Penghelatan akbar Porprov tahun 2022 di Kabupaten Lumajang, Jember, Situbondo dan Bondowoso ‘ternoda’. Bukan kecurangan punggawa olah raga di lapangan, namun insiden tidak naik kelas peraih medali emas di ajang ini atas nama Muhammad Ihsan Maulana. Ihsan adalah atlet Drum Band dari Kabupaten Jember. Bak tersengat lebah, berbagai komponen masyarakat di Jember khususnya angkat bicara. Bupati dan Wakil Bupati Jember serta Cabang Dinas Pendidikan Propinsi angkat bicara. Intinya, sangat menyayangkan keputusan SMAN 2 Jember ini. Meski pihak sekolah mempunyai pertimbangan dan kriteria tersendiri sebelum akhirnya atlet ini tertinggal kelas (Radar Jember, 01/07/2022).
Semua pihak khususnya yang berkecimpung di dunia olahraga hal tersebut sangat memprihatinkan. Di tengah upaya daerah-daerah untuk terus melakukan pembinaan kepada atlet-atlet olah raga khususnya yunior ternyata masih ada saja oknum-oknum dari pihak tertentu yang melakukan tindakan kontraproduktif sehingga pada akhirnya atlet dan daerah menjadi korban.
Meksipun bukan satu-satunya, ganjalan-ganjalan dari pembinaan olah raga yang datang dari institusi pendidikan bukan hanya kali ini terjadi. Atlet dari beberapa daerah loncat pagar karena menganggap tidak ada perhatian. Atlet Kabupaten Kepulauan Meranti tampil di ajang Pekan Olahraga Pelajar Daerah (Popda) Riau ke XV Tahun 2022 memperkuat kabupaten dan kota lain dan banyak berhasil menyabet mendali emas (halloriau.com, 25/062022).
Dari insiden di Jember ini, ada beberapa catatan kritis yang patut memperoleh perhatian. Pertama, rapuhnya sinergi. Insiden ini menguak lemahnya sinergi dan koordinasi antara pemangku olah raga dengan institusi lain, dalam hal ini pendidikan. Sinergi ini idealnya sudah terbangun secara berkesinambungan dan berlansung sejak dini, tidak hanya terbatas pada keberadaan event olah raga. Lebih-lebih ketika pembinaan olah raga melibatkan para atlet yang nota benenya berstatus pelajar. Sinergi ini sebaiknya bukan hanya pada jenjang pendidikan tertentu, namun sebaiknya seluruh tingkatan pendidikan. Sepakat atau tidak dari olah raga nama daerah, propinsi dan negara bisa terangkat.
Kedua, kurang adaptif. Pembinaan atlet olah raga ada kalanya tidak langsung diikuti support penuh dari institusi lain. Beberapa insiden atlet nekat pindah datang karena ‘merasa’ daerah asal atlet belajar tidak memberikan dispensasi atau rekomendasi untuk mengikuti kejuaraan. Lembaga pendidikan biasanya berdalih pada regulasi yang ada. Di mana ada kewajiban kehadiran secara fisik pada proses belajar mengajar. Uniknya, ketika atlet sudah pindah daerah ternyata pemerintah daerah yang baru mampu memfasilitasi dengan memberikan dispensasi dan fokus pada peningkatan prestasi olah raganya. Di sinilah perlu adanya sikap adaptif bagi institusi apa pun untuk memberikan dukungan nyata pada pembinaan olah raga. Jargon ‘Kalau Bisa Dipermudah Mengapa Harus Dipersulit’ perlu menjadi pertimbangan utama. Tidak malah berbalik ‘Kalau Bisa Dipersulit, Mengapa Dipermudah’. Dengan kata lain, pendidikan terus dan prestasi olah raga juga moncer.
Ketiga, minim apresiasi. Atlet berprestasi tak selalu memperoleh apresiasi yang setimpal. Bukan hal baru, ada atlet berprestasi tidak memperoleh apresiasi baik uang dan barang maupun. lainnya. Argumen yang umum, tidak ada anggaran, masih diajukan, perlu konsultasi dulu dan sejenisnya. Namun, apabila sudah mencuat dan menjadi sorotan public barulah bersikap. Sejatinya, segala capaian atlet apalagi sampai berprestasi layak mempeorleh apresiasi. Apresiasi tidak mesti materi, bisa berupa non materi, yaitu jaminan memperoleh pendidikan. Di sini memang memerlukan kolaborasi yang manis antara pemangku olah raga dengan institusi pendidikan.