JEMBER, RADARJEMBER.ID – Sampah plastik selalu menjadi masalah utama dalam kasus pencemaran lingkungan. Baik pencemaran tanah maupun laut. Karena plastik mempunyai sifat tak mudah terurai. Proses pengolahannya menimbulkan toksit dan bersifat karsinogenik. Butuh waktu sampai ratusan tahun bila terurai secara alami.
Indonesia merupakan penghasil sampah plastik laut terbesar ke dua di dunia setelah Tiongkok. Dengan perkiraan yang menunjukkan bahwa sampah plastik menyumbang sekitar 10 persen dari polusi plastik global. Dan dapat diketahui bahwa 4 sungai di Indonesia termasuk di antara 20 sungai yang paling tercemar di dunia dalam hal sampah plastik. Hal ini merupakan bukti bahwa tingkat kesadaran tentang daur ulang dan dampak lingkungan masih sangat rendah.
Padahal jumlah penduduk pesisir Indonesia hampir sama dengan India, yaitu 187 juta jiwa. Namun, tingkat pencemaran plastik ke laut India hanya sekitar 0,09-0,24 juta ton/tahun dan menempati urutan ke 12. Artinya, memang ada sistem pengelolaan sampah yang buruk di Indonesia.
Menurut data National Plastic Action Partnership (NPAP), Indonesia menghasilkan sekitar 6,8 juta ton sampah plastik per tahun, dan 61 persen tidak terkelola. NPAP memperkirakan 620.000 ton sampah plastik masuk ke perairan Indonesia pada 2017. Bila tidak ada intervensi, jumlahnya akan meningkat 30 persen pada 2025 menjadi 780.000 ton per tahun.
Plastik yang dibuang sembarangan contohnya di sungai akan terbawa arus menuju laut. Plastik akhirnya berada di laut dan menimbulkan bahaya serius bagi hewan laut atau hewan-hewan sekitar laut. Terdapat ribuan hewan yang terluka atau mati setiap tahunnya setelah menelan sampah plastik.
Pernah terjadi tahun 2018 seekor paus sperma ditemukan mati terdampar di perairan Pulau Kapota, Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Menurut World Wide Fund for Nature (WWF), paus ini menelan hampir enam kilogram plastik dan sandal jepit. Sebagai sebuah negara kepulauan, memberikan Indonesia memiliki tanggung jawab yang lebih besar. Dan sudah bukan rahasia lagi kalau Indonesia merupakan salah satu pusat dari ekosistem laut dunia. Perairan Indonesia merupakan rumah dari 76 persen spesies karang, hutan bakau, dan padang lamun. Berbagai spesies perikanan, tentu akan terganggu dengan adanya sampah plastik tersebut.
Selain dampak lingkungan, sampah plastik juga berisiko menekan kegiatan perekonomian Indonesia. Sebab, berdasarkan buku saku Kementerian Pariwisata, sektor pariwisata RI menyumbang 9 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2014.
Adanya polusi perairan tentu saja akan berdampak pada penurunan kinerja pariwisata. Apalagi dunia internasional menilai daya tarik utama pariwisata Indonesia adalah di wilayah pesisir. Hal itu dibuktikan dari jumlah wisatawan asing yang mendarat di Bali mencapai 2,29 juta sepanjang Januari-Mei 2019 atau 62 persen dari total wisatawan yang datang melalui pintu udara.
Kala potensi pariwisata tidak bisa digarap akibat hambatan faktor polusi, laju pertumbuhan ekonomi semakin sulit untuk diangkat dari kisaran 5 persen seperti sekarang ini. Jadi, kita sebagai warga negara Indonesia harus berusaha menjaga Ekosistem Laut agar tetap terjaga keindahannya dan keselamatan hewan-hewan laut.
Kita juga tahu bahwa masalah plastik adalah hal yang kompleks. Industri plastik memberikan tawaran berupa barang-barang berbahan dasar plastik dengan harga yang lebih murah, dan masyarakat pun memilih untuk membelinya, tanpa melihat dampak mengonsumsi barang-barang plastik tersebut.
Pemerintah Indonesia sebagai aktor yang memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan, seharusnya juga dapat bersikap lebih tegas terkait penggunaan plastik. Pengendalian sampah plastik dengan adanya kebijakan plastik berbayar di pusat perbelanjaan atau tidak disediakan kantong plastik, agar masyarakat membawa kantong belanja sendiri dari rumah. Mungkin itu bisa dipandang sangat efektif dalam mengurangi sampah plastik.
Namun, faktanya kebijakan plastik berbayar atau tidak disediakan kantong plastik di pusat perbelanjaan hanya berlaku di beberapa daerah saja. Sehingga, kebijakan ini tidak dilakukan secara konsisten. Tidak adanya payung hukum yang jelas dan tegas, serta sosialisasi yang masih kurang membuat kebijakan ini tidak berjalan dengan baik. Oleh karena itu, pemerintah harus memberikan perhatian lebih dan bersikap tegas terhadap masalah plastik.
*) Penulis adalah warga Lumajang yang menempuh S-1 di Universitas Muhammadiyah Malang.