Sampah menjadi sebuah fenomena yang melekat dalam kehidupan sejalan dengan dinamika masyarakat dan pola hidup masyarakat, dan kondisi ini akan berimbas secara positif ataupun negatif tergantung pada manusia dalam pengelolaannya dalam lingkungan kecil, wilayah hingga negara. Yang terjadi justru sering kali sampah menjadi masalah bagi masyarakat itu sendiri, ketika penanganannya tidak seimbang dengan jumlah sampah yang dihasilkan. Sebenarnya di akhir-akhir ini pemanfaatan sampah yang diolah kembali memberi manfaat yang positif semakin meningkat, sejalan dengan tingkat kesadaran masyarakat akan pentingnya pengelolaan sampah secara terpadu dan tersistem agar tidak terjadi bencana di kemudian hari.
Di Jawa Timur (Jatim), berdasarkan data pada Sistem Informasi Pengelolaan Sampah tahun 2020, timbunan sampah yang berasal dari 32 kabupaten/kota sebesar 5.719.360,64 juta ton per tahun. Dan pengurangan sampah sebesar 14,81 persen atau sebesar 847.276,93 ton per tahun, sedang sampah yang dikelola sebesar 54,91 persen atau sejumlah 3.140.310,48 ton per tahun, sehingga sampah yang tidak terkelola sebesar 45,09 persen atau sejumlah 2.579.050,16 ton per tahun.
Hal ini berarti masih banyak sampah yang belum tertangani dengan baik dan ini menjadi persoalan yang harus kita tangani bersama. Di lain hal, Jatim juga dihadapkan dengan sampah yang masuk kategori bahan beracun berbahaya (B3). Yang saat ini Pemprov Jatim melalui BUMD sedang dalam taraf pembangunan pabrik pengelolaan di Mojokerto.
Berbicara tentang sampah, bukan saja tentang jumlah besaran yang dihasilkan baik dari rumah tangga dan industri. Sebab, di dalamnya ada hal lain terkait upaya menjaga kelestarian lingkungan hidup bagi kesinambungan hidup manusia, tata ruang wilayah, hingga pengawasan dan pengelolaan sampah agar tidak menjadi bumerang bagi masyarakat itu sendiri. Artinya, pengelolaan sampah harus jelas dan tersistem secara komprehensif dan di sinilah perlunya regulasi yang tepat agar sampah tidak menjadi bencana di kemudian hari, tetapi justru sampah dapat menjadi sumber perekonomian baru bagi masyarakat.
Dalam rangka mengatasi masalah sampah regional di Jatim, pada tahun 2010 telah ditetapkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 4 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Sampah Regional. Perda ini dilatarbelakangi oleh beberapa hal. Pertama, pertambahan penduduk dan perubahan pola konsumsi masyarakat menimbulkan bertambahnya volume, jenis, dan karakteristik sampah yang semakin beragam. Kedua, pengelolaan sampah selama ini belum sesuai dengan metode dan teknik pengelolaan sampah yang berwawasan lingkungan, sehingga menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan. Ketiga, sampah telah menjadi permasalahan regional dan nasional sehingga pengelolaannya perlu dilakukan secara komprehensif dan terpadu dari hulu ke hilir agar memberikan manfaat secara ekonomi, sehat bagi masyarakat, dan akan aman bagi lingkungan serta dapat mengubah perilaku masyarakat. Dan keempat, dalam pengelolaan sampah diperlukan kepastian hukum, kejelasan tanggung jawab dan kewenangan pemerintah daerah serta peran masyarakat dan dunia usaha sehingga pengelolaan sampah dapat berjalan secara proporsional, efektif, dan efisien.
Sebagai tindak lanjut atas ditetapkannya Perda Nomor 4 Tahun 2010 tersebut, dalam Perda Jatim Nomor 5 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Jatim tahun 2011-2031, telah diatur 8 rencana pengembangan tempat pembuangan akhir sampah (TPAS) regional di Jatim. Masing-masing adalah Kabupaten Gresik yang melayani Kota Surabaya, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Gresik. Malang Raya yang melayani Kota Malang, Kota Batu, dan Kabupaten Malang. Mojokerto yang melayani Kota Mojokerto dan Kabupaten Mojokerto. Madiun yang melayani Kota Madiun dan Kabupaten Madiun. Kediri yang melayani Kota Kediri dan Kabupaten Kediri. Blitar yang melayani Kota Blitar dan Kabupaten Blitar. Pasuruan yang melayani Kota Pasuruan dan Kabupaten Pasuruan. Serta Probolinggo yang melayani Kota Probolinggo dan Kabupaten Probolinggo.
Dalam perkembangannya, Perda Nomor 4 tahun 2010 tersebut ternyata memiliki banyak kekurangan yuridis sehingga tidak dapat secara maksimal untuk dijadikan dasar hukum dalam pengaturan pengelolaan sampah regional di Jatim. Dengan kata lain bahwa perda tersebut tidak dapat lagi dijadikan sebagai payung hukum dalam pengelolaan sampah regional di Jatim karena berbagai perkembangan hukum yang terjadi sehingga harus disesuaikan. Berbagai permasalahan antara lain keterbatasan lahan di perkotaan, keterbatasan biaya operasional dan manajerial, keterbatasan teknologi, beban pengelolaan yang terus meningkat, timbulan sampah terus meningkat, keterbatasan armada pengangkut, keterbatasan sumber daya manusia, serta kelembagaan pengelolaan sampah regional.
Berbagai permasalahan pengelolaan sampah regional di atas tidak diatur dalam Perda Nomor 4 Tahun 2010 sehingga urgensi yuridis untuk segera dilakukan revisi. Seiring dengan ditetapkannya  Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2019 tentang Percepatan Pembangunan Ekonomi di Kawasan Gresik-Bangkalan-Mojokerto-Surabaya-Sidoarjo-Lamongan, Kawasan Bromo-Tengger-Semeru, serta Kawasan setingkat Wilis dan Lintas Selatan yang di dalamnya mengatur rencana tempat pengelolaan akhir sampah (TPAS) regional, yakni di Kabupaten/Kota Kediri, Kabupaten/Kota Blitar, dan Kabupaten/Kota Probolinggo.
Disamping urgensi yuridis diperlukannya revisi terhadap Perda Nomor 4 Tahun 2010 tersebut juga didasarkan pada fakta empirik mengenai keberadaan TPAS regional yang sampai dengan saat ini provinsi belum memiliki TPAS regional. Padahal sebagai provinsi dengan luas wilayah terluas di Pulau Jawa dan provinsi dengan jumlah populasi terbanyak, kedua di Indonesia, pembangunan TPAS regional dan TPST regional sangat mendesak untuk segera dilakukan. Provinsi Jawa Barat (Jabar) sebagai provinsi dengan wilayah terluas kedua di pulau Jawa dan provinsi dengan jumlah populasi terbanyak di Indonesia telah memiliki 3 TPA regional. Yakni TPA Sampah Regional Sarimukti, Provinsi Jabar yang melayani Kota dan Kabupaten Bandung. TPA sampah regional Legok Nangka, provinsi Jawa Barat yang melayani Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung Selatan, Sumedang, dan Garut. TPA Sampah Regional Nambo, Provinsi Jawa Barat yang melayani Kota Bogor, Kabupaten Bogor, dan Kota Depok.
Sedangkan di Provinsi Jatim, rencana pembangunan TPA regional baru pada tahapan penyusunan prastudi kelayakan dan masterplan untuk rencana pembangunan TPAS Regional Kabupaten/Kota Kediri dan TPAS Regional Kabupaten/Kota Probolinggo, serta TPAS Kabupaten/Kota Blitar. Oleh karena itu, DPRD Jatim terus mendorong agar pembangunan TPA regional tersebut segera direalisasikan, sehingga dapat mengurangi timbunan sampah yang terus meningkat di kabupaten/kota wilayah Jatim.
Penyusunan tentang perda ini didasarkan pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Dalam undang-undang tersebut, ada tugas pemerintah dan pemerintah daerah provinsi. Yaitu, menumbuhkembangkan dan meningkatkan kesadaran masyarakat dalam pengelolaan sampah. Selanjutnya, Melakukan penelitian, pengembangan teknologi pengurangan dan penanganan sampah. Memfasilitasi, mengembangkan, dan melaksanakan upaya pengurangan, penanganan, dan pemanfaatan sampah. Melaksanakan pengelolaan sampah dan memfasilitasi penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan sampah. Mendorong dan memfasilitasi pengembangan manfaat hasil pengolahan sampah. Memfasilitasi penerapan teknologi spesifik lokal yang berkembang pada masyarakat setempat untuk mengurangi dan menangani sampah. Dan melakukan koordinasi antarlembaga pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha agar terdapat keterpaduan dalam pengelolaan sampah.
Disamping itu, dalam pembagian urusan pemerintahan dalam bidang persampahan termasuk ke dalam urusan bidang pekerjaan umum dan penataan ruang serta urusan di bidang lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam lampiran UU Nomor 23 Tahun 2014. Di mana kewenangan pemerintah daerah provinsi adalah pengembangan sistem dan pengelolaan persampahan regional, pengembangan sistem dan pengelolaan persampahan dalam daerah. Sedangkan yang kedua penanganan sampah di TPA/TPST regional.
Penanganan sampah pada dasarnya mengikuti prinsip 3R, reduce (mengurangi), reuse (menggunakan kembali), dan recycle (mengolah kembali) dan diharapkan semua pemangku kepentingan bisa bersinergi dalam peran masing-masing untuk melaksanakan prinsip 3R. Manajemen pengelolaan sampah merupakan tanggung jawab bersama; masyarakat, instansi pemerintah, dan swasta. Tiga pemangku kepentingan ini merupakan satu kesatuan yang harus diatur dalam sebuah regulasi agar bergerak di wilayah masing-masing untuk menyelesaikan persoalan sampah. Sehingga pola lama pengelolaan sampah di Indonesia yaitu pengumpulan, pengangkutan, dan pembuangan dapat digeser menjadi pemilahan, pengolahan, dan pemanfaatan serta meminimalisasi residu.
Pada saat ini TPA sebagian besar masih tidak dikelola dengan baik. Operasionalnya masih secara open dumping menggunakan sistem sanitary landfill, yaitu sistem pengelolaan atau pemusnahan sampah dengan cara membuang dan menumpuk sampah di lokasi cekung, memadatkannya, dan kemudian menimbunnya dengan tanah. Di samping itu masih terjadi pembakaran sampah untuk mengurangi timbunan sampah, tetapi justru menciptakan pencemaran udara dengan polusi. Masalah lain timbulnya bau, menurunnya kualitas akibat resapan dari timbunan sampah di TPA, juga akibat pembuangan sampah di sungai sehingga hal ini sangat membahayakan bagi kelangsungan hidup manusia dan makhluk lainnya. Atau dengan kata lain pengelolaan sampah yang tidak ditangani dengan baik dapat menimbulkan permasalahan lingkungan baik kesehatan maupun bencana. Salah satu bencana jangka panjang yang dapat dirasakan adalah perubahan iklim akibat pemanasan global yang dipicu oleh pembakaran sampah (CO2) dan proses pembusukan sampah (CH4). Oleh karena itu, langkah strategis yang perlu diambil adalah menciptakan dan menumbuhkembangkan kesadaran ekologi lingkungan, energi baru terbarukan, produk hijau, dan pemanfaatan sampah sebagai sumber kekuatan ekonomi baru. Prinsip pengelolaan sampah dengan 3R masih merupakan metode yang terbaik dan paling relevan sampai saat ini. Hal lain yang menjadi titik tekan dalam penanganan sampah adalah adanya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 yang kemudian ditindaklanjuti Pemprov Jatim dengan Perda Pengelolaan Sampah Regional Nomor 4 Tahun 2010 yang saat ini sedang dalam pembahasan revisi. Diharapkan kabupaten/kota di Jatim yang telah memiliki perda dapatnya melakukan akselerasi dengan perda tersebut. Sedang kabupaten/kota yang belum memiliki perda pengelolaan sampah diharapkan dapat memulai persiapan pembentukan perda di wilayahnya.
Dari awal hingga akhir tulisan ini, satu hal yang harus menjadi titik tekan adalah perlunya sebuah regulasi dalam penanganan sampah agar sampah tidak menjadi bencana jangka panjang tetapi menjadikan sampah sebagai sumber kekuatan ekonomi baru.
Penulis adalah Ketua Pokja Perda Sampah DPRD Provinsi Jawa Timur