22.7 C
Jember
Sunday, 26 March 2023

Surat Cinta Melawan Lupa Dua Tahun Menjabat

Mobile_AP_Rectangle 1

Dua tahun sudah Bupati Jember menjabat. Momentum dua tahun ini sarat dengan ungkapan cinta beragam elemen. Masyarakat turun ke jalan dengan jargon kritik dan hujatan menggelitik. Dari pegiat demokrasi, mahasiswa hingga kalangan buruh. Mereka mengungkapkan rasa cinta karena konstitusi melindunginya sebagai ekspresi berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.  Hakikat cinta itu bukan pujian, tapi tanggapan yang memberikan nilai tambah. Cinta adalah perhatian yang mengejawantah. Bupati tidak butuh pujian karena menjalankan tugas pokok dan fungsinya secara sistemik dan normatif. Sudah semestinya. Bupati tak butuh gambar emoticon jempol. Apalagi narasi yang sebenarnya pepesan kosong. Jember saat ini butuh atmosfir cinta yang memberikan energi kesungguhan untuk membangun. Bupati harus menangkap dan menindaklanjuti dalam kerangka kerja cerdas mewujudkan visi Jember yang telah digagas.

Berbahagialah, selama ini Bupati Jember dikepung dan dikelilingi tukang kritik. Unjuk rasa adalah hal biasa, cangkrukan demokrasi jalanan juga berproses menemukan eksistensinya. Ada BoloSeif dan Forum Konco Dewe (FKD) yang selama ini konsisten menggelar kenduri kritik. Hal ini mengindikasikan atmosfir cinta dan rasa memiliki terhadap bupati sangatlah tinggi. Bupati berhasil mengasah sensitivitas demokrasi. Bupati yang cerdas memang dituntut bisa mencerdaskan warganya.

Cinta terhadap bupati diwujudkan dalam bentuk : tanya, konfirmasi, evaluasi, nagih janji, kritik, dan marah. Disadari atau tidak, semua ini merupakan wujud keberhasilan Bupati Jember dalam rangka membangun daya kritis, menumbuhkan keberanian berekspresi, memupuk rasa percaya diri, merawat kesadaran tertib aksi hingga menumbuhkembangkan etika berdemokrasi. Apakah ini masuk kategori ‘Kuerreen?’. Tentu tidak gampang untuk membingkainya karena sampai kini ‘Jember Kueerren’  sebagai jargon tidak memiliki landasan legalitas dalam bentuk regulasi daerah. Tak jelas ‘sanadnya’. Subhat maknanya. Termasuk Mars Jember yang setiap prosesi instansional dinyanyikan dengan penuh semangat. Menjadi semacam kewajiban tanpa aturan. Di mana referensi hukum jargon ‘Jember Kueeren’ dan Mars Jember ? Orang-orang sekitar engkau bukanlah rerumputan bergoyang. Engkau minta pada mereka  bahwa semua itu butuh Perbup atau Perda. ‘Jember Kueeren’ dan Mars Jember adalah representasi komitmen daerah, bukan lagi jargon pribadi seorang Haji Hendy. Labeling daerah secara hukum harus dilekatkan dalam regulasi.

Mobile_AP_Rectangle 2

Bupati tidak boleh lupa dan harus melawan lupa. Selama dua tahun menjabat, Bupati tidak pernah meluangkan waktu. Hadir memenuhi undangan sosialisasi Upah Minimum Kabupaten (UMK) Jember. Buruh mengharap Bupati menerima curhatan soal upah. Tapi entahlah, engkau cuek-cuek saja. Dari 800 perusahaan di Jember, sekitar 30%-40% yang mampu membayar hak buruh sesuai UMK. Padahal jika UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Perpu No.2 tahun 2022 diterapkan, lapas pojok alun alun Jember akan penuh dihuni pengusaha. Buruh mengalah. Kalaupun menangis sudah tak keluar air mata. Bukankah engkau adalah Ketua Tripartit (komunikasi perundingan Buruh, pengusaha dan pemerintah guna membidani kebijakan hubungan industrial). Kemana engkau ? Atas nama buruh dan keluarganya, mereka butuh ditemani, didampingi agar buruh mampu meledakkan deritanya.

Apakah engkau lupa, beberapa waktu lalu telah menggores luka nurani Hak Asasi Manusia kaum milenial Jember ketika berproses mencari Tuhannya. Engkau larang kaum milenial menggelar pengajian dengan mendatangkan ustadz yang mereka cintai, sementara engkau mengkampanyekan agar aparatur birokrasi rajin mengaji. Sungguh kontradiktif. Tidak heran jika masyarakat Jember mengernyitkan kening. Bertanya. Hendak ke mana Jember akan di bawa…..?

Apakah engkau lupa, janji dan komitmen mengangkat UMKM guna menggerakkan gairah bisnis. Namun sungguh ironi ketika masyarakat di Kecamatan Kebonsari hendak menggelar Car Free Day sebagai wahana  kesadaran dirinya mengembangkan UMKM, justru diwarnai dengan sengkarut perijinan yang sesat nalar. Satu sisi semangat gerakan UMKM engkau deklarasikan, namun kesadaran masyarakat untuk berdikari membumikan amanah, justru engkau gembosi. Apa sesungguhnya yang engkau cari…?

Sementara kabupaten / kota sekitarnya tengah berlomba merias wajah wisata, Jember setengah hati melakukannya karena belum tersedia regulasi yang mendasarinya. JFC tengah berproses kehilangan pamornya. Kota ini tak memiliki bulan wisata berkunjung ke Jember. Jember seharusnya memiliki icon monumental sebagai daerah yang seharusnya mendunia. Beragam upaya ikonisasi dengan ragam julukan mulai Kota Seribu Gumuk, Kota Carnafal, Kota Suwar-Suwir, Kota Pendalungan. Termasuk potensi yang selama ini ada, seperti Penghasil Cerutu Tingkat Dunia, Sentral Penelitian Kopi dan Kakao. Namun semua itu tak lebih menjadi literasi tanpa substansi. Sisa tahun menjabat hingga tahun 2024 nanti, cukup kiranya untuk melekatkan kembali berbagai julukan itu. Jangan engkau tinggal dengan beragam pesta dan upacara. Ciptakan dinamika Jember dengan fakta-fakta baru. Tanamkan trush dan interesting. Bukan pemandangan air bah yang menggenangi Istana Jompo sebagai rutinitas berita tanpa makna. Karena rutinitas itu, Jember kecolongan ketika seorang Cinta Laura tak terendus memberikan empat pasang sepatu untuk anak-anak Jember. Viral. Lantas, pledoi mewarnai media. Pendopo gagap realitas, terjadilah perang data. Keberadaan Cinta Laura dengan paket sepatu barunya adalah tamparan. Menegaskan bahwa data sebatas angka yang bisa direka. Namun fakta bisa menegasikan validitas kebenarannya. Patut diucapkan terimakasih kepada Cinta Laura yang tidak saja seorang artis, namun juga telah membuka tabir dan menancapkan belati. Melahirkan rasa malu dan rasa bersalah.

Jangan lupa pula ketika engkau membasuh muka dan bercermin di ruang kerja. Bukankah wastafel itu simbol masalah yang hingga kini belum tuntas terselesaikan. Andaikata wastafel itu bernyawa, sontak akan menagih kewajiban yang harus ditunaikan. Pengusaha wastafel hanya tahu, hak yang seharusnya terbayar. Bukan rasionalisasi yang tidak membuka celah solusi. Tangis pengusaha wastafel belum kering. Bahkan bertambah deras tak terbendung karena diantara mereka terpaksa alih profesi membuka lapak kopi dan angkringan. Harapan untung dari wastafel tak lebih menggantang asap.

Hal lain menyangkut perguliran dana. Mengapa tidak segera engkau tuntaskan regulasi berupa perbup untuk menyelamatkan dana milyaran rupiah pasca proyek PNPM. Transisi konsentrasi menuju BUM Desa Bersama sebagai amanah PP No.11 tahun 2021 dibutuhkan regulasi. Tidak saja atas pertimbangan tertib administrasi, tetapi juga mencegah terjadinya bancak’an dana. Tidakkah engkau lupa, masa transisi ini telah melahirkan drama dua pencari keadilan karena didepak oleh otoritas atas nama proses BUM Desa Bersama. B dan Y berjalan dari pintu ke pintu menumpahkan air matanya. Suaranya serak tak mampu berteriak karena otoritas telah mencuri hak dan kekuatan legalitasnya sebagai Ketua Badan Kerja Sama Antar Desa yang selama ini menjalankan tugas managerial menyelamatkan dana bergulir. BUM Desa Bersama butuh regulasi daerah guna mencegah perilaku unfair.

Jember butuh solusi. Jember tak seluas alun-alun yang setiap saat diwarnai kegiatan sebatas konsumsi media. Jempol dan jari bersilang setiap saat engkau banggakan, sesungguhnya merupakan simbol amanah. Bukan sekedar ‘Yak Ka’adek’. Jempol dan jari bersilang sesungguhnya merupakan simbol empati. Empati daerah guna menuntaskan beragam problema. Termasuk menuntaskan kemiskinan. Mengentas kemiskinan tak cukup dengan wahana infrastruktur. Jalan panjang beraspal itu baik dan fungsional, namun lebih dari itu dibutuhkan empati daerah. Meskipun angka kemiskinan cenderung turun, namun kemiskinan itu tidak sebatas pengertian ketidakmampuan memenuhi kebutuhan mendasar, namun di dalamnya ada unsur momentum. Dalam pengertian, angka kemiskinan potensi fluktuatif karena potensi musabab di luar jangkauan perkiraaan atas dasar faktor yang unpredictable. Di sinilah pentingnya program pengentasan kemiskinan yang juga mencakup kemiskinan kultural. Kemiskinan yang dihasilkan dari kebiasaan dan sikap orang-orang dengan budaya santai yang tidak ingin meningkatkan taraf hidup mereka seperti masyarakat modern. Jember butuh jalan aspal, Yes. Tetapi pemberdayaan SDM merupakan prioritas serius.

Surat cinta ini disampaikan tanpa data karena data derajatnya lebih rendah dari fakta. Data berkonotasi angka yang bisa direka, namun fakta adalah deskripsi yang bisa dipotret mata media. Jangan salah memahami, bahwa surat cinta ini ada pada dimensi publik sebagai ungkapan cinta terhadap jabatan, bukan relasi individu yang bersifat personal. Selamat bekerja dan menuntaskan jabatan. Selamatkan Jember.

*) Dosen Fakultas Hukum Universitas Jember dan Dewan Pakar MD KAHMI Jember 

- Advertisement -

Dua tahun sudah Bupati Jember menjabat. Momentum dua tahun ini sarat dengan ungkapan cinta beragam elemen. Masyarakat turun ke jalan dengan jargon kritik dan hujatan menggelitik. Dari pegiat demokrasi, mahasiswa hingga kalangan buruh. Mereka mengungkapkan rasa cinta karena konstitusi melindunginya sebagai ekspresi berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.  Hakikat cinta itu bukan pujian, tapi tanggapan yang memberikan nilai tambah. Cinta adalah perhatian yang mengejawantah. Bupati tidak butuh pujian karena menjalankan tugas pokok dan fungsinya secara sistemik dan normatif. Sudah semestinya. Bupati tak butuh gambar emoticon jempol. Apalagi narasi yang sebenarnya pepesan kosong. Jember saat ini butuh atmosfir cinta yang memberikan energi kesungguhan untuk membangun. Bupati harus menangkap dan menindaklanjuti dalam kerangka kerja cerdas mewujudkan visi Jember yang telah digagas.

Berbahagialah, selama ini Bupati Jember dikepung dan dikelilingi tukang kritik. Unjuk rasa adalah hal biasa, cangkrukan demokrasi jalanan juga berproses menemukan eksistensinya. Ada BoloSeif dan Forum Konco Dewe (FKD) yang selama ini konsisten menggelar kenduri kritik. Hal ini mengindikasikan atmosfir cinta dan rasa memiliki terhadap bupati sangatlah tinggi. Bupati berhasil mengasah sensitivitas demokrasi. Bupati yang cerdas memang dituntut bisa mencerdaskan warganya.

Cinta terhadap bupati diwujudkan dalam bentuk : tanya, konfirmasi, evaluasi, nagih janji, kritik, dan marah. Disadari atau tidak, semua ini merupakan wujud keberhasilan Bupati Jember dalam rangka membangun daya kritis, menumbuhkan keberanian berekspresi, memupuk rasa percaya diri, merawat kesadaran tertib aksi hingga menumbuhkembangkan etika berdemokrasi. Apakah ini masuk kategori ‘Kuerreen?’. Tentu tidak gampang untuk membingkainya karena sampai kini ‘Jember Kueerren’  sebagai jargon tidak memiliki landasan legalitas dalam bentuk regulasi daerah. Tak jelas ‘sanadnya’. Subhat maknanya. Termasuk Mars Jember yang setiap prosesi instansional dinyanyikan dengan penuh semangat. Menjadi semacam kewajiban tanpa aturan. Di mana referensi hukum jargon ‘Jember Kueeren’ dan Mars Jember ? Orang-orang sekitar engkau bukanlah rerumputan bergoyang. Engkau minta pada mereka  bahwa semua itu butuh Perbup atau Perda. ‘Jember Kueeren’ dan Mars Jember adalah representasi komitmen daerah, bukan lagi jargon pribadi seorang Haji Hendy. Labeling daerah secara hukum harus dilekatkan dalam regulasi.

Bupati tidak boleh lupa dan harus melawan lupa. Selama dua tahun menjabat, Bupati tidak pernah meluangkan waktu. Hadir memenuhi undangan sosialisasi Upah Minimum Kabupaten (UMK) Jember. Buruh mengharap Bupati menerima curhatan soal upah. Tapi entahlah, engkau cuek-cuek saja. Dari 800 perusahaan di Jember, sekitar 30%-40% yang mampu membayar hak buruh sesuai UMK. Padahal jika UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Perpu No.2 tahun 2022 diterapkan, lapas pojok alun alun Jember akan penuh dihuni pengusaha. Buruh mengalah. Kalaupun menangis sudah tak keluar air mata. Bukankah engkau adalah Ketua Tripartit (komunikasi perundingan Buruh, pengusaha dan pemerintah guna membidani kebijakan hubungan industrial). Kemana engkau ? Atas nama buruh dan keluarganya, mereka butuh ditemani, didampingi agar buruh mampu meledakkan deritanya.

Apakah engkau lupa, beberapa waktu lalu telah menggores luka nurani Hak Asasi Manusia kaum milenial Jember ketika berproses mencari Tuhannya. Engkau larang kaum milenial menggelar pengajian dengan mendatangkan ustadz yang mereka cintai, sementara engkau mengkampanyekan agar aparatur birokrasi rajin mengaji. Sungguh kontradiktif. Tidak heran jika masyarakat Jember mengernyitkan kening. Bertanya. Hendak ke mana Jember akan di bawa…..?

Apakah engkau lupa, janji dan komitmen mengangkat UMKM guna menggerakkan gairah bisnis. Namun sungguh ironi ketika masyarakat di Kecamatan Kebonsari hendak menggelar Car Free Day sebagai wahana  kesadaran dirinya mengembangkan UMKM, justru diwarnai dengan sengkarut perijinan yang sesat nalar. Satu sisi semangat gerakan UMKM engkau deklarasikan, namun kesadaran masyarakat untuk berdikari membumikan amanah, justru engkau gembosi. Apa sesungguhnya yang engkau cari…?

Sementara kabupaten / kota sekitarnya tengah berlomba merias wajah wisata, Jember setengah hati melakukannya karena belum tersedia regulasi yang mendasarinya. JFC tengah berproses kehilangan pamornya. Kota ini tak memiliki bulan wisata berkunjung ke Jember. Jember seharusnya memiliki icon monumental sebagai daerah yang seharusnya mendunia. Beragam upaya ikonisasi dengan ragam julukan mulai Kota Seribu Gumuk, Kota Carnafal, Kota Suwar-Suwir, Kota Pendalungan. Termasuk potensi yang selama ini ada, seperti Penghasil Cerutu Tingkat Dunia, Sentral Penelitian Kopi dan Kakao. Namun semua itu tak lebih menjadi literasi tanpa substansi. Sisa tahun menjabat hingga tahun 2024 nanti, cukup kiranya untuk melekatkan kembali berbagai julukan itu. Jangan engkau tinggal dengan beragam pesta dan upacara. Ciptakan dinamika Jember dengan fakta-fakta baru. Tanamkan trush dan interesting. Bukan pemandangan air bah yang menggenangi Istana Jompo sebagai rutinitas berita tanpa makna. Karena rutinitas itu, Jember kecolongan ketika seorang Cinta Laura tak terendus memberikan empat pasang sepatu untuk anak-anak Jember. Viral. Lantas, pledoi mewarnai media. Pendopo gagap realitas, terjadilah perang data. Keberadaan Cinta Laura dengan paket sepatu barunya adalah tamparan. Menegaskan bahwa data sebatas angka yang bisa direka. Namun fakta bisa menegasikan validitas kebenarannya. Patut diucapkan terimakasih kepada Cinta Laura yang tidak saja seorang artis, namun juga telah membuka tabir dan menancapkan belati. Melahirkan rasa malu dan rasa bersalah.

Jangan lupa pula ketika engkau membasuh muka dan bercermin di ruang kerja. Bukankah wastafel itu simbol masalah yang hingga kini belum tuntas terselesaikan. Andaikata wastafel itu bernyawa, sontak akan menagih kewajiban yang harus ditunaikan. Pengusaha wastafel hanya tahu, hak yang seharusnya terbayar. Bukan rasionalisasi yang tidak membuka celah solusi. Tangis pengusaha wastafel belum kering. Bahkan bertambah deras tak terbendung karena diantara mereka terpaksa alih profesi membuka lapak kopi dan angkringan. Harapan untung dari wastafel tak lebih menggantang asap.

Hal lain menyangkut perguliran dana. Mengapa tidak segera engkau tuntaskan regulasi berupa perbup untuk menyelamatkan dana milyaran rupiah pasca proyek PNPM. Transisi konsentrasi menuju BUM Desa Bersama sebagai amanah PP No.11 tahun 2021 dibutuhkan regulasi. Tidak saja atas pertimbangan tertib administrasi, tetapi juga mencegah terjadinya bancak’an dana. Tidakkah engkau lupa, masa transisi ini telah melahirkan drama dua pencari keadilan karena didepak oleh otoritas atas nama proses BUM Desa Bersama. B dan Y berjalan dari pintu ke pintu menumpahkan air matanya. Suaranya serak tak mampu berteriak karena otoritas telah mencuri hak dan kekuatan legalitasnya sebagai Ketua Badan Kerja Sama Antar Desa yang selama ini menjalankan tugas managerial menyelamatkan dana bergulir. BUM Desa Bersama butuh regulasi daerah guna mencegah perilaku unfair.

Jember butuh solusi. Jember tak seluas alun-alun yang setiap saat diwarnai kegiatan sebatas konsumsi media. Jempol dan jari bersilang setiap saat engkau banggakan, sesungguhnya merupakan simbol amanah. Bukan sekedar ‘Yak Ka’adek’. Jempol dan jari bersilang sesungguhnya merupakan simbol empati. Empati daerah guna menuntaskan beragam problema. Termasuk menuntaskan kemiskinan. Mengentas kemiskinan tak cukup dengan wahana infrastruktur. Jalan panjang beraspal itu baik dan fungsional, namun lebih dari itu dibutuhkan empati daerah. Meskipun angka kemiskinan cenderung turun, namun kemiskinan itu tidak sebatas pengertian ketidakmampuan memenuhi kebutuhan mendasar, namun di dalamnya ada unsur momentum. Dalam pengertian, angka kemiskinan potensi fluktuatif karena potensi musabab di luar jangkauan perkiraaan atas dasar faktor yang unpredictable. Di sinilah pentingnya program pengentasan kemiskinan yang juga mencakup kemiskinan kultural. Kemiskinan yang dihasilkan dari kebiasaan dan sikap orang-orang dengan budaya santai yang tidak ingin meningkatkan taraf hidup mereka seperti masyarakat modern. Jember butuh jalan aspal, Yes. Tetapi pemberdayaan SDM merupakan prioritas serius.

Surat cinta ini disampaikan tanpa data karena data derajatnya lebih rendah dari fakta. Data berkonotasi angka yang bisa direka, namun fakta adalah deskripsi yang bisa dipotret mata media. Jangan salah memahami, bahwa surat cinta ini ada pada dimensi publik sebagai ungkapan cinta terhadap jabatan, bukan relasi individu yang bersifat personal. Selamat bekerja dan menuntaskan jabatan. Selamatkan Jember.

*) Dosen Fakultas Hukum Universitas Jember dan Dewan Pakar MD KAHMI Jember 

Dua tahun sudah Bupati Jember menjabat. Momentum dua tahun ini sarat dengan ungkapan cinta beragam elemen. Masyarakat turun ke jalan dengan jargon kritik dan hujatan menggelitik. Dari pegiat demokrasi, mahasiswa hingga kalangan buruh. Mereka mengungkapkan rasa cinta karena konstitusi melindunginya sebagai ekspresi berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.  Hakikat cinta itu bukan pujian, tapi tanggapan yang memberikan nilai tambah. Cinta adalah perhatian yang mengejawantah. Bupati tidak butuh pujian karena menjalankan tugas pokok dan fungsinya secara sistemik dan normatif. Sudah semestinya. Bupati tak butuh gambar emoticon jempol. Apalagi narasi yang sebenarnya pepesan kosong. Jember saat ini butuh atmosfir cinta yang memberikan energi kesungguhan untuk membangun. Bupati harus menangkap dan menindaklanjuti dalam kerangka kerja cerdas mewujudkan visi Jember yang telah digagas.

Berbahagialah, selama ini Bupati Jember dikepung dan dikelilingi tukang kritik. Unjuk rasa adalah hal biasa, cangkrukan demokrasi jalanan juga berproses menemukan eksistensinya. Ada BoloSeif dan Forum Konco Dewe (FKD) yang selama ini konsisten menggelar kenduri kritik. Hal ini mengindikasikan atmosfir cinta dan rasa memiliki terhadap bupati sangatlah tinggi. Bupati berhasil mengasah sensitivitas demokrasi. Bupati yang cerdas memang dituntut bisa mencerdaskan warganya.

Cinta terhadap bupati diwujudkan dalam bentuk : tanya, konfirmasi, evaluasi, nagih janji, kritik, dan marah. Disadari atau tidak, semua ini merupakan wujud keberhasilan Bupati Jember dalam rangka membangun daya kritis, menumbuhkan keberanian berekspresi, memupuk rasa percaya diri, merawat kesadaran tertib aksi hingga menumbuhkembangkan etika berdemokrasi. Apakah ini masuk kategori ‘Kuerreen?’. Tentu tidak gampang untuk membingkainya karena sampai kini ‘Jember Kueerren’  sebagai jargon tidak memiliki landasan legalitas dalam bentuk regulasi daerah. Tak jelas ‘sanadnya’. Subhat maknanya. Termasuk Mars Jember yang setiap prosesi instansional dinyanyikan dengan penuh semangat. Menjadi semacam kewajiban tanpa aturan. Di mana referensi hukum jargon ‘Jember Kueeren’ dan Mars Jember ? Orang-orang sekitar engkau bukanlah rerumputan bergoyang. Engkau minta pada mereka  bahwa semua itu butuh Perbup atau Perda. ‘Jember Kueeren’ dan Mars Jember adalah representasi komitmen daerah, bukan lagi jargon pribadi seorang Haji Hendy. Labeling daerah secara hukum harus dilekatkan dalam regulasi.

Bupati tidak boleh lupa dan harus melawan lupa. Selama dua tahun menjabat, Bupati tidak pernah meluangkan waktu. Hadir memenuhi undangan sosialisasi Upah Minimum Kabupaten (UMK) Jember. Buruh mengharap Bupati menerima curhatan soal upah. Tapi entahlah, engkau cuek-cuek saja. Dari 800 perusahaan di Jember, sekitar 30%-40% yang mampu membayar hak buruh sesuai UMK. Padahal jika UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Perpu No.2 tahun 2022 diterapkan, lapas pojok alun alun Jember akan penuh dihuni pengusaha. Buruh mengalah. Kalaupun menangis sudah tak keluar air mata. Bukankah engkau adalah Ketua Tripartit (komunikasi perundingan Buruh, pengusaha dan pemerintah guna membidani kebijakan hubungan industrial). Kemana engkau ? Atas nama buruh dan keluarganya, mereka butuh ditemani, didampingi agar buruh mampu meledakkan deritanya.

Apakah engkau lupa, beberapa waktu lalu telah menggores luka nurani Hak Asasi Manusia kaum milenial Jember ketika berproses mencari Tuhannya. Engkau larang kaum milenial menggelar pengajian dengan mendatangkan ustadz yang mereka cintai, sementara engkau mengkampanyekan agar aparatur birokrasi rajin mengaji. Sungguh kontradiktif. Tidak heran jika masyarakat Jember mengernyitkan kening. Bertanya. Hendak ke mana Jember akan di bawa…..?

Apakah engkau lupa, janji dan komitmen mengangkat UMKM guna menggerakkan gairah bisnis. Namun sungguh ironi ketika masyarakat di Kecamatan Kebonsari hendak menggelar Car Free Day sebagai wahana  kesadaran dirinya mengembangkan UMKM, justru diwarnai dengan sengkarut perijinan yang sesat nalar. Satu sisi semangat gerakan UMKM engkau deklarasikan, namun kesadaran masyarakat untuk berdikari membumikan amanah, justru engkau gembosi. Apa sesungguhnya yang engkau cari…?

Sementara kabupaten / kota sekitarnya tengah berlomba merias wajah wisata, Jember setengah hati melakukannya karena belum tersedia regulasi yang mendasarinya. JFC tengah berproses kehilangan pamornya. Kota ini tak memiliki bulan wisata berkunjung ke Jember. Jember seharusnya memiliki icon monumental sebagai daerah yang seharusnya mendunia. Beragam upaya ikonisasi dengan ragam julukan mulai Kota Seribu Gumuk, Kota Carnafal, Kota Suwar-Suwir, Kota Pendalungan. Termasuk potensi yang selama ini ada, seperti Penghasil Cerutu Tingkat Dunia, Sentral Penelitian Kopi dan Kakao. Namun semua itu tak lebih menjadi literasi tanpa substansi. Sisa tahun menjabat hingga tahun 2024 nanti, cukup kiranya untuk melekatkan kembali berbagai julukan itu. Jangan engkau tinggal dengan beragam pesta dan upacara. Ciptakan dinamika Jember dengan fakta-fakta baru. Tanamkan trush dan interesting. Bukan pemandangan air bah yang menggenangi Istana Jompo sebagai rutinitas berita tanpa makna. Karena rutinitas itu, Jember kecolongan ketika seorang Cinta Laura tak terendus memberikan empat pasang sepatu untuk anak-anak Jember. Viral. Lantas, pledoi mewarnai media. Pendopo gagap realitas, terjadilah perang data. Keberadaan Cinta Laura dengan paket sepatu barunya adalah tamparan. Menegaskan bahwa data sebatas angka yang bisa direka. Namun fakta bisa menegasikan validitas kebenarannya. Patut diucapkan terimakasih kepada Cinta Laura yang tidak saja seorang artis, namun juga telah membuka tabir dan menancapkan belati. Melahirkan rasa malu dan rasa bersalah.

Jangan lupa pula ketika engkau membasuh muka dan bercermin di ruang kerja. Bukankah wastafel itu simbol masalah yang hingga kini belum tuntas terselesaikan. Andaikata wastafel itu bernyawa, sontak akan menagih kewajiban yang harus ditunaikan. Pengusaha wastafel hanya tahu, hak yang seharusnya terbayar. Bukan rasionalisasi yang tidak membuka celah solusi. Tangis pengusaha wastafel belum kering. Bahkan bertambah deras tak terbendung karena diantara mereka terpaksa alih profesi membuka lapak kopi dan angkringan. Harapan untung dari wastafel tak lebih menggantang asap.

Hal lain menyangkut perguliran dana. Mengapa tidak segera engkau tuntaskan regulasi berupa perbup untuk menyelamatkan dana milyaran rupiah pasca proyek PNPM. Transisi konsentrasi menuju BUM Desa Bersama sebagai amanah PP No.11 tahun 2021 dibutuhkan regulasi. Tidak saja atas pertimbangan tertib administrasi, tetapi juga mencegah terjadinya bancak’an dana. Tidakkah engkau lupa, masa transisi ini telah melahirkan drama dua pencari keadilan karena didepak oleh otoritas atas nama proses BUM Desa Bersama. B dan Y berjalan dari pintu ke pintu menumpahkan air matanya. Suaranya serak tak mampu berteriak karena otoritas telah mencuri hak dan kekuatan legalitasnya sebagai Ketua Badan Kerja Sama Antar Desa yang selama ini menjalankan tugas managerial menyelamatkan dana bergulir. BUM Desa Bersama butuh regulasi daerah guna mencegah perilaku unfair.

Jember butuh solusi. Jember tak seluas alun-alun yang setiap saat diwarnai kegiatan sebatas konsumsi media. Jempol dan jari bersilang setiap saat engkau banggakan, sesungguhnya merupakan simbol amanah. Bukan sekedar ‘Yak Ka’adek’. Jempol dan jari bersilang sesungguhnya merupakan simbol empati. Empati daerah guna menuntaskan beragam problema. Termasuk menuntaskan kemiskinan. Mengentas kemiskinan tak cukup dengan wahana infrastruktur. Jalan panjang beraspal itu baik dan fungsional, namun lebih dari itu dibutuhkan empati daerah. Meskipun angka kemiskinan cenderung turun, namun kemiskinan itu tidak sebatas pengertian ketidakmampuan memenuhi kebutuhan mendasar, namun di dalamnya ada unsur momentum. Dalam pengertian, angka kemiskinan potensi fluktuatif karena potensi musabab di luar jangkauan perkiraaan atas dasar faktor yang unpredictable. Di sinilah pentingnya program pengentasan kemiskinan yang juga mencakup kemiskinan kultural. Kemiskinan yang dihasilkan dari kebiasaan dan sikap orang-orang dengan budaya santai yang tidak ingin meningkatkan taraf hidup mereka seperti masyarakat modern. Jember butuh jalan aspal, Yes. Tetapi pemberdayaan SDM merupakan prioritas serius.

Surat cinta ini disampaikan tanpa data karena data derajatnya lebih rendah dari fakta. Data berkonotasi angka yang bisa direka, namun fakta adalah deskripsi yang bisa dipotret mata media. Jangan salah memahami, bahwa surat cinta ini ada pada dimensi publik sebagai ungkapan cinta terhadap jabatan, bukan relasi individu yang bersifat personal. Selamat bekerja dan menuntaskan jabatan. Selamatkan Jember.

*) Dosen Fakultas Hukum Universitas Jember dan Dewan Pakar MD KAHMI Jember 

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca