22.7 C
Jember
Sunday, 26 March 2023

Reinterpretasi Makna Partisipasi Politik Publik

Oleh Imam Thobrony Pusaka

Mobile_AP_Rectangle 1

KURANG dari setahun jelang pelaksanaan Pemilu 2024, Bawaslu dan KPU Kabupaten Jember terus bersinergi untuk melaksanakan tiap tahapan pelaksanaan Pemilu. Salah satunya adalah kolaborasi untuk menyukseskan proses pemutakhiran data pemilih. Selain itu para pelaksana Pemilu 2024 di Jember semakin gencar melakukan sosialisasi pelaksanaan Pemilu 2024. Tujuannya untuk meningkatkan partisipasi pemilih sekaligus mereduksi potensi golput dalam Pemilu 2024.

Namun, dalam tulisan ini saya tidak hendak fokus pada hal tersebut. Saya justru ingin mengetengahkan diskursus mengenai partisipasi politik. Sebuah frasa yang pasti muncul dalam setiap event politik elektoral, namun sering tereduksi pemaknaannya sekadar persoalan golput dan non-golput. Persoalan golput memang harus terus diatasi secara serius. Namun izinkan saya dalam tulisan singkat ini mengajak kita semua untuk berfilsafat sejenak. Mencandra tentang hakikat partisipasi politik publik. Karena itu, secara etimologis dan epistemologis, artikel sederhana ini ingin mengkritisi pandangan peyoratif tentang makna partisipasi politik publik di dunia politik.

BACA JUGA: Surat Cinta Melawan Lupa Dua Tahun Menjabat

Mobile_AP_Rectangle 2

Seperti dijelaskan oleh F.B Hardiman (2009), jika demokrasi tidak mau dimengerti secara minimalis sebagai keikutsertaan pemilu belaka, maka, proses-proses diantara pemilihan umum yang satu dengan pemilihan umum selanjutnya juga harus dilihat sebagai proses-proses demokratis, karena masa di antara kedua pemilihan tersebut dapat terjadi berbagai hal yang menghasilkan kesenjangan antara keputusan-keputusan pemilihan umum dan keputusan-keputusan konkret pemerintah. Dengan kata lain, sebuah partisipasi politik selayaknya tidak diukur dari tinggi-rendahnya angka golput semata, melainkan pada aspek-aspek lainnya, seperti pembentukan opini publik yang berfungsi sebagai kontrol politik atas jalannya sebuah pemerintahan agar tetap dalam bingkai politik yang demokratis.

Partisipasi Politik

Secara etimologis, pengertian partisipasi politik diambil dari bahasa latin “pars” yang artinya bagian dan “capere”, yang artinya mengambil, sehingga diartikan “mengambil bagian”. Sedangkan dalam bahasa Inggris, participate atau participation berarti mengambil bagian atau mengambil peranan. Sehingga partisipasi berarti mengambil bagian atau mengambil peranan dalam aktivitas atau kegiatan politik suatu negara.

Berdasarkan kegiatan partisipasi politiknya, Sastroatmodjo (1995), membaginya dalam berbagai kategori: (1) partisipasi aktif. Seorang warga negara mengajukan usul kebijakan, mengajukan alternatif kebijakan, mengajukan saran dan kritik untuk mengoreksi kebijakan pemerintah; (2) partisipasi pasif, berupa kegiatan mentaati peraturan/pemerintah, menerima dan melaksanakan setiap keputusan pemerintah. Artinya, bentuk partisipasi politik tidak harus berwujud keikutsertaan dalam pemilihan umum saja, melainkan juga aktivitas-aktivitas menyatakan pendapat dan melaksanakan hak politik dalam interval waktu satu pemilu sebelumnya dan pemilu selanjutnya, harus dipandang sebagai partisipasi politik.

Hal tersebut menjadi relevan karena setting bagaimana sebuah kondisi kebebasan untuk mengungkapkan pendapat di negeri ini telah menemukan momentumnya. Dengan kata lain kondisi kebebasan ekspresi berpolitik rakyat Indonesia paralel dengan terbukanya keran kebebasan di elemen penyusun demokratisasi lainnya, yakni kebebasan pers. Seiring diberlakukannya UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Kebebasan Pers, ancaman pembredelan media (penutupan paksa dan pelarangan izin terbit) oleh pemerintah, yang menjadi momok selama orde baru, tidak lagi menghantui aktivitas para pegiat jurnalistik untuk mengabarkan suatu peristiwa dengan objektif. Sebagai efek domino, iklim kebebasan berpendapat, kebebasan berkumpul dan kebebasan berserikat yang notabene telah diatur dalam Undang-undang dasar -namun dikebiri oleh kediktatoran Soeharto- muncul kembali dalam skala yang tidak kecil.

Masyarakat benar-benar mengalami masa euphoria perayaan kembalinya demokrasi. Dengan gegap gempita publik menyambut baik perubahan itu. Diskusi-diskusi dengan segala macam tema digelar dengan leluasa, kritik-otokritik terdengar di mana-mana, organisasi-organisasi sosial-politik bermunculan bak jamur di musim hujan. Dan untuk semua itu, negara tidak lagi bisa semena-mena menangkap dan memenjarakan seseorang hanya karena mengkritik kebijakan pejabat negara. Untuk saat itu, rakyat seolah-olah baru merasakan kedaulatannya: rakyat telah memerintah dirinya sendiri tanpa menyerahkan ke instansi lainnya. Mirip dengan gambaran Aristoteles tentang kondisi Polis Yunani kuno, atau kondisi Kanton Swiss yang menjadi dasar Rousseau dalam menyusun nubuat-nubuat demokrasinya.

Dengan begitu sesungguhnya–meminjam istilah Habermas–konstruksi radikalisasi teori komunikasi dalam sebuah masyarakat (dalam hal ini Indonesia) telah terbangun. Tinggal bagaimana merekonstruksinya kembali hingga dapat menemukan dimensi praksisnya. Karena dengan keterbukaan kesempatan itu para warganegara memiliki kemungkinan untuk mengutarakan pendapat-pendapat mereka sendiri secara publik dan mempersoalkan segala tema yang relevan untuk masyarakat supaya suara-suara yang sensitif terhadap masalah ini dikelola oleh sistem politik yang ada. Ruang demokratis seperti itu, tempat para warga negara dapat menyatakan opini-opini, kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan mereka secara diskursif adalah gagasan pokok ruang publik politis.

Apalagi di era digital sekarang ini, platform-platform media sosial bermunculan sehingga bisa dimanfaatkan sebagai ruang publik: kanal penyampaian opini publik. Meskipun masih banyak kritik terhadap fungsi media sosial dan segenap turunannya, termasuk kritik terhadap regulasi pengaturnya (UU ITE), namun itu persoalan lain yang harus dibahas di luar tulisan ini. Namun yang jelas, fondasi terbukanya ruang publik digital sudah ada. Tinggal kita rumuskan bersama-sama mengenai etika dan regulasi penggunaannya agar sesuai dengan nilai-nilai demokrasi dan prinsip humanity.

Opini Publik dan Demokrasi Deliberatif

Masih merujuk pada Habermas, dalam kondisi masyarakat-masyarakat kompleks dewasa ini pemerintahan oleh rakyat tidak dapat dimengerti secara konkretis (sederhana). Karena itu penting juga kontrol atas pemerintah dilaksanakan secara tidak langsung lewat kekuasaan opini publik. Namun muncul pertanyaan, dari mana kita tahu bahwa sebuah opini publik mencerminkan kepentingan semua orang dan tidak mengabaikan atau menindas minoritas?

Model demokrasi deliberatif dapat menjawab pertanyaan itu dengan menekankan pentingnya prosedur komunikatif. Sebab demokrasi deliberatif meminati persoalan kesahihan keputusan-keputusan kolektif itu. Dari situ konsep ini secara memadai dapat menjelaskan arti kontrol demokratis melalui opini publik. Dalam hal ini opini-opini publik bisa jadi merupakan opini-opini mayoritas yang mengklaim legitimasi mereka, namun opini-opini itu juga dapat memiliki suatu bentuk yang logis dan koheren yang dianggap sahih secara universal dan rasional. Akan tetapi opini-opini mayoritas tidak niscaya identik dengan opini-opini yang benar. Bagi model demokrasi deliberatif adalah jauh lebih penting memastikan dengan cara manakah opini-opini mayoritas itu terbentuk sedemikian rupa sehingga seluruh warganegara dapat mematuhi opini-opini itu (Hardiman, 2009).

Oleh karena itu, satu hal yang penting dalam setiap pagelaran politik (pemilu) adalah menjadikan momen itu sebagai instrumen strategis para stakeholder demokratisasi di Indonesia (Jember, khususnya), untuk melakukan rekonstruksi penerapan radikalisasi komunikasi politik (penyampaian opini publik) di level praksis agar tetap terjaga elemen-elemen demokratisnya dan tidak terjerumus dalam tindakan-tindakan kontra demokrasi yang malah kontradiktif.

Konklusi

Tentu saja konstruksi berpikir tersebut bukan apologi bahwa penyelenggara Pemilu boleh abai terhadap tingkat partisipasi politik warga di TPS nanti. Tidak. Penyelenggara Pemilu (dalam hal ini Bawaslu) tetap harus memastikan bahwa setiap warga Jember yang memiliki hak politik untuk memberikan suara di Pemilu 2024 wajib dilindungi haknya dan dijamin kebebasan dan eksistensinya untuk berpartisipasi dalam Pemilu 2024. Dalam esai sederhana ini saya hanya ingin melebarkan cakrawala berpikir kita bahwa partisipasi politik warga tidak eksklusif dalam Pemilu. Melainkan ia membentang dari satu Pemilu ke Pemilu berikutnya. Dan itulah esensi demokrasi sesungguhnya.

*) Penulis adalah Ketua Bawaslu Jember.

- Advertisement -

KURANG dari setahun jelang pelaksanaan Pemilu 2024, Bawaslu dan KPU Kabupaten Jember terus bersinergi untuk melaksanakan tiap tahapan pelaksanaan Pemilu. Salah satunya adalah kolaborasi untuk menyukseskan proses pemutakhiran data pemilih. Selain itu para pelaksana Pemilu 2024 di Jember semakin gencar melakukan sosialisasi pelaksanaan Pemilu 2024. Tujuannya untuk meningkatkan partisipasi pemilih sekaligus mereduksi potensi golput dalam Pemilu 2024.

Namun, dalam tulisan ini saya tidak hendak fokus pada hal tersebut. Saya justru ingin mengetengahkan diskursus mengenai partisipasi politik. Sebuah frasa yang pasti muncul dalam setiap event politik elektoral, namun sering tereduksi pemaknaannya sekadar persoalan golput dan non-golput. Persoalan golput memang harus terus diatasi secara serius. Namun izinkan saya dalam tulisan singkat ini mengajak kita semua untuk berfilsafat sejenak. Mencandra tentang hakikat partisipasi politik publik. Karena itu, secara etimologis dan epistemologis, artikel sederhana ini ingin mengkritisi pandangan peyoratif tentang makna partisipasi politik publik di dunia politik.

BACA JUGA: Surat Cinta Melawan Lupa Dua Tahun Menjabat

Seperti dijelaskan oleh F.B Hardiman (2009), jika demokrasi tidak mau dimengerti secara minimalis sebagai keikutsertaan pemilu belaka, maka, proses-proses diantara pemilihan umum yang satu dengan pemilihan umum selanjutnya juga harus dilihat sebagai proses-proses demokratis, karena masa di antara kedua pemilihan tersebut dapat terjadi berbagai hal yang menghasilkan kesenjangan antara keputusan-keputusan pemilihan umum dan keputusan-keputusan konkret pemerintah. Dengan kata lain, sebuah partisipasi politik selayaknya tidak diukur dari tinggi-rendahnya angka golput semata, melainkan pada aspek-aspek lainnya, seperti pembentukan opini publik yang berfungsi sebagai kontrol politik atas jalannya sebuah pemerintahan agar tetap dalam bingkai politik yang demokratis.

Partisipasi Politik

Secara etimologis, pengertian partisipasi politik diambil dari bahasa latin “pars” yang artinya bagian dan “capere”, yang artinya mengambil, sehingga diartikan “mengambil bagian”. Sedangkan dalam bahasa Inggris, participate atau participation berarti mengambil bagian atau mengambil peranan. Sehingga partisipasi berarti mengambil bagian atau mengambil peranan dalam aktivitas atau kegiatan politik suatu negara.

Berdasarkan kegiatan partisipasi politiknya, Sastroatmodjo (1995), membaginya dalam berbagai kategori: (1) partisipasi aktif. Seorang warga negara mengajukan usul kebijakan, mengajukan alternatif kebijakan, mengajukan saran dan kritik untuk mengoreksi kebijakan pemerintah; (2) partisipasi pasif, berupa kegiatan mentaati peraturan/pemerintah, menerima dan melaksanakan setiap keputusan pemerintah. Artinya, bentuk partisipasi politik tidak harus berwujud keikutsertaan dalam pemilihan umum saja, melainkan juga aktivitas-aktivitas menyatakan pendapat dan melaksanakan hak politik dalam interval waktu satu pemilu sebelumnya dan pemilu selanjutnya, harus dipandang sebagai partisipasi politik.

Hal tersebut menjadi relevan karena setting bagaimana sebuah kondisi kebebasan untuk mengungkapkan pendapat di negeri ini telah menemukan momentumnya. Dengan kata lain kondisi kebebasan ekspresi berpolitik rakyat Indonesia paralel dengan terbukanya keran kebebasan di elemen penyusun demokratisasi lainnya, yakni kebebasan pers. Seiring diberlakukannya UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Kebebasan Pers, ancaman pembredelan media (penutupan paksa dan pelarangan izin terbit) oleh pemerintah, yang menjadi momok selama orde baru, tidak lagi menghantui aktivitas para pegiat jurnalistik untuk mengabarkan suatu peristiwa dengan objektif. Sebagai efek domino, iklim kebebasan berpendapat, kebebasan berkumpul dan kebebasan berserikat yang notabene telah diatur dalam Undang-undang dasar -namun dikebiri oleh kediktatoran Soeharto- muncul kembali dalam skala yang tidak kecil.

Masyarakat benar-benar mengalami masa euphoria perayaan kembalinya demokrasi. Dengan gegap gempita publik menyambut baik perubahan itu. Diskusi-diskusi dengan segala macam tema digelar dengan leluasa, kritik-otokritik terdengar di mana-mana, organisasi-organisasi sosial-politik bermunculan bak jamur di musim hujan. Dan untuk semua itu, negara tidak lagi bisa semena-mena menangkap dan memenjarakan seseorang hanya karena mengkritik kebijakan pejabat negara. Untuk saat itu, rakyat seolah-olah baru merasakan kedaulatannya: rakyat telah memerintah dirinya sendiri tanpa menyerahkan ke instansi lainnya. Mirip dengan gambaran Aristoteles tentang kondisi Polis Yunani kuno, atau kondisi Kanton Swiss yang menjadi dasar Rousseau dalam menyusun nubuat-nubuat demokrasinya.

Dengan begitu sesungguhnya–meminjam istilah Habermas–konstruksi radikalisasi teori komunikasi dalam sebuah masyarakat (dalam hal ini Indonesia) telah terbangun. Tinggal bagaimana merekonstruksinya kembali hingga dapat menemukan dimensi praksisnya. Karena dengan keterbukaan kesempatan itu para warganegara memiliki kemungkinan untuk mengutarakan pendapat-pendapat mereka sendiri secara publik dan mempersoalkan segala tema yang relevan untuk masyarakat supaya suara-suara yang sensitif terhadap masalah ini dikelola oleh sistem politik yang ada. Ruang demokratis seperti itu, tempat para warga negara dapat menyatakan opini-opini, kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan mereka secara diskursif adalah gagasan pokok ruang publik politis.

Apalagi di era digital sekarang ini, platform-platform media sosial bermunculan sehingga bisa dimanfaatkan sebagai ruang publik: kanal penyampaian opini publik. Meskipun masih banyak kritik terhadap fungsi media sosial dan segenap turunannya, termasuk kritik terhadap regulasi pengaturnya (UU ITE), namun itu persoalan lain yang harus dibahas di luar tulisan ini. Namun yang jelas, fondasi terbukanya ruang publik digital sudah ada. Tinggal kita rumuskan bersama-sama mengenai etika dan regulasi penggunaannya agar sesuai dengan nilai-nilai demokrasi dan prinsip humanity.

Opini Publik dan Demokrasi Deliberatif

Masih merujuk pada Habermas, dalam kondisi masyarakat-masyarakat kompleks dewasa ini pemerintahan oleh rakyat tidak dapat dimengerti secara konkretis (sederhana). Karena itu penting juga kontrol atas pemerintah dilaksanakan secara tidak langsung lewat kekuasaan opini publik. Namun muncul pertanyaan, dari mana kita tahu bahwa sebuah opini publik mencerminkan kepentingan semua orang dan tidak mengabaikan atau menindas minoritas?

Model demokrasi deliberatif dapat menjawab pertanyaan itu dengan menekankan pentingnya prosedur komunikatif. Sebab demokrasi deliberatif meminati persoalan kesahihan keputusan-keputusan kolektif itu. Dari situ konsep ini secara memadai dapat menjelaskan arti kontrol demokratis melalui opini publik. Dalam hal ini opini-opini publik bisa jadi merupakan opini-opini mayoritas yang mengklaim legitimasi mereka, namun opini-opini itu juga dapat memiliki suatu bentuk yang logis dan koheren yang dianggap sahih secara universal dan rasional. Akan tetapi opini-opini mayoritas tidak niscaya identik dengan opini-opini yang benar. Bagi model demokrasi deliberatif adalah jauh lebih penting memastikan dengan cara manakah opini-opini mayoritas itu terbentuk sedemikian rupa sehingga seluruh warganegara dapat mematuhi opini-opini itu (Hardiman, 2009).

Oleh karena itu, satu hal yang penting dalam setiap pagelaran politik (pemilu) adalah menjadikan momen itu sebagai instrumen strategis para stakeholder demokratisasi di Indonesia (Jember, khususnya), untuk melakukan rekonstruksi penerapan radikalisasi komunikasi politik (penyampaian opini publik) di level praksis agar tetap terjaga elemen-elemen demokratisnya dan tidak terjerumus dalam tindakan-tindakan kontra demokrasi yang malah kontradiktif.

Konklusi

Tentu saja konstruksi berpikir tersebut bukan apologi bahwa penyelenggara Pemilu boleh abai terhadap tingkat partisipasi politik warga di TPS nanti. Tidak. Penyelenggara Pemilu (dalam hal ini Bawaslu) tetap harus memastikan bahwa setiap warga Jember yang memiliki hak politik untuk memberikan suara di Pemilu 2024 wajib dilindungi haknya dan dijamin kebebasan dan eksistensinya untuk berpartisipasi dalam Pemilu 2024. Dalam esai sederhana ini saya hanya ingin melebarkan cakrawala berpikir kita bahwa partisipasi politik warga tidak eksklusif dalam Pemilu. Melainkan ia membentang dari satu Pemilu ke Pemilu berikutnya. Dan itulah esensi demokrasi sesungguhnya.

*) Penulis adalah Ketua Bawaslu Jember.

KURANG dari setahun jelang pelaksanaan Pemilu 2024, Bawaslu dan KPU Kabupaten Jember terus bersinergi untuk melaksanakan tiap tahapan pelaksanaan Pemilu. Salah satunya adalah kolaborasi untuk menyukseskan proses pemutakhiran data pemilih. Selain itu para pelaksana Pemilu 2024 di Jember semakin gencar melakukan sosialisasi pelaksanaan Pemilu 2024. Tujuannya untuk meningkatkan partisipasi pemilih sekaligus mereduksi potensi golput dalam Pemilu 2024.

Namun, dalam tulisan ini saya tidak hendak fokus pada hal tersebut. Saya justru ingin mengetengahkan diskursus mengenai partisipasi politik. Sebuah frasa yang pasti muncul dalam setiap event politik elektoral, namun sering tereduksi pemaknaannya sekadar persoalan golput dan non-golput. Persoalan golput memang harus terus diatasi secara serius. Namun izinkan saya dalam tulisan singkat ini mengajak kita semua untuk berfilsafat sejenak. Mencandra tentang hakikat partisipasi politik publik. Karena itu, secara etimologis dan epistemologis, artikel sederhana ini ingin mengkritisi pandangan peyoratif tentang makna partisipasi politik publik di dunia politik.

BACA JUGA: Surat Cinta Melawan Lupa Dua Tahun Menjabat

Seperti dijelaskan oleh F.B Hardiman (2009), jika demokrasi tidak mau dimengerti secara minimalis sebagai keikutsertaan pemilu belaka, maka, proses-proses diantara pemilihan umum yang satu dengan pemilihan umum selanjutnya juga harus dilihat sebagai proses-proses demokratis, karena masa di antara kedua pemilihan tersebut dapat terjadi berbagai hal yang menghasilkan kesenjangan antara keputusan-keputusan pemilihan umum dan keputusan-keputusan konkret pemerintah. Dengan kata lain, sebuah partisipasi politik selayaknya tidak diukur dari tinggi-rendahnya angka golput semata, melainkan pada aspek-aspek lainnya, seperti pembentukan opini publik yang berfungsi sebagai kontrol politik atas jalannya sebuah pemerintahan agar tetap dalam bingkai politik yang demokratis.

Partisipasi Politik

Secara etimologis, pengertian partisipasi politik diambil dari bahasa latin “pars” yang artinya bagian dan “capere”, yang artinya mengambil, sehingga diartikan “mengambil bagian”. Sedangkan dalam bahasa Inggris, participate atau participation berarti mengambil bagian atau mengambil peranan. Sehingga partisipasi berarti mengambil bagian atau mengambil peranan dalam aktivitas atau kegiatan politik suatu negara.

Berdasarkan kegiatan partisipasi politiknya, Sastroatmodjo (1995), membaginya dalam berbagai kategori: (1) partisipasi aktif. Seorang warga negara mengajukan usul kebijakan, mengajukan alternatif kebijakan, mengajukan saran dan kritik untuk mengoreksi kebijakan pemerintah; (2) partisipasi pasif, berupa kegiatan mentaati peraturan/pemerintah, menerima dan melaksanakan setiap keputusan pemerintah. Artinya, bentuk partisipasi politik tidak harus berwujud keikutsertaan dalam pemilihan umum saja, melainkan juga aktivitas-aktivitas menyatakan pendapat dan melaksanakan hak politik dalam interval waktu satu pemilu sebelumnya dan pemilu selanjutnya, harus dipandang sebagai partisipasi politik.

Hal tersebut menjadi relevan karena setting bagaimana sebuah kondisi kebebasan untuk mengungkapkan pendapat di negeri ini telah menemukan momentumnya. Dengan kata lain kondisi kebebasan ekspresi berpolitik rakyat Indonesia paralel dengan terbukanya keran kebebasan di elemen penyusun demokratisasi lainnya, yakni kebebasan pers. Seiring diberlakukannya UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Kebebasan Pers, ancaman pembredelan media (penutupan paksa dan pelarangan izin terbit) oleh pemerintah, yang menjadi momok selama orde baru, tidak lagi menghantui aktivitas para pegiat jurnalistik untuk mengabarkan suatu peristiwa dengan objektif. Sebagai efek domino, iklim kebebasan berpendapat, kebebasan berkumpul dan kebebasan berserikat yang notabene telah diatur dalam Undang-undang dasar -namun dikebiri oleh kediktatoran Soeharto- muncul kembali dalam skala yang tidak kecil.

Masyarakat benar-benar mengalami masa euphoria perayaan kembalinya demokrasi. Dengan gegap gempita publik menyambut baik perubahan itu. Diskusi-diskusi dengan segala macam tema digelar dengan leluasa, kritik-otokritik terdengar di mana-mana, organisasi-organisasi sosial-politik bermunculan bak jamur di musim hujan. Dan untuk semua itu, negara tidak lagi bisa semena-mena menangkap dan memenjarakan seseorang hanya karena mengkritik kebijakan pejabat negara. Untuk saat itu, rakyat seolah-olah baru merasakan kedaulatannya: rakyat telah memerintah dirinya sendiri tanpa menyerahkan ke instansi lainnya. Mirip dengan gambaran Aristoteles tentang kondisi Polis Yunani kuno, atau kondisi Kanton Swiss yang menjadi dasar Rousseau dalam menyusun nubuat-nubuat demokrasinya.

Dengan begitu sesungguhnya–meminjam istilah Habermas–konstruksi radikalisasi teori komunikasi dalam sebuah masyarakat (dalam hal ini Indonesia) telah terbangun. Tinggal bagaimana merekonstruksinya kembali hingga dapat menemukan dimensi praksisnya. Karena dengan keterbukaan kesempatan itu para warganegara memiliki kemungkinan untuk mengutarakan pendapat-pendapat mereka sendiri secara publik dan mempersoalkan segala tema yang relevan untuk masyarakat supaya suara-suara yang sensitif terhadap masalah ini dikelola oleh sistem politik yang ada. Ruang demokratis seperti itu, tempat para warga negara dapat menyatakan opini-opini, kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan mereka secara diskursif adalah gagasan pokok ruang publik politis.

Apalagi di era digital sekarang ini, platform-platform media sosial bermunculan sehingga bisa dimanfaatkan sebagai ruang publik: kanal penyampaian opini publik. Meskipun masih banyak kritik terhadap fungsi media sosial dan segenap turunannya, termasuk kritik terhadap regulasi pengaturnya (UU ITE), namun itu persoalan lain yang harus dibahas di luar tulisan ini. Namun yang jelas, fondasi terbukanya ruang publik digital sudah ada. Tinggal kita rumuskan bersama-sama mengenai etika dan regulasi penggunaannya agar sesuai dengan nilai-nilai demokrasi dan prinsip humanity.

Opini Publik dan Demokrasi Deliberatif

Masih merujuk pada Habermas, dalam kondisi masyarakat-masyarakat kompleks dewasa ini pemerintahan oleh rakyat tidak dapat dimengerti secara konkretis (sederhana). Karena itu penting juga kontrol atas pemerintah dilaksanakan secara tidak langsung lewat kekuasaan opini publik. Namun muncul pertanyaan, dari mana kita tahu bahwa sebuah opini publik mencerminkan kepentingan semua orang dan tidak mengabaikan atau menindas minoritas?

Model demokrasi deliberatif dapat menjawab pertanyaan itu dengan menekankan pentingnya prosedur komunikatif. Sebab demokrasi deliberatif meminati persoalan kesahihan keputusan-keputusan kolektif itu. Dari situ konsep ini secara memadai dapat menjelaskan arti kontrol demokratis melalui opini publik. Dalam hal ini opini-opini publik bisa jadi merupakan opini-opini mayoritas yang mengklaim legitimasi mereka, namun opini-opini itu juga dapat memiliki suatu bentuk yang logis dan koheren yang dianggap sahih secara universal dan rasional. Akan tetapi opini-opini mayoritas tidak niscaya identik dengan opini-opini yang benar. Bagi model demokrasi deliberatif adalah jauh lebih penting memastikan dengan cara manakah opini-opini mayoritas itu terbentuk sedemikian rupa sehingga seluruh warganegara dapat mematuhi opini-opini itu (Hardiman, 2009).

Oleh karena itu, satu hal yang penting dalam setiap pagelaran politik (pemilu) adalah menjadikan momen itu sebagai instrumen strategis para stakeholder demokratisasi di Indonesia (Jember, khususnya), untuk melakukan rekonstruksi penerapan radikalisasi komunikasi politik (penyampaian opini publik) di level praksis agar tetap terjaga elemen-elemen demokratisnya dan tidak terjerumus dalam tindakan-tindakan kontra demokrasi yang malah kontradiktif.

Konklusi

Tentu saja konstruksi berpikir tersebut bukan apologi bahwa penyelenggara Pemilu boleh abai terhadap tingkat partisipasi politik warga di TPS nanti. Tidak. Penyelenggara Pemilu (dalam hal ini Bawaslu) tetap harus memastikan bahwa setiap warga Jember yang memiliki hak politik untuk memberikan suara di Pemilu 2024 wajib dilindungi haknya dan dijamin kebebasan dan eksistensinya untuk berpartisipasi dalam Pemilu 2024. Dalam esai sederhana ini saya hanya ingin melebarkan cakrawala berpikir kita bahwa partisipasi politik warga tidak eksklusif dalam Pemilu. Melainkan ia membentang dari satu Pemilu ke Pemilu berikutnya. Dan itulah esensi demokrasi sesungguhnya.

*) Penulis adalah Ketua Bawaslu Jember.

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca