29.8 C
Jember
Thursday, 23 March 2023

Ketupat May Day, untuk Siapa?

Mobile_AP_Rectangle 1

Semua tahu, Hari Buruh Internasional jatuh pada 1 Mei. Orang menyebut dengan istilah May Day. Pemerintah menetapkan tanggal itu sebagai hari libur nasional. May Day tahun ini cukup istimewa. Pas dengan suasana Idul Fitri sebagai momentum kemenangan setelah satu bulan menjalani puasa Ramadhan. Euforia Idul Fitri yang melahirkan tradisi Lebaran, menjadikan buruh berpikir ulang untuk turun ke jalan. Betapa tidak. Idul Fitri adalah religiusitas universal, sementara Lebaran adalah budaya yang melekat dalam ranah lokal. Buruh pada umumnya fokus untuk mudik. Pulang kampung melakukan aksi terapiutis untuk lepas dari rutinitas. Volume kendaraan bertambah. Macet sudah pasti, demi kampung halaman dan deklarasi maaf sesama setelah bersimpuh di hadapan orang tua dan tabur bunga.

Nominal THR yang buruh dapatkan sejatinya tidak cukup untuk biaya semua itu. Namun Lebaran adalah sumber nilai kasih sayang yang menjauhkan pemikiran dan aksi perlawanan. Termasuk perlawanan terhadap rezim penguasa dan pengusaha. Buruh berpikir ulang untuk orasi menyuarakan keluhan, teriak menyampaikan aspirasi dan menuding pemerintah atas kebijakan yang dirasa eksploitatif dalam hubungan kerja.

Persoalannya, apa sesungguhnya makna May Day di NKRI ini ? Apakah May Day sebatas refleksi kesejagatan buruh atas keberhasilan menggugat jam kerja menjadi 8 jam sehari dalam peristiwa kerusuhan pada demonstrasi Haymarket pada 4 Mei 1886 di Chicago, Illinois, Amerika Serikat (AS) ? Apakah May Day tidak lebih sebagai bentuk wahana kebebasan berekspresi sebagai tradisi tanpa orientasi ? Apakah May Day identik dengan aksi massif guna melepas beban psikologis buruh ?

Mobile_AP_Rectangle 2

Ragam pertanyaan di atas hingga kini belum menemukan jawaban absolut. May Day seolah hanya momentum bagi entitas buruh. Menegasi-kan konteks hubungan industrial yang di dalamnya terdapat komponen Pemerintah – Buruh – Pengusaha. Norma menyebut dengan istilah Tripartit. Dalam konteks interaktif tiga komponen dimaksud, sesungguhnya secara moral, fungsional dan norma, May Day adalah ‘hajat’ Tripartit. Teriakan buruh tidak lebih sebatas auman harimau di padang rumput jika tidak ada satupun komponen triparti yang mendengar, mencatat dan mengakomodasikan dalam kerangka kebijakan di bidang hubungan kerja.

Paradigma May Day sebagai momentum hajat buruh saja, sudah saatnya untuk dikaji ulang, disesuaikan dengan payung perlindungan konstitusional bagi buruh sebagai wujud komitmen dan konsistensi terhadap Hubungan Industrial Pancasila (HIP). Cita hukum Pancasila merupakan filterisasi ideologis sehingga May Day di Indonesia tetap ditumbuhkembangkan namun dengan koridor partikularisme. Artinya, refleksi konsep May Day harus diposisikan sekaligus dimaknai untuk membangun komitmen dan konsistensi mewujudkan nilai-nilai HIP. Buruh dan pengusaha adalah mitra dengan objek usaha sebagai sawah – ladang bersama dalam rangka produktivitas untuk dinikmati kedua belah pihak. Ada gerakan dahsyat akan kesadaran saling membutuhkan. Eksistensi buruh tidak pernah ada tanpa pengusaha. Demikian sebaliknya. Sementara pemerintah adalah pengambil kebijakan yang tidak berpihak. Inilah yang dikenal dengan sebutan Industrial Peace. Meneguhkan harmoni. Menjaga stabilitas untuk mengikis rasa takut investor menanamkan modal dan merekrut tenaga kerja.

Dalam kancah internasional bernegara, dogma partikularisme ini dirasa penting dan mendasar sebagai kebutuhan sekaligus penegas akan kedaulatan NKRI yang berkarakter Pancasila. Filterisasi ini sebenarnya bukan hal baru. Rusia, menggelorakan May Day sebagai gerakan perlawanan terhadap kapitalisme karena karakteristik ideologis. Jika Indonesia kehilangan karakter ideologisnya untuk mewarnai May Day, sungguh kenyataan demikian menjadi hal yang ironi. Keberadaan HIP menjadi sama dengan ketidakberadaannya. Dengan Industrial Peace sebagai tujuan, pada gilirannya May Day menjadi ruang gerak dan wahana hajat bersama Tripartit. Dengan demikian selebrasi May Day tidak menjadi monopoli buruh saja. Pengusaha dan pemerintah dituntut untuk mengintegrasikan diri, duduk bersama untuk saling bertukar pikiran, menggali konsep solusi dari kebutuhan, diwarnai komunikasi untuk saling mengingatkan dalam landasan kearifan, evaluasi diri serta introspeksi.

Jika konsep pemikiran tersebut menjadi paradigma baru maka bisa dipastikan bahwa saat May Day akan nampak integritas konkrit Tripartit dalam berbagai prosesi acara tanpa menciptakan kemacetan jalanan. Toko-toko tetap buka tanpa rasa cemas akan ancaman anarkis. Udara menjadi bersih tanpa kotoran asap ban dibakar. Media menjadi sepi berita keberingasan aparat karena tuntutan tugas ketertiban dan pengamanan. Buruh dan jaringan buruh menjadi fokus untuk melakukan inventarisasi isu hubungan kerja, mengomunikasikan dalam berbagai forum, serta intensif melakukan negosiasi atas dasar alasan rasional dan normatif di hari itu. Sementara pengusaha dan gabungan pengusaha disibukkan dengan konsolidasi internal untuk merespon aspirasi buruh. Sedangkan Pemerintah tetap berkepala dingin menjalankan tugas konstitusionalnya. Mengejawantahkan Pasal 28D ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945, bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.

May Day dengan paradigma baru, melahirkan dinamika May Day tidak lagi identik dengan suasana horor dan aksi perlawanan. May Day tidak lagi menciptakan potret hingar bingar yang menyulut kemacetan. May Day pada akhirnya menjadi Ketupat yang bisa melengkapi dan menyempurnakan ragam menu masakan yang disajikan guna mengobati rasa lapar buruh, membangun kesejahteraan keluarganya, menjamin kelangsungan usaha perusahaan serta prospektif untuk menciptakan ruang investasi. Sudah saatnya, May Day menjadi ketupat yang sedap untuk Indonesia kini dan mendatang.

 

Penulis adalah Pakar Hukum Ketenagakerjaan Fakultas Hukum Universitas Jember

 

 

 

 

 

 

 

 

 

- Advertisement -

Semua tahu, Hari Buruh Internasional jatuh pada 1 Mei. Orang menyebut dengan istilah May Day. Pemerintah menetapkan tanggal itu sebagai hari libur nasional. May Day tahun ini cukup istimewa. Pas dengan suasana Idul Fitri sebagai momentum kemenangan setelah satu bulan menjalani puasa Ramadhan. Euforia Idul Fitri yang melahirkan tradisi Lebaran, menjadikan buruh berpikir ulang untuk turun ke jalan. Betapa tidak. Idul Fitri adalah religiusitas universal, sementara Lebaran adalah budaya yang melekat dalam ranah lokal. Buruh pada umumnya fokus untuk mudik. Pulang kampung melakukan aksi terapiutis untuk lepas dari rutinitas. Volume kendaraan bertambah. Macet sudah pasti, demi kampung halaman dan deklarasi maaf sesama setelah bersimpuh di hadapan orang tua dan tabur bunga.

Nominal THR yang buruh dapatkan sejatinya tidak cukup untuk biaya semua itu. Namun Lebaran adalah sumber nilai kasih sayang yang menjauhkan pemikiran dan aksi perlawanan. Termasuk perlawanan terhadap rezim penguasa dan pengusaha. Buruh berpikir ulang untuk orasi menyuarakan keluhan, teriak menyampaikan aspirasi dan menuding pemerintah atas kebijakan yang dirasa eksploitatif dalam hubungan kerja.

Persoalannya, apa sesungguhnya makna May Day di NKRI ini ? Apakah May Day sebatas refleksi kesejagatan buruh atas keberhasilan menggugat jam kerja menjadi 8 jam sehari dalam peristiwa kerusuhan pada demonstrasi Haymarket pada 4 Mei 1886 di Chicago, Illinois, Amerika Serikat (AS) ? Apakah May Day tidak lebih sebagai bentuk wahana kebebasan berekspresi sebagai tradisi tanpa orientasi ? Apakah May Day identik dengan aksi massif guna melepas beban psikologis buruh ?

Ragam pertanyaan di atas hingga kini belum menemukan jawaban absolut. May Day seolah hanya momentum bagi entitas buruh. Menegasi-kan konteks hubungan industrial yang di dalamnya terdapat komponen Pemerintah – Buruh – Pengusaha. Norma menyebut dengan istilah Tripartit. Dalam konteks interaktif tiga komponen dimaksud, sesungguhnya secara moral, fungsional dan norma, May Day adalah ‘hajat’ Tripartit. Teriakan buruh tidak lebih sebatas auman harimau di padang rumput jika tidak ada satupun komponen triparti yang mendengar, mencatat dan mengakomodasikan dalam kerangka kebijakan di bidang hubungan kerja.

Paradigma May Day sebagai momentum hajat buruh saja, sudah saatnya untuk dikaji ulang, disesuaikan dengan payung perlindungan konstitusional bagi buruh sebagai wujud komitmen dan konsistensi terhadap Hubungan Industrial Pancasila (HIP). Cita hukum Pancasila merupakan filterisasi ideologis sehingga May Day di Indonesia tetap ditumbuhkembangkan namun dengan koridor partikularisme. Artinya, refleksi konsep May Day harus diposisikan sekaligus dimaknai untuk membangun komitmen dan konsistensi mewujudkan nilai-nilai HIP. Buruh dan pengusaha adalah mitra dengan objek usaha sebagai sawah – ladang bersama dalam rangka produktivitas untuk dinikmati kedua belah pihak. Ada gerakan dahsyat akan kesadaran saling membutuhkan. Eksistensi buruh tidak pernah ada tanpa pengusaha. Demikian sebaliknya. Sementara pemerintah adalah pengambil kebijakan yang tidak berpihak. Inilah yang dikenal dengan sebutan Industrial Peace. Meneguhkan harmoni. Menjaga stabilitas untuk mengikis rasa takut investor menanamkan modal dan merekrut tenaga kerja.

Dalam kancah internasional bernegara, dogma partikularisme ini dirasa penting dan mendasar sebagai kebutuhan sekaligus penegas akan kedaulatan NKRI yang berkarakter Pancasila. Filterisasi ini sebenarnya bukan hal baru. Rusia, menggelorakan May Day sebagai gerakan perlawanan terhadap kapitalisme karena karakteristik ideologis. Jika Indonesia kehilangan karakter ideologisnya untuk mewarnai May Day, sungguh kenyataan demikian menjadi hal yang ironi. Keberadaan HIP menjadi sama dengan ketidakberadaannya. Dengan Industrial Peace sebagai tujuan, pada gilirannya May Day menjadi ruang gerak dan wahana hajat bersama Tripartit. Dengan demikian selebrasi May Day tidak menjadi monopoli buruh saja. Pengusaha dan pemerintah dituntut untuk mengintegrasikan diri, duduk bersama untuk saling bertukar pikiran, menggali konsep solusi dari kebutuhan, diwarnai komunikasi untuk saling mengingatkan dalam landasan kearifan, evaluasi diri serta introspeksi.

Jika konsep pemikiran tersebut menjadi paradigma baru maka bisa dipastikan bahwa saat May Day akan nampak integritas konkrit Tripartit dalam berbagai prosesi acara tanpa menciptakan kemacetan jalanan. Toko-toko tetap buka tanpa rasa cemas akan ancaman anarkis. Udara menjadi bersih tanpa kotoran asap ban dibakar. Media menjadi sepi berita keberingasan aparat karena tuntutan tugas ketertiban dan pengamanan. Buruh dan jaringan buruh menjadi fokus untuk melakukan inventarisasi isu hubungan kerja, mengomunikasikan dalam berbagai forum, serta intensif melakukan negosiasi atas dasar alasan rasional dan normatif di hari itu. Sementara pengusaha dan gabungan pengusaha disibukkan dengan konsolidasi internal untuk merespon aspirasi buruh. Sedangkan Pemerintah tetap berkepala dingin menjalankan tugas konstitusionalnya. Mengejawantahkan Pasal 28D ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945, bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.

May Day dengan paradigma baru, melahirkan dinamika May Day tidak lagi identik dengan suasana horor dan aksi perlawanan. May Day tidak lagi menciptakan potret hingar bingar yang menyulut kemacetan. May Day pada akhirnya menjadi Ketupat yang bisa melengkapi dan menyempurnakan ragam menu masakan yang disajikan guna mengobati rasa lapar buruh, membangun kesejahteraan keluarganya, menjamin kelangsungan usaha perusahaan serta prospektif untuk menciptakan ruang investasi. Sudah saatnya, May Day menjadi ketupat yang sedap untuk Indonesia kini dan mendatang.

 

Penulis adalah Pakar Hukum Ketenagakerjaan Fakultas Hukum Universitas Jember

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Semua tahu, Hari Buruh Internasional jatuh pada 1 Mei. Orang menyebut dengan istilah May Day. Pemerintah menetapkan tanggal itu sebagai hari libur nasional. May Day tahun ini cukup istimewa. Pas dengan suasana Idul Fitri sebagai momentum kemenangan setelah satu bulan menjalani puasa Ramadhan. Euforia Idul Fitri yang melahirkan tradisi Lebaran, menjadikan buruh berpikir ulang untuk turun ke jalan. Betapa tidak. Idul Fitri adalah religiusitas universal, sementara Lebaran adalah budaya yang melekat dalam ranah lokal. Buruh pada umumnya fokus untuk mudik. Pulang kampung melakukan aksi terapiutis untuk lepas dari rutinitas. Volume kendaraan bertambah. Macet sudah pasti, demi kampung halaman dan deklarasi maaf sesama setelah bersimpuh di hadapan orang tua dan tabur bunga.

Nominal THR yang buruh dapatkan sejatinya tidak cukup untuk biaya semua itu. Namun Lebaran adalah sumber nilai kasih sayang yang menjauhkan pemikiran dan aksi perlawanan. Termasuk perlawanan terhadap rezim penguasa dan pengusaha. Buruh berpikir ulang untuk orasi menyuarakan keluhan, teriak menyampaikan aspirasi dan menuding pemerintah atas kebijakan yang dirasa eksploitatif dalam hubungan kerja.

Persoalannya, apa sesungguhnya makna May Day di NKRI ini ? Apakah May Day sebatas refleksi kesejagatan buruh atas keberhasilan menggugat jam kerja menjadi 8 jam sehari dalam peristiwa kerusuhan pada demonstrasi Haymarket pada 4 Mei 1886 di Chicago, Illinois, Amerika Serikat (AS) ? Apakah May Day tidak lebih sebagai bentuk wahana kebebasan berekspresi sebagai tradisi tanpa orientasi ? Apakah May Day identik dengan aksi massif guna melepas beban psikologis buruh ?

Ragam pertanyaan di atas hingga kini belum menemukan jawaban absolut. May Day seolah hanya momentum bagi entitas buruh. Menegasi-kan konteks hubungan industrial yang di dalamnya terdapat komponen Pemerintah – Buruh – Pengusaha. Norma menyebut dengan istilah Tripartit. Dalam konteks interaktif tiga komponen dimaksud, sesungguhnya secara moral, fungsional dan norma, May Day adalah ‘hajat’ Tripartit. Teriakan buruh tidak lebih sebatas auman harimau di padang rumput jika tidak ada satupun komponen triparti yang mendengar, mencatat dan mengakomodasikan dalam kerangka kebijakan di bidang hubungan kerja.

Paradigma May Day sebagai momentum hajat buruh saja, sudah saatnya untuk dikaji ulang, disesuaikan dengan payung perlindungan konstitusional bagi buruh sebagai wujud komitmen dan konsistensi terhadap Hubungan Industrial Pancasila (HIP). Cita hukum Pancasila merupakan filterisasi ideologis sehingga May Day di Indonesia tetap ditumbuhkembangkan namun dengan koridor partikularisme. Artinya, refleksi konsep May Day harus diposisikan sekaligus dimaknai untuk membangun komitmen dan konsistensi mewujudkan nilai-nilai HIP. Buruh dan pengusaha adalah mitra dengan objek usaha sebagai sawah – ladang bersama dalam rangka produktivitas untuk dinikmati kedua belah pihak. Ada gerakan dahsyat akan kesadaran saling membutuhkan. Eksistensi buruh tidak pernah ada tanpa pengusaha. Demikian sebaliknya. Sementara pemerintah adalah pengambil kebijakan yang tidak berpihak. Inilah yang dikenal dengan sebutan Industrial Peace. Meneguhkan harmoni. Menjaga stabilitas untuk mengikis rasa takut investor menanamkan modal dan merekrut tenaga kerja.

Dalam kancah internasional bernegara, dogma partikularisme ini dirasa penting dan mendasar sebagai kebutuhan sekaligus penegas akan kedaulatan NKRI yang berkarakter Pancasila. Filterisasi ini sebenarnya bukan hal baru. Rusia, menggelorakan May Day sebagai gerakan perlawanan terhadap kapitalisme karena karakteristik ideologis. Jika Indonesia kehilangan karakter ideologisnya untuk mewarnai May Day, sungguh kenyataan demikian menjadi hal yang ironi. Keberadaan HIP menjadi sama dengan ketidakberadaannya. Dengan Industrial Peace sebagai tujuan, pada gilirannya May Day menjadi ruang gerak dan wahana hajat bersama Tripartit. Dengan demikian selebrasi May Day tidak menjadi monopoli buruh saja. Pengusaha dan pemerintah dituntut untuk mengintegrasikan diri, duduk bersama untuk saling bertukar pikiran, menggali konsep solusi dari kebutuhan, diwarnai komunikasi untuk saling mengingatkan dalam landasan kearifan, evaluasi diri serta introspeksi.

Jika konsep pemikiran tersebut menjadi paradigma baru maka bisa dipastikan bahwa saat May Day akan nampak integritas konkrit Tripartit dalam berbagai prosesi acara tanpa menciptakan kemacetan jalanan. Toko-toko tetap buka tanpa rasa cemas akan ancaman anarkis. Udara menjadi bersih tanpa kotoran asap ban dibakar. Media menjadi sepi berita keberingasan aparat karena tuntutan tugas ketertiban dan pengamanan. Buruh dan jaringan buruh menjadi fokus untuk melakukan inventarisasi isu hubungan kerja, mengomunikasikan dalam berbagai forum, serta intensif melakukan negosiasi atas dasar alasan rasional dan normatif di hari itu. Sementara pengusaha dan gabungan pengusaha disibukkan dengan konsolidasi internal untuk merespon aspirasi buruh. Sedangkan Pemerintah tetap berkepala dingin menjalankan tugas konstitusionalnya. Mengejawantahkan Pasal 28D ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945, bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.

May Day dengan paradigma baru, melahirkan dinamika May Day tidak lagi identik dengan suasana horor dan aksi perlawanan. May Day tidak lagi menciptakan potret hingar bingar yang menyulut kemacetan. May Day pada akhirnya menjadi Ketupat yang bisa melengkapi dan menyempurnakan ragam menu masakan yang disajikan guna mengobati rasa lapar buruh, membangun kesejahteraan keluarganya, menjamin kelangsungan usaha perusahaan serta prospektif untuk menciptakan ruang investasi. Sudah saatnya, May Day menjadi ketupat yang sedap untuk Indonesia kini dan mendatang.

 

Penulis adalah Pakar Hukum Ketenagakerjaan Fakultas Hukum Universitas Jember

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca