih lanjut dijelaskan dalam Pasal 10 secara bertingkat dan untuk wilayah kabupaten terdiri dari: 1) koordinator daerah kabupaten/kota, 2) supervisor pekerjaan sosial, 3) pendamping sosial, 4) asisten pendamping sosial; dan 5) administrator pangkalan data. Unsur sumber daya manusia inilah yang dapat digunakan untuk mengurai sengkarut bansos PKH sehingga menjadi terang dan jelas aspek pertanggungjawabannya. Yang perlu digarisbawahi bahwa sumber daya manusia dimaksud dihadirkan melalui rekrutmen, seleksi, dan ditetapkan oleh direktur yang menangani pelaksanaan PKH sehingga harapannya memenuhi aspek kapasitas pelaku program pemberdayaan.

Beberapa pihak di kabupaten yang terkait program bansos PKH antara lain :

1) e-Warong muncul berdasar Permensos No.11/ 2018 jo Keputusan Dirjen Perlindungan dan Jamsos Nomor: 02/3/OT.02.01/12/2020 tentang Juknis Penyaluran Bansos Non Tunai Bab III Informasi dan Layanan Pengaduan A. angka 2 Peran e-Warong dalam Penyaluran PKH antara lain: 1) perpanjangan tangan dari bank penyalur dalam program bansos secara non-tunai, 2) sebagai media penghubung pengaduan penerima bantuan PKH dalam penyampaian pengaduan masyarakat. Pemerintah termasuk Kades tidak dapat mengintervensi e-Warong. Hal ini karena e-Warong adalah agen bank, pedagang dan/atau pihak lain yang telah bekerja sama dengan Bank Penyalur dan ditentukan sebagai tempat penarikan/ bersama bank penyalur.

2) Pendamping Sosial yang bertugas melakukan Pendampingan PKH bertugas antara lain: 1) melakukan fasilitasi, dan advokasi bagi keluarga penerima manfaat PKH dalam mengakses layanan fasilitas kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan sosial, (2) memastikan anggota keluarga penerima manfaat PKH menerima hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan dan persyaratan penerima manfaat PKH, 3) memastikan penerima bansos PKH diterima oleh keluarga penerima manfaat PKH tepat jumlah dan tepat sasaran, 4) memfasilitasi keluarga penerima manfaat PKH mendapatkan program bantuan komplementer di bidang kesehatan, pendidikan, subsidi energi, ekonomi, perumahan, dan pemenuhan kebutuhan dasar lain.

3) Dinas Sosial Kabupaten selaku Pelaksana PKH, salah satu tugasnya adalah bertanggung jawab dalam penyediaan informasi dan sosialisasi PKH di kecamatan, melakukan supervisi, pengawasan, dan pembinaan terhadap pelaksanaan PKH di kecamatan, memastikan pelaksanaan PKH sesuai dengan rencana serta menyelesaikan permasalahan dalam pelaksanaan PKH. Demikian pula tugas pelaksana PKH di tingkat kecamatan. Jika hal ini terlaksana secara periodik, maka akan dapat menekan kebocoran yang mungkin terjadi sehingga tidak merugikan masyarakat penerima manfaat.

Kasus Bansos PKH ini berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 pasal 2 ayat (1) ancaman hukumannya minimal 4 tahun. Jika pelakunya penyelenggara Negara akan dikaitkan dengan Pasal 12 ancaman hukumannya maksimal 20 tahun penjara. Sementara jika dikaitkan dengan objek hukum penerima manfaatnya adalah unsur “miskin” maka penegakan hukumnya dapat digunakan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin yang ancaman hukumannya maksimal 5 tahun atau maksimal denda 500 juta rupiah (Pasal 43 ayat (1)).

 

Rekomendasi

1) Kasus “sunat bansos PKH” ini dapat dijadikan pintu masuk semua pemangku kepentingan guna melakukan aksi pencegahan dini terhadap peluang melakukan tipikor.

2) Perlu ditambahkan integrity test dalam proses rekrutmen sumber daya manusia di setiap program pemberdayaan sehingga didapatkan the right man the right job guna meminimalisasi penyimpangan dalam pelaksanaan program.

3) Penting bagi penegak hukum untuk menemukan motif korupsi dalam rangka mendapatkan moral value untuk law enforcement sehingga dari proses hukum akan didapatkan hal baru untuk membentuk regulasi yang sifatnya predicable guna upaya pencegahan tipikor.

 

*Penulis adalah dosen STIE Widya Gama Lumajang dan mahasiswa S3 Fakultas Hukum Universitas Jember.

Bagai petir di siang bolong munculnya pemberitaan dugaan penyelewengan dana bantuan sosial (bansos) di Lumajang. Berita ini telah viral menggemparkan sekaligus mengenaskan di tengah pandemi Covid-19 yang tak kunjung usai. Baru saja kita dikejutkan oleh kejadian di Jakarta ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menjerat Juliari Batubara dengan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, di mana mantan Mensos akhirnya dituntut 11 tahun penjara. Objeknya bansos, namun kali ini justru terjadi di sebuah desa dan bisa saja terjadi di desa-desa lain di penjuru Nusantara.

Apa yang dipikirkan pelaku kejahatan ketika akan beraksi? Bagaimana pergulatan antara akan berbuat curang dengan kemiskinan masyarakat penerima manfaat? Dilema ini yang harus kita pikirkan sejak sekarang sebelum terlambat. Dilansir dari Jawa Pos Radar Jember (3 September 2021) Pemkab Lumajang tengah membuka pos pengaduan bantuan sosial di semua desa, sementara Unit Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Satreskrim Polres Lumajang sudah mulai menggelar pemeriksaan.

Tindak pidana korupsi biasanya tidak berdiri sendiri dan melalui proses yang tidak sederhana. Korupsi jelas sesuatu yang melanggar hukum ketika dilakukan dalam situasi dan kondisi normal, apalagi ketika korupsi dilakukan dalam kondisi khusus ketika negara dan bangsa ini sedang menghadapi bencana Pandemi Covid-19. Baharuddin Lopa mengutip pendapat David M. Chalmers: “Financial manipulations and deliction injurious to the economy are often labeled corrupt.”

Korupsi dapat dikonotasikan perbuatan curang, tindak pidana yang merugikan keuangan negara. Korupsi dapat terjadi di mana saja, di kota maupun di desa. Desa merepresentasikan wilayah dengan kultur budaya yang masih tinggi. Budaya timur yang penuh etika dan tepo seliro. Seharusnya tidak boleh terjadi di desa yang penuh dengan penjagaan nilai-nilai agama, kesederhanaan hidup, dan kegotong-royongan.

Terdapat kata indah bermakna, “To end corruption is my dream; togetherness in fighting it makes the dream come true.” Artinya mengakhiri korupsi adalah impian saya, kebersamaan dalam berjuang itu membuat mimpi menjadi kenyataan. Marilah bersama kita berupaya dengan segenap kesungguhan di era disruptif ini ikut mewujudkan tujuan negara untuk memajukan kesejahteraan umum (welfare state) dengan menjauhkan diri dari sesuatu yang bersifat amoral dan perbuatan curang.

Di sisi lain kita perlu mengapresiasi langkah sigap masyarakat dan perangkat Desa Sawaran Lor, media, aparat penegak hukum, serta Pemkab Lumajang yang telah dapat mengambil perannya dalam mewujudkan amanah untuk meletakkan hukum sebagai panglima sehingga pemerintah akan mampu meletakkan trust masyarakat terhadap hukum karena menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap hukum itu sangat berbahaya. Peran dan sinergisitas pilar penegakan hukum sangatlah strategis untuk diwujudkan yaitu hakim, jaksa, advokat, polisi, masyarakat, dan media.

Membahas bansos Program Keluarga Harapan (PKH) tidak dapat lepas dari landasan yuridisnya yaitu Peraturan Menteri Sosial RI (Permensos) Nomor 1 Tahun 2018. Aspek filosofis PKH untuk meningkatkan kualitas hidup keluarga miskin dan rentan melalui peningkatan aksesibilitas terhadap layanan kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan sosial sehingga dibutuhkan program perlindungan sosial yang terencana, terarah, dan berkelanjutan. Ini adalah sebuah cita-cita luhur negara yang dimandatkan kepada pemerintah sehingga wajib didukung perwujudannya oleh segenap stakeholder terkait.

Bantuan Sosial PKH berupa uang, kepada keluarga atau seseorang miskin, tidak mampu atau rentan terhadap risiko sosial. Program pemberian bantuan sosial ini bersyarat kepada keluarga atau seseorang miskin dan rentan yang terdaftar dalam data terpadu program penanganan fakir miskin yang diolah oleh Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial dan ditetapkan sebagai keluarga penerima manfaat PKH. Data terpadu PKH telah melalui tahapan verifikasi, validasi dan pemutakhiran data. verifikasi merupakan proses kegiatan pemeriksaan dan pengkajian untuk menjamin kebenaran data, validasi merupakan kegiatan untuk menetapkan kesahihan data sementara pemutakhiran data adalah proses perubahan terkini sebagian atau seluruh data anggota keluarga penerima manfaat PKH. Jadi database inilah salah satu kunci dalam kesuksesan penyelenggaraan PKH, tak terkecuali di Kabupaten Lumajang.

Tujuan PKH syarat dengan misi pemberdayaan yaitu: 1) meningkatkan taraf hidup keluarga penerima manfaat melalui akses layanan pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial, 2) mengurangi beban pengeluaran dan meningkatkan pendapatan keluarga miskin dan rentan, 3) menciptakan perubahan perilaku dan kemandirian keluarga penerima manfaat dalam mengakses layanan kesehatan dan pendidikan serta kesejahteraan sosial, 4) mengurangi kemiskinan dan kesenjangan; dan 5) mengenalkan manfaat produk dan jasa keuangan formal kepada keluarga penerima manfaat (Pasal 2 Permensos : 1/2018)

Munculnya istilah pendampingan PKH dari pasal 6 Permensos 1/2018 ini, yang lebih lanjut dijelaskan dalam Pasal 10 secara bertingkat dan untuk wilayah kabupaten terdiri dari: 1) koordinator daerah kabupaten/kota, 2) supervisor pekerjaan sosial, 3) pendamping sosial, 4) asisten pendamping sosial; dan 5) administrator pangkalan data. Unsur sumber daya manusia inilah yang dapat digunakan untuk mengurai sengkarut bansos PKH sehingga menjadi terang dan jelas aspek pertanggungjawabannya. Yang perlu digarisbawahi bahwa sumber daya manusia dimaksud dihadirkan melalui rekrutmen, seleksi, dan ditetapkan oleh direktur yang menangani pelaksanaan PKH sehingga harapannya memenuhi aspek kapasitas pelaku program pemberdayaan.

Beberapa pihak di kabupaten yang terkait program bansos PKH antara lain :

1) e-Warong muncul berdasar Permensos No.11/ 2018 jo Keputusan Dirjen Perlindungan dan Jamsos Nomor: 02/3/OT.02.01/12/2020 tentang Juknis Penyaluran Bansos Non Tunai Bab III Informasi dan Layanan Pengaduan A. angka 2 Peran e-Warong dalam Penyaluran PKH antara lain: 1) perpanjangan tangan dari bank penyalur dalam program bansos secara non-tunai, 2) sebagai media penghubung pengaduan penerima bantuan PKH dalam penyampaian pengaduan masyarakat. Pemerintah termasuk Kades tidak dapat mengintervensi e-Warong. Hal ini karena e-Warong adalah agen bank, pedagang dan/atau pihak lain yang telah bekerja sama dengan Bank Penyalur dan ditentukan sebagai tempat penarikan/ bersama bank penyalur.

2) Pendamping Sosial yang bertugas melakukan Pendampingan PKH bertugas antara lain: 1) melakukan fasilitasi, dan advokasi bagi keluarga penerima manfaat PKH dalam mengakses layanan fasilitas kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan sosial, (2) memastikan anggota keluarga penerima manfaat PKH menerima hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan dan persyaratan penerima manfaat PKH, 3) memastikan penerima bansos PKH diterima oleh keluarga penerima manfaat PKH tepat jumlah dan tepat sasaran, 4) memfasilitasi keluarga penerima manfaat PKH mendapatkan program bantuan komplementer di bidang kesehatan, pendidikan, subsidi energi, ekonomi, perumahan, dan pemenuhan kebutuhan dasar lain.

3) Dinas Sosial Kabupaten selaku Pelaksana PKH, salah satu tugasnya adalah bertanggung jawab dalam penyediaan informasi dan sosialisasi PKH di kecamatan, melakukan supervisi, pengawasan, dan pembinaan terhadap pelaksanaan PKH di kecamatan, memastikan pelaksanaan PKH sesuai dengan rencana serta menyelesaikan permasalahan dalam pelaksanaan PKH. Demikian pula tugas pelaksana PKH di tingkat kecamatan. Jika hal ini terlaksana secara periodik, maka akan dapat menekan kebocoran yang mungkin terjadi sehingga tidak merugikan masyarakat penerima manfaat.

Kasus Bansos PKH ini berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 pasal 2 ayat (1) ancaman hukumannya minimal 4 tahun. Jika pelakunya penyelenggara Negara akan dikaitkan dengan Pasal 12 ancaman hukumannya maksimal 20 tahun penjara. Sementara jika dikaitkan dengan objek hukum penerima manfaatnya adalah unsur “miskin” maka penegakan hukumnya dapat digunakan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin yang ancaman hukumannya maksimal 5 tahun atau maksimal denda 500 juta rupiah (Pasal 43 ayat (1)).

 

Rekomendasi

1) Kasus “sunat bansos PKH” ini dapat dijadikan pintu masuk semua pemangku kepentingan guna melakukan aksi pencegahan dini terhadap peluang melakukan tipikor.

2) Perlu ditambahkan integrity test dalam proses rekrutmen sumber daya manusia di setiap program pemberdayaan sehingga didapatkan the right man the right job guna meminimalisasi penyimpangan dalam pelaksanaan program.

3) Penting bagi penegak hukum untuk menemukan motif korupsi dalam rangka mendapatkan moral value untuk law enforcement sehingga dari proses hukum akan didapatkan hal baru untuk membentuk regulasi yang sifatnya predicable guna upaya pencegahan tipikor.

 

*Penulis adalah dosen STIE Widya Gama Lumajang dan mahasiswa S3 Fakultas Hukum Universitas Jember.

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca