23.5 C
Jember
Tuesday, 21 March 2023

SMK Butuh Pemimpin Subur Bukan Gersang

Daris Wibisono Setiawan SS MPd DPEd

Mobile_AP_Rectangle 1

STIGMA lulusan SMK sebagai penyumbang pengangguran terbesar di Indonesia berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tentu saja menjadi ancaman serius bagi satuan pendidikan SMK. Data BPS tahun 2020 menunjukkan bahwa tingkat pengangguran terbuka didominasi oleh lulusan SMK sebesar 8,49 persen. Dan ironisnya, meningkat tajam pada tahun 2021 pada angka 11,45 persen. Meski badai pandemi Covid-19 dapat menjadi alasan kenaikan jumlah pengangguran, namun yang tidak dapat disangkal adalah pola yang sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Di mana, dari data pengangguran terbuka tersebut, SMK adalah penyumbang terbesarnya. Langkah terstruktur, sistemik, dan sinergis harus segera dilakukan oleh Kemdikbud untuk menyiapkan langkah afirmatif yang lebih matang dalam upaya menyelesaikan persoalan mendasar di jenjang SMK ini.

Mas Menteri sebagai motor penggerak Kemdikbud tidak salah kiranya membuka seluas-luasnya ruang diskusi untuk mendengar input sebanyak-banyaknya dari para pelaku pendidikan SMK dari Sabang sampai Merauke. Langkah tersebut menjadi penting, mengingat program apa pun yang akan dilahirkan oleh Kemdikbudristekdikti, selagi persoalan fundamental pada pendidikan SMK belum terurai dengan baik, maka upaya menemukan formula yang mujarab bagi satuan pendidikan SMK sama dengan menjaring angin. Tata kelola pendidikan (terlebih pendidikan vokasi) memang membutuhkan strategi yang sakti mandraguna mengingat jumlah lulusannya dengan keterserapannya pada industri dan dunia kerja (iduka) sangat mudah cara menghitung dan memberikan penilaiannya.

Melihat benang kusut pendidikan SMK di atas, penulis tertarik melihat uraian Dirjen Pendidikan Vokasi Wikan Sakarianto yang dengan cerdas mengurai bagaimana model pemimpin subur dibandingkan dengan pemimpin gersang. Problematika pendidikan vokasi di Indonesia tidak bisa hanya dengan menunggu lahirnya kebijakan pemerintah, namun juga bisa dilakukan inisiasi dari tingkat bawah melalui satuan pendidikan. Pemimpin subur mengartikan bring industry to school harus diawali dengan membawa dan menciptakan karakter dan mindset profesional industri ke dalam SDM dan kurikulum di sekolah serta merombak dan merenovasi dan meng-improve metode pembelajaran di sekolah. Dari sini terlihat dengan jelas bahwa pemimpin subur itu harus berkaraker, visioner dengan perubahan mindset yang revolusioner, mempunyai networking yang luas, dan mempunyai jiwa leadership yang kuat.

Mobile_AP_Rectangle 2

Pemimpin gersang selalu berpikir bring industry to school diartikan dengan memanfaatkan bantuan/dana sekolah untuk membangun infrastruktur sekolah, membeli peralatan pembelajaran yang sama persis yang ada di industri. Dalam arti sempit, karena kedangkalan berpikirnya, pemimpin gersang memaknai bring industry to school dengan copy paste, kondisi fisik industri harus ada di sekolah. Pemimpin gersang seakan lupa bahwa laju industri itu super cepat perubahan dan perkembangannya. Bukan hanya dari sisi peralatan yang begitu canggih, namun juga dibarengi dengan sumber daya yang terus dituntut untuk mengikuti perubahan.

Ironisnya, pemimpin gersang akan cenderung tidak mau atau tidak mampu menerjemahkan keinginan iduka ke dalam kurikulum di sekolahnya, dipastikan masuk ke dalam metode pembelajaran guru, dan dipastikan bisa diterima oleh para peserta didik. Serta dilakukan evaluasi ketercapaian dengan uji kompetensi secara berkelanjutan.

Perubahan mindset menjadi prioritas bagi kepemimpinan lembaga pendidikan SMK dalam melakukan perubahan. Pola pikir pemimpin satuan pendidikan SMK yang menitikberatkan aspek fisik peralatan dan bangunan untuk bisa melaksanakan pendidikan vokasi yang ideal harus diyakini sebagai mindset konvensional. Sebaliknya, kepala SMK harus berani melakukan perubahan-perubahan menuju ke arah pola pikir pengembangan yang kolaboratif dan kreatif. Kolaborasi dan kreativitas adalah kunci menggenggam masa depan, termasuk masa depan dunia SMK, terlebih sebagai pendidikan yang dituntut dari awal untuk link and match (kolaboratif) dengan iduka.

Kolaborasi yang dilakukan secara terus-menerus kepada iduka tentu saja akan menghasilkan rekomendasi-rekomendasi produktif yang akan diterjemahkan dengan baik pada proses pembelajaran di sekolah. Salah satu rekomendasi yang mungkin akan mencengangkan bagi SMK, ternyata iduka lebih membutuhkan lulusan SMK dengan soft skill dan karakter yang kuat, karena hard skills is easy to be trained. Faktanya, bagi iduka hard skills akan lebih mudah untuk dikembangkan pada SDM yang soft skills dan karakternya sudah siap dan baik. Alasannya sangat realistis, karena perubahan dan perkembangan teknologi di dunia kerja akan terus terjadi, untuk mengikuti perkembangan teknologi, SDM dengan soft skill dan karakter yang baik akan terus ingin belajar hal-hal yang baru secara mandiri dengan gairah belajar yang kuat. Temuan-temuan itulah yang menjadi indikator kualitas link and match yang selama ini harusnya segera dilakukan perubahan di sekolah. Akan tetapi, yang jamak dilakukan oleh sekolah hanyalah seremonial MOU dengan iduka dan hanya digunakan sebagai administrasi penilaian sekolah.

Berdasarkan temuan berharga di atas, pemimpin subur tentu saja akan melakukan evaluasi diri sekolah berbasis link and match yang diyakini sangat membantu mencetak lulusan SMK bukan sebagai penyumbang pengangguran baru di Indonesia. Evaluasi terkait kurikulum sekolah yang harus dikawinkan secara berkala dengan iduka, pelatihan guru-guru produktif secara masif oleh iduka, mengundang iduka sebagai guru tamu di sekolah, pemagangan guru dan siswa di iduka, dan berbagai inovasi lainnya. Kreativitas dan inovasi dari seorang leadership yang kuat sangat dibutuhkan pada proses perkawinan yang sempurna antara SMK dengan iduka. Setidaknya, ada dua teori belajar sekolah berbasis iduka yaitu situated learning dan work-based learning (belajar berbasis tempat kerja).

Situated learning merupakan teori belajar yang mempelajari akuisisi pengetahuan dan keterampilan yang digunakan di iduka (Brown, 1998). Stein (1998) mengidentifikasi empat prinsip terkait dengan situated learning, yaitu: (1) belajar adalah berakar pada kegiatan sehari-hari (everyday cognition); (2) pengetahuan diperoleh secara situasional dan transfer berlangsung hanya pada situasi serupa (context); (3) dan belajar merupakan hasil dari proses sosial yang mencakup cara-cara berpikir, memandang sesuatu, pemecahan masalah, dan berinteraksi di samping pengetahuan deklaratif dan prosedural; (4) belajar merupakan hal yang tidak terpisah dari dunia tindakan tetapi eksis di dalam lingkungan sosial yang sehat dan komplek yang meningkatkan aktor, aksi, dan situasi. Dari keempat prinsip ini, prinsip kedua adalah lingkungan yang serupa dengan iduka yang sebenarnya diperlukan oleh sekolah dalam memberikan pengalaman nyata dan bermakna bagi siswa.

Work-based learning (WBL) adalah bentuk pembelajaran kontekstual di mana proses pembelajaran dipusatkan pada tempat kerja dan meliputi program yang terencana dari pelatihan formal dan mentoring, dan pencarian pengalaman kerja yang mendapatkan gaji. Raelin (2008) menyatakan bahwa WBL secara ekspresif menggabungkan antara teori dengan praktik, pengetahuan dengan kecakapan kerja. Sistem WBL inilah yang akhirnya sekarang dikenal dengan nama praktik kerja lapangan (PKL).

Sayangnya, aturan pelaksanaan PKL ini hanya berlangsung enam bulan dan dilaksanakan secara baik (baca: taat aturan) oleh lembaga pendidikan SMK. Penulis memberikan tantangan kepada pemimpin subur agar mempunyai nyali untuk melakukan kebijakan PKL minimal 1,5 tahun bahkan 2 tahun bagi peserta didiknya. Sejatinya, pemimpin subur harus mampu melakukan cara-cara gila untuk melakukan perubahan, dan bukan pemimpin gersang yang hanya mampu menjadi implementator kebijakan dengan mengebiri kreativitas dan inovasi.

 

*) Penulis adalah Guru SMK Negeri 1 Grujugan Bondowoso.

- Advertisement -

STIGMA lulusan SMK sebagai penyumbang pengangguran terbesar di Indonesia berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tentu saja menjadi ancaman serius bagi satuan pendidikan SMK. Data BPS tahun 2020 menunjukkan bahwa tingkat pengangguran terbuka didominasi oleh lulusan SMK sebesar 8,49 persen. Dan ironisnya, meningkat tajam pada tahun 2021 pada angka 11,45 persen. Meski badai pandemi Covid-19 dapat menjadi alasan kenaikan jumlah pengangguran, namun yang tidak dapat disangkal adalah pola yang sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Di mana, dari data pengangguran terbuka tersebut, SMK adalah penyumbang terbesarnya. Langkah terstruktur, sistemik, dan sinergis harus segera dilakukan oleh Kemdikbud untuk menyiapkan langkah afirmatif yang lebih matang dalam upaya menyelesaikan persoalan mendasar di jenjang SMK ini.

Mas Menteri sebagai motor penggerak Kemdikbud tidak salah kiranya membuka seluas-luasnya ruang diskusi untuk mendengar input sebanyak-banyaknya dari para pelaku pendidikan SMK dari Sabang sampai Merauke. Langkah tersebut menjadi penting, mengingat program apa pun yang akan dilahirkan oleh Kemdikbudristekdikti, selagi persoalan fundamental pada pendidikan SMK belum terurai dengan baik, maka upaya menemukan formula yang mujarab bagi satuan pendidikan SMK sama dengan menjaring angin. Tata kelola pendidikan (terlebih pendidikan vokasi) memang membutuhkan strategi yang sakti mandraguna mengingat jumlah lulusannya dengan keterserapannya pada industri dan dunia kerja (iduka) sangat mudah cara menghitung dan memberikan penilaiannya.

Melihat benang kusut pendidikan SMK di atas, penulis tertarik melihat uraian Dirjen Pendidikan Vokasi Wikan Sakarianto yang dengan cerdas mengurai bagaimana model pemimpin subur dibandingkan dengan pemimpin gersang. Problematika pendidikan vokasi di Indonesia tidak bisa hanya dengan menunggu lahirnya kebijakan pemerintah, namun juga bisa dilakukan inisiasi dari tingkat bawah melalui satuan pendidikan. Pemimpin subur mengartikan bring industry to school harus diawali dengan membawa dan menciptakan karakter dan mindset profesional industri ke dalam SDM dan kurikulum di sekolah serta merombak dan merenovasi dan meng-improve metode pembelajaran di sekolah. Dari sini terlihat dengan jelas bahwa pemimpin subur itu harus berkaraker, visioner dengan perubahan mindset yang revolusioner, mempunyai networking yang luas, dan mempunyai jiwa leadership yang kuat.

Pemimpin gersang selalu berpikir bring industry to school diartikan dengan memanfaatkan bantuan/dana sekolah untuk membangun infrastruktur sekolah, membeli peralatan pembelajaran yang sama persis yang ada di industri. Dalam arti sempit, karena kedangkalan berpikirnya, pemimpin gersang memaknai bring industry to school dengan copy paste, kondisi fisik industri harus ada di sekolah. Pemimpin gersang seakan lupa bahwa laju industri itu super cepat perubahan dan perkembangannya. Bukan hanya dari sisi peralatan yang begitu canggih, namun juga dibarengi dengan sumber daya yang terus dituntut untuk mengikuti perubahan.

Ironisnya, pemimpin gersang akan cenderung tidak mau atau tidak mampu menerjemahkan keinginan iduka ke dalam kurikulum di sekolahnya, dipastikan masuk ke dalam metode pembelajaran guru, dan dipastikan bisa diterima oleh para peserta didik. Serta dilakukan evaluasi ketercapaian dengan uji kompetensi secara berkelanjutan.

Perubahan mindset menjadi prioritas bagi kepemimpinan lembaga pendidikan SMK dalam melakukan perubahan. Pola pikir pemimpin satuan pendidikan SMK yang menitikberatkan aspek fisik peralatan dan bangunan untuk bisa melaksanakan pendidikan vokasi yang ideal harus diyakini sebagai mindset konvensional. Sebaliknya, kepala SMK harus berani melakukan perubahan-perubahan menuju ke arah pola pikir pengembangan yang kolaboratif dan kreatif. Kolaborasi dan kreativitas adalah kunci menggenggam masa depan, termasuk masa depan dunia SMK, terlebih sebagai pendidikan yang dituntut dari awal untuk link and match (kolaboratif) dengan iduka.

Kolaborasi yang dilakukan secara terus-menerus kepada iduka tentu saja akan menghasilkan rekomendasi-rekomendasi produktif yang akan diterjemahkan dengan baik pada proses pembelajaran di sekolah. Salah satu rekomendasi yang mungkin akan mencengangkan bagi SMK, ternyata iduka lebih membutuhkan lulusan SMK dengan soft skill dan karakter yang kuat, karena hard skills is easy to be trained. Faktanya, bagi iduka hard skills akan lebih mudah untuk dikembangkan pada SDM yang soft skills dan karakternya sudah siap dan baik. Alasannya sangat realistis, karena perubahan dan perkembangan teknologi di dunia kerja akan terus terjadi, untuk mengikuti perkembangan teknologi, SDM dengan soft skill dan karakter yang baik akan terus ingin belajar hal-hal yang baru secara mandiri dengan gairah belajar yang kuat. Temuan-temuan itulah yang menjadi indikator kualitas link and match yang selama ini harusnya segera dilakukan perubahan di sekolah. Akan tetapi, yang jamak dilakukan oleh sekolah hanyalah seremonial MOU dengan iduka dan hanya digunakan sebagai administrasi penilaian sekolah.

Berdasarkan temuan berharga di atas, pemimpin subur tentu saja akan melakukan evaluasi diri sekolah berbasis link and match yang diyakini sangat membantu mencetak lulusan SMK bukan sebagai penyumbang pengangguran baru di Indonesia. Evaluasi terkait kurikulum sekolah yang harus dikawinkan secara berkala dengan iduka, pelatihan guru-guru produktif secara masif oleh iduka, mengundang iduka sebagai guru tamu di sekolah, pemagangan guru dan siswa di iduka, dan berbagai inovasi lainnya. Kreativitas dan inovasi dari seorang leadership yang kuat sangat dibutuhkan pada proses perkawinan yang sempurna antara SMK dengan iduka. Setidaknya, ada dua teori belajar sekolah berbasis iduka yaitu situated learning dan work-based learning (belajar berbasis tempat kerja).

Situated learning merupakan teori belajar yang mempelajari akuisisi pengetahuan dan keterampilan yang digunakan di iduka (Brown, 1998). Stein (1998) mengidentifikasi empat prinsip terkait dengan situated learning, yaitu: (1) belajar adalah berakar pada kegiatan sehari-hari (everyday cognition); (2) pengetahuan diperoleh secara situasional dan transfer berlangsung hanya pada situasi serupa (context); (3) dan belajar merupakan hasil dari proses sosial yang mencakup cara-cara berpikir, memandang sesuatu, pemecahan masalah, dan berinteraksi di samping pengetahuan deklaratif dan prosedural; (4) belajar merupakan hal yang tidak terpisah dari dunia tindakan tetapi eksis di dalam lingkungan sosial yang sehat dan komplek yang meningkatkan aktor, aksi, dan situasi. Dari keempat prinsip ini, prinsip kedua adalah lingkungan yang serupa dengan iduka yang sebenarnya diperlukan oleh sekolah dalam memberikan pengalaman nyata dan bermakna bagi siswa.

Work-based learning (WBL) adalah bentuk pembelajaran kontekstual di mana proses pembelajaran dipusatkan pada tempat kerja dan meliputi program yang terencana dari pelatihan formal dan mentoring, dan pencarian pengalaman kerja yang mendapatkan gaji. Raelin (2008) menyatakan bahwa WBL secara ekspresif menggabungkan antara teori dengan praktik, pengetahuan dengan kecakapan kerja. Sistem WBL inilah yang akhirnya sekarang dikenal dengan nama praktik kerja lapangan (PKL).

Sayangnya, aturan pelaksanaan PKL ini hanya berlangsung enam bulan dan dilaksanakan secara baik (baca: taat aturan) oleh lembaga pendidikan SMK. Penulis memberikan tantangan kepada pemimpin subur agar mempunyai nyali untuk melakukan kebijakan PKL minimal 1,5 tahun bahkan 2 tahun bagi peserta didiknya. Sejatinya, pemimpin subur harus mampu melakukan cara-cara gila untuk melakukan perubahan, dan bukan pemimpin gersang yang hanya mampu menjadi implementator kebijakan dengan mengebiri kreativitas dan inovasi.

 

*) Penulis adalah Guru SMK Negeri 1 Grujugan Bondowoso.

STIGMA lulusan SMK sebagai penyumbang pengangguran terbesar di Indonesia berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tentu saja menjadi ancaman serius bagi satuan pendidikan SMK. Data BPS tahun 2020 menunjukkan bahwa tingkat pengangguran terbuka didominasi oleh lulusan SMK sebesar 8,49 persen. Dan ironisnya, meningkat tajam pada tahun 2021 pada angka 11,45 persen. Meski badai pandemi Covid-19 dapat menjadi alasan kenaikan jumlah pengangguran, namun yang tidak dapat disangkal adalah pola yang sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Di mana, dari data pengangguran terbuka tersebut, SMK adalah penyumbang terbesarnya. Langkah terstruktur, sistemik, dan sinergis harus segera dilakukan oleh Kemdikbud untuk menyiapkan langkah afirmatif yang lebih matang dalam upaya menyelesaikan persoalan mendasar di jenjang SMK ini.

Mas Menteri sebagai motor penggerak Kemdikbud tidak salah kiranya membuka seluas-luasnya ruang diskusi untuk mendengar input sebanyak-banyaknya dari para pelaku pendidikan SMK dari Sabang sampai Merauke. Langkah tersebut menjadi penting, mengingat program apa pun yang akan dilahirkan oleh Kemdikbudristekdikti, selagi persoalan fundamental pada pendidikan SMK belum terurai dengan baik, maka upaya menemukan formula yang mujarab bagi satuan pendidikan SMK sama dengan menjaring angin. Tata kelola pendidikan (terlebih pendidikan vokasi) memang membutuhkan strategi yang sakti mandraguna mengingat jumlah lulusannya dengan keterserapannya pada industri dan dunia kerja (iduka) sangat mudah cara menghitung dan memberikan penilaiannya.

Melihat benang kusut pendidikan SMK di atas, penulis tertarik melihat uraian Dirjen Pendidikan Vokasi Wikan Sakarianto yang dengan cerdas mengurai bagaimana model pemimpin subur dibandingkan dengan pemimpin gersang. Problematika pendidikan vokasi di Indonesia tidak bisa hanya dengan menunggu lahirnya kebijakan pemerintah, namun juga bisa dilakukan inisiasi dari tingkat bawah melalui satuan pendidikan. Pemimpin subur mengartikan bring industry to school harus diawali dengan membawa dan menciptakan karakter dan mindset profesional industri ke dalam SDM dan kurikulum di sekolah serta merombak dan merenovasi dan meng-improve metode pembelajaran di sekolah. Dari sini terlihat dengan jelas bahwa pemimpin subur itu harus berkaraker, visioner dengan perubahan mindset yang revolusioner, mempunyai networking yang luas, dan mempunyai jiwa leadership yang kuat.

Pemimpin gersang selalu berpikir bring industry to school diartikan dengan memanfaatkan bantuan/dana sekolah untuk membangun infrastruktur sekolah, membeli peralatan pembelajaran yang sama persis yang ada di industri. Dalam arti sempit, karena kedangkalan berpikirnya, pemimpin gersang memaknai bring industry to school dengan copy paste, kondisi fisik industri harus ada di sekolah. Pemimpin gersang seakan lupa bahwa laju industri itu super cepat perubahan dan perkembangannya. Bukan hanya dari sisi peralatan yang begitu canggih, namun juga dibarengi dengan sumber daya yang terus dituntut untuk mengikuti perubahan.

Ironisnya, pemimpin gersang akan cenderung tidak mau atau tidak mampu menerjemahkan keinginan iduka ke dalam kurikulum di sekolahnya, dipastikan masuk ke dalam metode pembelajaran guru, dan dipastikan bisa diterima oleh para peserta didik. Serta dilakukan evaluasi ketercapaian dengan uji kompetensi secara berkelanjutan.

Perubahan mindset menjadi prioritas bagi kepemimpinan lembaga pendidikan SMK dalam melakukan perubahan. Pola pikir pemimpin satuan pendidikan SMK yang menitikberatkan aspek fisik peralatan dan bangunan untuk bisa melaksanakan pendidikan vokasi yang ideal harus diyakini sebagai mindset konvensional. Sebaliknya, kepala SMK harus berani melakukan perubahan-perubahan menuju ke arah pola pikir pengembangan yang kolaboratif dan kreatif. Kolaborasi dan kreativitas adalah kunci menggenggam masa depan, termasuk masa depan dunia SMK, terlebih sebagai pendidikan yang dituntut dari awal untuk link and match (kolaboratif) dengan iduka.

Kolaborasi yang dilakukan secara terus-menerus kepada iduka tentu saja akan menghasilkan rekomendasi-rekomendasi produktif yang akan diterjemahkan dengan baik pada proses pembelajaran di sekolah. Salah satu rekomendasi yang mungkin akan mencengangkan bagi SMK, ternyata iduka lebih membutuhkan lulusan SMK dengan soft skill dan karakter yang kuat, karena hard skills is easy to be trained. Faktanya, bagi iduka hard skills akan lebih mudah untuk dikembangkan pada SDM yang soft skills dan karakternya sudah siap dan baik. Alasannya sangat realistis, karena perubahan dan perkembangan teknologi di dunia kerja akan terus terjadi, untuk mengikuti perkembangan teknologi, SDM dengan soft skill dan karakter yang baik akan terus ingin belajar hal-hal yang baru secara mandiri dengan gairah belajar yang kuat. Temuan-temuan itulah yang menjadi indikator kualitas link and match yang selama ini harusnya segera dilakukan perubahan di sekolah. Akan tetapi, yang jamak dilakukan oleh sekolah hanyalah seremonial MOU dengan iduka dan hanya digunakan sebagai administrasi penilaian sekolah.

Berdasarkan temuan berharga di atas, pemimpin subur tentu saja akan melakukan evaluasi diri sekolah berbasis link and match yang diyakini sangat membantu mencetak lulusan SMK bukan sebagai penyumbang pengangguran baru di Indonesia. Evaluasi terkait kurikulum sekolah yang harus dikawinkan secara berkala dengan iduka, pelatihan guru-guru produktif secara masif oleh iduka, mengundang iduka sebagai guru tamu di sekolah, pemagangan guru dan siswa di iduka, dan berbagai inovasi lainnya. Kreativitas dan inovasi dari seorang leadership yang kuat sangat dibutuhkan pada proses perkawinan yang sempurna antara SMK dengan iduka. Setidaknya, ada dua teori belajar sekolah berbasis iduka yaitu situated learning dan work-based learning (belajar berbasis tempat kerja).

Situated learning merupakan teori belajar yang mempelajari akuisisi pengetahuan dan keterampilan yang digunakan di iduka (Brown, 1998). Stein (1998) mengidentifikasi empat prinsip terkait dengan situated learning, yaitu: (1) belajar adalah berakar pada kegiatan sehari-hari (everyday cognition); (2) pengetahuan diperoleh secara situasional dan transfer berlangsung hanya pada situasi serupa (context); (3) dan belajar merupakan hasil dari proses sosial yang mencakup cara-cara berpikir, memandang sesuatu, pemecahan masalah, dan berinteraksi di samping pengetahuan deklaratif dan prosedural; (4) belajar merupakan hal yang tidak terpisah dari dunia tindakan tetapi eksis di dalam lingkungan sosial yang sehat dan komplek yang meningkatkan aktor, aksi, dan situasi. Dari keempat prinsip ini, prinsip kedua adalah lingkungan yang serupa dengan iduka yang sebenarnya diperlukan oleh sekolah dalam memberikan pengalaman nyata dan bermakna bagi siswa.

Work-based learning (WBL) adalah bentuk pembelajaran kontekstual di mana proses pembelajaran dipusatkan pada tempat kerja dan meliputi program yang terencana dari pelatihan formal dan mentoring, dan pencarian pengalaman kerja yang mendapatkan gaji. Raelin (2008) menyatakan bahwa WBL secara ekspresif menggabungkan antara teori dengan praktik, pengetahuan dengan kecakapan kerja. Sistem WBL inilah yang akhirnya sekarang dikenal dengan nama praktik kerja lapangan (PKL).

Sayangnya, aturan pelaksanaan PKL ini hanya berlangsung enam bulan dan dilaksanakan secara baik (baca: taat aturan) oleh lembaga pendidikan SMK. Penulis memberikan tantangan kepada pemimpin subur agar mempunyai nyali untuk melakukan kebijakan PKL minimal 1,5 tahun bahkan 2 tahun bagi peserta didiknya. Sejatinya, pemimpin subur harus mampu melakukan cara-cara gila untuk melakukan perubahan, dan bukan pemimpin gersang yang hanya mampu menjadi implementator kebijakan dengan mengebiri kreativitas dan inovasi.

 

*) Penulis adalah Guru SMK Negeri 1 Grujugan Bondowoso.

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca