SEBANYAK lima kabupaten di Jawa Timur dijadikan pilot project program nasional percepatan pengentasan kemiskinan ekstrem tahun ini, yakni Bangkalan, Sumenep, Probolinggo, Bojonegoro, dan Lamongan. Pemerintah pusat pun memasang target penurunan angka kemiskinan ekstrem secara nasional menjadi nol persen pada akhir tahun 2024 dengan menggelontorkan anggaran mencapai Rp 442,24 triliun sepanjang tahun 2021. Hal ini memperlihatkan keseriusan dan komitmen pemerintah pusat, khususnya Pemerintah Provinsi Jawa Timur, dalam menangani kemiskinan ekstrem di tengah pandemi Covid-19.
Kemiskinan ekstrem sebagaimana didefinisikan oleh Bank Dunia adalah masyarakat yang hidup dengan pendapatan kurang dari USD 1,90 PPP (Purchasing Power Parity) per hari atau sekitar Rp 11.941 per kapita per hari atau Rp 358.233 per kapita per bulan. Kemiskinan ekstrem diukur menggunakan Absolute Poverty Measure yang konsisten antarnegara dan antarwaktu. Penduduk miskin ekstrem biasanya juga bekerja dengan upah rendah, tidak memiliki aset produksi sendiri, dan tidak punya tabungan sebagai penyangga ekonomi keluarga.
Data kemiskinan ekstrem Badan Pusat Statistik (BPS) hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2021, di Indonesia masih terdapat 4 persen atau 10,87 juta jiwa penduduk miskin ekstrem. Di Jawa Timur, pada tahun 2020, pada beberapa kabupaten tingkat kemiskinan ekstremnya lebih dari 10 persen. Dan sebanyak 15 Kabupaten, tingkat kemiskinan ekstremnya di atas angka nasional yang saat itu mencapai 4,2 persen. Besarnya jumlah penduduk Jawa Timur yang berada di dalam jurang kemiskinan ekstrem menjadikan Jatim sebagai salah satu wilayah yang mendapat perhatian khusus dari pemerintah pusat.
Wakil Presiden Ma’ruf Amin saat berkunjung ke Gedung Grahadi, beberapa waktu yang lalu, secara khusus membahas dan merumuskan cara mengentaskan kemiskinan ekstrem di wilayah Jawa Timur. Wapres menegaskan bahwa besaran alokasi anggaran di tahun 2021 untuk penanggulangan kemiskinan bukanlah isu utama. Sebab, sesungguhnya alokasi anggaran dari kementerian/lembaga dan pemerintah daerah cukup besar. Namun demikian, tantangan terbesar saat ini adalah bagaimana membuat program-program tersebut konvergen dan terintegrasi dalam menyasar sasaran yang sama. Konvergensi ini penting untuk memastikan berbagai program terintegrasi mulai dari saat perencanaan sampai pada saat implementasi di lapangan, sehingga dapat dipastikan diterima oleh masyarakat yang berhak.
Harus diakui, penyaluran bantuan sosial selama ini masih terkendala oleh akurasi data penerima manfaat. Di lapangan ditemui kasus keluarga yang berhak menerima bantuan justru tak menerima bantuan (exclusion error). Sebaliknya, keluarga mampu justru menerima bansos pemerintah (inclusion error). Namun, masyarakat juga perlu tahu meskipun masih belum sempurna, akurasi data target rumah tangga bansos di Indonesia cukup baik, mencapai 85 persen.
Sejak tahun 2005, pemerintah melalui BPS sebagai pelaksana di lapangan terus menyempurnakan data terpadu perlindungan sosial sebagai dasar penetapan sasaran penerima program bansos dan jaminan sosial. Saat itu dimulai dari Pendataan Sosial Ekonomi (PSE 2005) dan dimutakhirkan kembali datanya pada tahun 2008 yang hasilnya disebut sebagai Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS). Tahun 2011, data ini kembali di-update menggunakan metodologi yang lebih baik dari sebelumnya dengan starting point dari hasil Sensus Penduduk 2010. Pada periode pertama kepemimpinan Presiden Jokowi, dimutakhirkan kembali dengan “sensus” rumah tangga miskin yang diberi label Pemutakhiran Basis Data Terpadu (PBDT) 2015 dengan melibatkan berbagai tokoh masyarakat untuk memusyawarahkan dan menyepakati daftar rumah tangga dalam data terpadu tersebut.
Sejak tahun 2016, data ini pengelolaannya secara bertahap beralih dari Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) ke Kementerian Sosial yang berkembang menjadi DTKS dengan pemutakhirannya diserahkan ke pemerintah daerah. Walaupun pengembangan data terpadu ini sudah melalui proses panjang lebih dari 15 tahun, namun masalah utamanya, banyak daerah yang tidak melakukan pemutakhiran atau melakukan pemutakhiran data secara tergesa-gesa sehingga berdampak terhadap akurasi data yang dihasilkan. Hal ini terbukti dari data bahwa 93 persen DTKS 2020 masih sama dengan hasil PBDT 2015.
Menghapus kemiskinan ekstrem yang menjadi fokus utama pemerintah saat ini, tentu membutuhkan strategi jitu dalam pelaksanaannya. Keakuratan data penerima manfaat menjadi salah satu hal yang harus diperhatikan, dikarenakan setiap rupiah yang digelontorkan kepada mereka yang saat ini terjerembab sebagai rumah tangga miskin ekstrem, sangat berpengaruh dalam mengangkat mereka kembali menjadi penduduk miskin bahkan naik menjadi penduduk berkategori tidak miskin. Penerapan prinsip satu data perlindungan sosial menjadi salah satu solusi terkait data terpadu kesejahteraan sosial. Penggunaan data berbasis nomor induk kependudukan (NIK) dijadikan standar utama dan satu-satunya yang digunakan untuk seluruh jenis program perlindungan sosial. Data harus mudah diakses semua kalangan, sehingga dapat dikoreksi semisal ditemukan rumah tangga yang tak seharusnya mendapat bantuan sosial.
Solusi selanjutnya, data penerima bantuan sosial yang saat ini berada di bawah naungan Dinas Sosial, harus dimutakhirkan secara akurat dan berkelanjutan. Kabupaten-kabupaten di Jawa Timur yang menjadi wilayah prioritas pengentasan kemiskinan ekstrem harus melakukan upaya extra ordinary, demi mencapai target pemerintah pusat maupun provinsi baik dalam melakukan pemutakhiran yang akurat maupun langkah-langkah strategis yang akan dilakukan dalam tiga tahun ke depan. Bantalan ekonomi yang akan diberikan nantinya harus dipastikan tersalurkan kepada mereka yang memang berhak menerima. Pelibatan tokoh masyarakat, adat, maupun agama dalam sebuah forum komunikasi publik menjadi salah satu terobosan yang dapat diterapkan dalam memastikan keakuratan data tersebut.
Pengentasan kemiskinan ekstrem memang perlu upaya luar biasa dari semua pihak, dan kita yakin kebijakan tersebut akan berhasil jika berpijak pada data berkualitas. Dengan penerapan satu data perlindungan sosial disertai pemutakhiran data yang akurat, maka diharapkan carut-marut data tersebut akan teratasi dan target nol persen kemiskinan ekstrem di Jawa Timur maupun secara nasional pada akhir tahun 2024 pun akan tercapai.
*) Penulis adalah Statistisi Ahli Pertama di Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Jember.