23.5 C
Jember
Tuesday, 30 May 2023

Manis Pahit Demokrasi

Mobile_AP_Rectangle 1

“Demokrasi tidak hanya berhenti pada tataran prosedural belaka. Demokrasi itu harus mampu mewujudkan kemaslahatan bagi rakyat, terutama mereka yang paling lemah, miskin, dan tertindas.” (KH. Abdurrahman Wahid, presiden keempat Indonesia)

Kutipan sederhana di atas cukup kiranya mewakili bagaimana seharusnya dampak dan peran demokrasi dalam sebuah negara. Lewat pernyataan itu, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur ingin menegaskan kembali bahwa demokrasi haruslah mampu menciptakan kemaslahatan, kesejahteraan, dan keadilan bagi seluruh rakyat negara terutama kalangan bawah. Sudahkah tujuan itu tercapai? Jawaban amannya, mungkin masih proses. Mari kita obrolkan bersama.

Dalam sejarah dikisahkan Indonesia mengalami beberapa fase dan model dalam sistem pemerintahan. Awal kemerdekaan berhasil direnggut dari para penjajah, para pembesar bangsa berdiskusi apakah yang layak menjadi ideologi sebagai landasan negara. Singkat cerita, demi menengahi dan mendamaikan antar beberapa kubu seperti islamis dan nasionalis, lahirlah sebuah ideologi negara berupa Pancasila. Dari situ, seiring berjalannya waktu, dari masa presiden Soekarno, Soeharto, dan seterusnya sampai sekarang presiden Joko Widodo, Indonesia masih kokoh dengan Pancasila sebagai pegangan dan dasar negara yang melindungi semua.

Mobile_AP_Rectangle 2

Buntut dari pada Pancasila adalah demokrasi dan bagian dari demokrasi adalah adanya pemilihan umum, disingkat Pemilu. Tahun ini, 2019, untuk kali pertama Indonesia mengadakan pesta demokrasi berupa pemilihan umum secara serentak, dalam arti pemilihan secara bersamaan antara calon presiden dan wakil rakyat atau DPR. Dan itu sudah terlaksana 17 April 2019 lalu.

Diakui atau tidak, pasca 17 April itu, suhu politik masih terasa dan dirasakan sebagian kalangan terutama kalangan elit politik sebagai lakon utama. Dalam berbagai diskusi dan pertunjukan, sebagian besar acara TV masih menyiarkan perdebatan para elit ini. Bagi rakyat biasa, atau selain kalangan elit, mereka merasakan tensi dan suhu politik pemilu kali ini sebagai pemilu yang panas dan menyita perhatian berbagai kalangan untuk turut andil berpartisipasi. Pada awalnya, sebagian survei memprediksi akan banyak kalangan lebih memilih golput dan tidak datang ke TPS, tapi ternyata prediksi itu meleset ketika KPU merilis data ternyata jumlah pemilih pemilu 2019 meningkat jadi 192.866.254. Tentu ini merupakan sebuah prestasi karena menumbuhkan rasa sadar rakyat bahwa suara mereka penting buat negara lima tahun kedepan, namun di satu sisi hal ini juga melahirkan sedikit polemik Alhasil, pemilu 2019, terutama pemilihan presiden kali ini, bersuhu tinggi dan bertensi panas.

Seharusnya, ketika pemilihan sudah terlaksana, rakyat dan seluruh kalangan baik elit maupun rakyat biasa dapat bersabar dan menunggu hasil resmi yang akan diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas berjalannya pemilu ini sampai selesai. Bukan lantas terus berkutat dalam kubangan perdebatan politik tanpa tujuan seakan sangat bernafsu merebut kekuasaan. Tensi panas sepeti ketika masa kampanye lalu baiknya tidak lagi ada dan ditampilkan terutama oleh para elit setelah pemilu 17 April lalu.

Dari uraian diatas, dapat kiranya kita nilai bersama sudahkah demokrasi dengan pemilu sebagai bagian dalamnya menghadirkan kedamian, keadilan, dan kemaslahatan bagi semua kalangan terutama bagi kalangan bawah? Jika yang ditampakkan di lapangan adalah pertengkaran tanpa usai, perdebatan tanpa solusi dan terus merebut kemenangan padahal masih banyak urusan negara lainnya yang perlu diselesaikan, masih banyak kepentingan rakyat yang harus di ketimbang terus berkutat dalam pusaran politik dan kekuasaan, maka secara sedih kita bisa jawab bahwa demokrasi kita belum sampai pada tujuan yang sebenarnya.

Dalam sebuah acara TV seorang pakar hukum tata negara Margarito Kamis mengatakan bahwa dasar dari demokrasi, pemilu dan anak turunanya adalah menciptakan tatanan kehidupan manusia yang berperadaban. Oleh karenanya, prinsip dasar pemilu adalah jujur dan adil. Jika pemilu justru menampilkan sesuatu yang kurang beradab, bagaimana bisa pemilu dapat mencapai tujuan awalnya untuk menciptakan peradaban yang mapan.

Inilah yang juga dikomentari oleh seorang pengamat politik Burhanuddin Muhtadi dalam bukunya yang baru terbit berjudul Populisme Politik Identitas dan Dinamika Elektoral, Mengurai Jalan Panjang Demokarsi Prosedural, secara ringkas Burhanuddin ingin sedikit mengajak kita mengevaluasi kembali narasi demokrasi yang dianggap telah mapan. Isu sentral dalam dinamika demokrasi kita saat ini berporos dalam tiga pokok isu yaitu Politik Identitas, Politik Populisme, dan geliat Politik Elektoral. Secara mendalam Burhanuddin hendak menyajikan ulasan bagaimana keberadaan Koalisi Transaksional, Kutukan Sistem Presidensial. Rekonsiliasi Politik, Ideologi Partai, Opurtunisme Elit, dan perilaku pemilih.

Burhanuddin menambahkan bahwa Demokrasi di Indonesia yang sudah tidak lagi berusia muda, memasuki tahun ke-20 pasca reformasi, secara sedih diakui atau tidak mengalami kemunduran sebagaimana laporan The Economist Intelligence Unit yang telah meneliti di 167 negara dan ranking demokrasi Indonesia turun 20 peringkat dari posisi 48 ke peringkat 68.

Islam menawarkan sebuah teori sebagai jalan keluar ketika terjadi sebuah konflik atau perseteruan yang tidak kunjung usai, yang disebut dengan islah. Islahun baina an-nas, istilah ini dapat kita pahami sebagai langkah rekonsiliasi atau upaya memulihkan hubungan persahabatan seperti keadaan semula.

Isu, hoax, pertikaian, perseteruan, dan bersi tegang yang terus terjadi saat ini padahal 17 April sudah lama berlalu, haruslah kita selesaikan dan saatnya kembali seperti sedia kala ketika pertemanan dan persaudaraan dibangun. Teman yang sempat bersitegang karena perbedaan pilihan, sekaranglah saatnya untuk kembali berpelukan. Bukan malah terus bersitegang mengklaim kemenangan padahal pengumuman resmi dari KPU belum diumumkan. Saatnya kembali pada pekerjaan semula, bagi pelajar atau mahasiswa, kembalilah belajar dan perkaya ilmu pengetahuan, hentikan sejenak pembahasan politik. Begitupun para tokoh agama, kembalilah berdakwah menyeru pada kebaikan dan tahanlah sejenak mengajak masyarakat berbicara tentang politik. Marilah kembali berdamai, saatnya berrekonsiliasi (Islah) sebagai kontrol sosial, dan langkah itu patut diawali dan dicontohkan oleh para tokoh agama dan elit politik.

*) Penulis adalah mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Sekjen Komunitas Kajian Saung.

- Advertisement -

“Demokrasi tidak hanya berhenti pada tataran prosedural belaka. Demokrasi itu harus mampu mewujudkan kemaslahatan bagi rakyat, terutama mereka yang paling lemah, miskin, dan tertindas.” (KH. Abdurrahman Wahid, presiden keempat Indonesia)

Kutipan sederhana di atas cukup kiranya mewakili bagaimana seharusnya dampak dan peran demokrasi dalam sebuah negara. Lewat pernyataan itu, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur ingin menegaskan kembali bahwa demokrasi haruslah mampu menciptakan kemaslahatan, kesejahteraan, dan keadilan bagi seluruh rakyat negara terutama kalangan bawah. Sudahkah tujuan itu tercapai? Jawaban amannya, mungkin masih proses. Mari kita obrolkan bersama.

Dalam sejarah dikisahkan Indonesia mengalami beberapa fase dan model dalam sistem pemerintahan. Awal kemerdekaan berhasil direnggut dari para penjajah, para pembesar bangsa berdiskusi apakah yang layak menjadi ideologi sebagai landasan negara. Singkat cerita, demi menengahi dan mendamaikan antar beberapa kubu seperti islamis dan nasionalis, lahirlah sebuah ideologi negara berupa Pancasila. Dari situ, seiring berjalannya waktu, dari masa presiden Soekarno, Soeharto, dan seterusnya sampai sekarang presiden Joko Widodo, Indonesia masih kokoh dengan Pancasila sebagai pegangan dan dasar negara yang melindungi semua.

Buntut dari pada Pancasila adalah demokrasi dan bagian dari demokrasi adalah adanya pemilihan umum, disingkat Pemilu. Tahun ini, 2019, untuk kali pertama Indonesia mengadakan pesta demokrasi berupa pemilihan umum secara serentak, dalam arti pemilihan secara bersamaan antara calon presiden dan wakil rakyat atau DPR. Dan itu sudah terlaksana 17 April 2019 lalu.

Diakui atau tidak, pasca 17 April itu, suhu politik masih terasa dan dirasakan sebagian kalangan terutama kalangan elit politik sebagai lakon utama. Dalam berbagai diskusi dan pertunjukan, sebagian besar acara TV masih menyiarkan perdebatan para elit ini. Bagi rakyat biasa, atau selain kalangan elit, mereka merasakan tensi dan suhu politik pemilu kali ini sebagai pemilu yang panas dan menyita perhatian berbagai kalangan untuk turut andil berpartisipasi. Pada awalnya, sebagian survei memprediksi akan banyak kalangan lebih memilih golput dan tidak datang ke TPS, tapi ternyata prediksi itu meleset ketika KPU merilis data ternyata jumlah pemilih pemilu 2019 meningkat jadi 192.866.254. Tentu ini merupakan sebuah prestasi karena menumbuhkan rasa sadar rakyat bahwa suara mereka penting buat negara lima tahun kedepan, namun di satu sisi hal ini juga melahirkan sedikit polemik Alhasil, pemilu 2019, terutama pemilihan presiden kali ini, bersuhu tinggi dan bertensi panas.

Seharusnya, ketika pemilihan sudah terlaksana, rakyat dan seluruh kalangan baik elit maupun rakyat biasa dapat bersabar dan menunggu hasil resmi yang akan diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas berjalannya pemilu ini sampai selesai. Bukan lantas terus berkutat dalam kubangan perdebatan politik tanpa tujuan seakan sangat bernafsu merebut kekuasaan. Tensi panas sepeti ketika masa kampanye lalu baiknya tidak lagi ada dan ditampilkan terutama oleh para elit setelah pemilu 17 April lalu.

Dari uraian diatas, dapat kiranya kita nilai bersama sudahkah demokrasi dengan pemilu sebagai bagian dalamnya menghadirkan kedamian, keadilan, dan kemaslahatan bagi semua kalangan terutama bagi kalangan bawah? Jika yang ditampakkan di lapangan adalah pertengkaran tanpa usai, perdebatan tanpa solusi dan terus merebut kemenangan padahal masih banyak urusan negara lainnya yang perlu diselesaikan, masih banyak kepentingan rakyat yang harus di ketimbang terus berkutat dalam pusaran politik dan kekuasaan, maka secara sedih kita bisa jawab bahwa demokrasi kita belum sampai pada tujuan yang sebenarnya.

Dalam sebuah acara TV seorang pakar hukum tata negara Margarito Kamis mengatakan bahwa dasar dari demokrasi, pemilu dan anak turunanya adalah menciptakan tatanan kehidupan manusia yang berperadaban. Oleh karenanya, prinsip dasar pemilu adalah jujur dan adil. Jika pemilu justru menampilkan sesuatu yang kurang beradab, bagaimana bisa pemilu dapat mencapai tujuan awalnya untuk menciptakan peradaban yang mapan.

Inilah yang juga dikomentari oleh seorang pengamat politik Burhanuddin Muhtadi dalam bukunya yang baru terbit berjudul Populisme Politik Identitas dan Dinamika Elektoral, Mengurai Jalan Panjang Demokarsi Prosedural, secara ringkas Burhanuddin ingin sedikit mengajak kita mengevaluasi kembali narasi demokrasi yang dianggap telah mapan. Isu sentral dalam dinamika demokrasi kita saat ini berporos dalam tiga pokok isu yaitu Politik Identitas, Politik Populisme, dan geliat Politik Elektoral. Secara mendalam Burhanuddin hendak menyajikan ulasan bagaimana keberadaan Koalisi Transaksional, Kutukan Sistem Presidensial. Rekonsiliasi Politik, Ideologi Partai, Opurtunisme Elit, dan perilaku pemilih.

Burhanuddin menambahkan bahwa Demokrasi di Indonesia yang sudah tidak lagi berusia muda, memasuki tahun ke-20 pasca reformasi, secara sedih diakui atau tidak mengalami kemunduran sebagaimana laporan The Economist Intelligence Unit yang telah meneliti di 167 negara dan ranking demokrasi Indonesia turun 20 peringkat dari posisi 48 ke peringkat 68.

Islam menawarkan sebuah teori sebagai jalan keluar ketika terjadi sebuah konflik atau perseteruan yang tidak kunjung usai, yang disebut dengan islah. Islahun baina an-nas, istilah ini dapat kita pahami sebagai langkah rekonsiliasi atau upaya memulihkan hubungan persahabatan seperti keadaan semula.

Isu, hoax, pertikaian, perseteruan, dan bersi tegang yang terus terjadi saat ini padahal 17 April sudah lama berlalu, haruslah kita selesaikan dan saatnya kembali seperti sedia kala ketika pertemanan dan persaudaraan dibangun. Teman yang sempat bersitegang karena perbedaan pilihan, sekaranglah saatnya untuk kembali berpelukan. Bukan malah terus bersitegang mengklaim kemenangan padahal pengumuman resmi dari KPU belum diumumkan. Saatnya kembali pada pekerjaan semula, bagi pelajar atau mahasiswa, kembalilah belajar dan perkaya ilmu pengetahuan, hentikan sejenak pembahasan politik. Begitupun para tokoh agama, kembalilah berdakwah menyeru pada kebaikan dan tahanlah sejenak mengajak masyarakat berbicara tentang politik. Marilah kembali berdamai, saatnya berrekonsiliasi (Islah) sebagai kontrol sosial, dan langkah itu patut diawali dan dicontohkan oleh para tokoh agama dan elit politik.

*) Penulis adalah mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Sekjen Komunitas Kajian Saung.

“Demokrasi tidak hanya berhenti pada tataran prosedural belaka. Demokrasi itu harus mampu mewujudkan kemaslahatan bagi rakyat, terutama mereka yang paling lemah, miskin, dan tertindas.” (KH. Abdurrahman Wahid, presiden keempat Indonesia)

Kutipan sederhana di atas cukup kiranya mewakili bagaimana seharusnya dampak dan peran demokrasi dalam sebuah negara. Lewat pernyataan itu, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur ingin menegaskan kembali bahwa demokrasi haruslah mampu menciptakan kemaslahatan, kesejahteraan, dan keadilan bagi seluruh rakyat negara terutama kalangan bawah. Sudahkah tujuan itu tercapai? Jawaban amannya, mungkin masih proses. Mari kita obrolkan bersama.

Dalam sejarah dikisahkan Indonesia mengalami beberapa fase dan model dalam sistem pemerintahan. Awal kemerdekaan berhasil direnggut dari para penjajah, para pembesar bangsa berdiskusi apakah yang layak menjadi ideologi sebagai landasan negara. Singkat cerita, demi menengahi dan mendamaikan antar beberapa kubu seperti islamis dan nasionalis, lahirlah sebuah ideologi negara berupa Pancasila. Dari situ, seiring berjalannya waktu, dari masa presiden Soekarno, Soeharto, dan seterusnya sampai sekarang presiden Joko Widodo, Indonesia masih kokoh dengan Pancasila sebagai pegangan dan dasar negara yang melindungi semua.

Buntut dari pada Pancasila adalah demokrasi dan bagian dari demokrasi adalah adanya pemilihan umum, disingkat Pemilu. Tahun ini, 2019, untuk kali pertama Indonesia mengadakan pesta demokrasi berupa pemilihan umum secara serentak, dalam arti pemilihan secara bersamaan antara calon presiden dan wakil rakyat atau DPR. Dan itu sudah terlaksana 17 April 2019 lalu.

Diakui atau tidak, pasca 17 April itu, suhu politik masih terasa dan dirasakan sebagian kalangan terutama kalangan elit politik sebagai lakon utama. Dalam berbagai diskusi dan pertunjukan, sebagian besar acara TV masih menyiarkan perdebatan para elit ini. Bagi rakyat biasa, atau selain kalangan elit, mereka merasakan tensi dan suhu politik pemilu kali ini sebagai pemilu yang panas dan menyita perhatian berbagai kalangan untuk turut andil berpartisipasi. Pada awalnya, sebagian survei memprediksi akan banyak kalangan lebih memilih golput dan tidak datang ke TPS, tapi ternyata prediksi itu meleset ketika KPU merilis data ternyata jumlah pemilih pemilu 2019 meningkat jadi 192.866.254. Tentu ini merupakan sebuah prestasi karena menumbuhkan rasa sadar rakyat bahwa suara mereka penting buat negara lima tahun kedepan, namun di satu sisi hal ini juga melahirkan sedikit polemik Alhasil, pemilu 2019, terutama pemilihan presiden kali ini, bersuhu tinggi dan bertensi panas.

Seharusnya, ketika pemilihan sudah terlaksana, rakyat dan seluruh kalangan baik elit maupun rakyat biasa dapat bersabar dan menunggu hasil resmi yang akan diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas berjalannya pemilu ini sampai selesai. Bukan lantas terus berkutat dalam kubangan perdebatan politik tanpa tujuan seakan sangat bernafsu merebut kekuasaan. Tensi panas sepeti ketika masa kampanye lalu baiknya tidak lagi ada dan ditampilkan terutama oleh para elit setelah pemilu 17 April lalu.

Dari uraian diatas, dapat kiranya kita nilai bersama sudahkah demokrasi dengan pemilu sebagai bagian dalamnya menghadirkan kedamian, keadilan, dan kemaslahatan bagi semua kalangan terutama bagi kalangan bawah? Jika yang ditampakkan di lapangan adalah pertengkaran tanpa usai, perdebatan tanpa solusi dan terus merebut kemenangan padahal masih banyak urusan negara lainnya yang perlu diselesaikan, masih banyak kepentingan rakyat yang harus di ketimbang terus berkutat dalam pusaran politik dan kekuasaan, maka secara sedih kita bisa jawab bahwa demokrasi kita belum sampai pada tujuan yang sebenarnya.

Dalam sebuah acara TV seorang pakar hukum tata negara Margarito Kamis mengatakan bahwa dasar dari demokrasi, pemilu dan anak turunanya adalah menciptakan tatanan kehidupan manusia yang berperadaban. Oleh karenanya, prinsip dasar pemilu adalah jujur dan adil. Jika pemilu justru menampilkan sesuatu yang kurang beradab, bagaimana bisa pemilu dapat mencapai tujuan awalnya untuk menciptakan peradaban yang mapan.

Inilah yang juga dikomentari oleh seorang pengamat politik Burhanuddin Muhtadi dalam bukunya yang baru terbit berjudul Populisme Politik Identitas dan Dinamika Elektoral, Mengurai Jalan Panjang Demokarsi Prosedural, secara ringkas Burhanuddin ingin sedikit mengajak kita mengevaluasi kembali narasi demokrasi yang dianggap telah mapan. Isu sentral dalam dinamika demokrasi kita saat ini berporos dalam tiga pokok isu yaitu Politik Identitas, Politik Populisme, dan geliat Politik Elektoral. Secara mendalam Burhanuddin hendak menyajikan ulasan bagaimana keberadaan Koalisi Transaksional, Kutukan Sistem Presidensial. Rekonsiliasi Politik, Ideologi Partai, Opurtunisme Elit, dan perilaku pemilih.

Burhanuddin menambahkan bahwa Demokrasi di Indonesia yang sudah tidak lagi berusia muda, memasuki tahun ke-20 pasca reformasi, secara sedih diakui atau tidak mengalami kemunduran sebagaimana laporan The Economist Intelligence Unit yang telah meneliti di 167 negara dan ranking demokrasi Indonesia turun 20 peringkat dari posisi 48 ke peringkat 68.

Islam menawarkan sebuah teori sebagai jalan keluar ketika terjadi sebuah konflik atau perseteruan yang tidak kunjung usai, yang disebut dengan islah. Islahun baina an-nas, istilah ini dapat kita pahami sebagai langkah rekonsiliasi atau upaya memulihkan hubungan persahabatan seperti keadaan semula.

Isu, hoax, pertikaian, perseteruan, dan bersi tegang yang terus terjadi saat ini padahal 17 April sudah lama berlalu, haruslah kita selesaikan dan saatnya kembali seperti sedia kala ketika pertemanan dan persaudaraan dibangun. Teman yang sempat bersitegang karena perbedaan pilihan, sekaranglah saatnya untuk kembali berpelukan. Bukan malah terus bersitegang mengklaim kemenangan padahal pengumuman resmi dari KPU belum diumumkan. Saatnya kembali pada pekerjaan semula, bagi pelajar atau mahasiswa, kembalilah belajar dan perkaya ilmu pengetahuan, hentikan sejenak pembahasan politik. Begitupun para tokoh agama, kembalilah berdakwah menyeru pada kebaikan dan tahanlah sejenak mengajak masyarakat berbicara tentang politik. Marilah kembali berdamai, saatnya berrekonsiliasi (Islah) sebagai kontrol sosial, dan langkah itu patut diawali dan dicontohkan oleh para tokoh agama dan elit politik.

*) Penulis adalah mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Sekjen Komunitas Kajian Saung.

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca