23 C
Jember
Thursday, 30 March 2023

Jalan Terjal Membenahi Dewan Kesenian Kabupaten Jember

Mobile_AP_Rectangle 1

Setelah Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) terbentuk pada bulan Juni 1968 tak serta-merta pemerintah-pemerintah daerah di Indonesia membentuk Dewan Kesenian di daerahnya. Kecuali Makassar yang membentuk Dewan Kesenian Makassar beberapa bulan setelah DKJ terbentuk. Sebagian besar pemerintah daerah lain baru membentuk Dewan Kesenian setelah DKJ menyelenggarakan pertemuan Dewan Kesenian di Ujung Pandang pada tahun 1992. Pertemuan Ujung Pandang, yang disebut Rahman Arge “paling unik dan menjanjikan ‘hasrat politik’ pemerintah” (Horison; Nopember 1993), memicu terbitnya Instruksi Mendagri Nomor 5A Tahun 1993 yang memerintahkan para kepala daerah membangun gedung kesenian dan membentuk dewan kesenian di daerah. Sebelum terbitnya Instruksi Mendagri tersebut dewan kesenian yang terbentuk lebih didasarkan pada prakarsa para kepala daerah. Seperti Makassar yang membentuk Dewan Kesenian karena prakarsa Walikota Makassar M. Daeng Patompo, yang mempunyai Program Lima Dimensi yang salah satunya adalah Kota dengan Dimensi Kebudayaan.

Di Jember, Dewan Kesenian Kabupaten Jember (DKKJ) dibentuk pertama kali oleh Bupati Jember Winarno pada tahun 1998. sebulan setelah terbentuknya Dewan Kesenian Jawa Timur dan dalam program pencanangan Tahun Seni Budaya. Bupati Jember berikutnya, Samsul Hadi, menerbitkan Surat Keputusan Nomor 54 Tahun 2001 tentang DKKJ yang kemudian dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh bupati penggantinya, M.Z. A. Djalal, melalui Peraturan Bupati Jember Nomor 60 Tahun 2006 tentang Dewan Kesenian Kabupaten Jember. Sepuluh tahun kemudian, Bupati dr Hj Faida MMR menerbitkan Keputusan Bupati untuk mengganti kepengurusan DKKJ pada masa Bupati MZA Djalal.

 

Mobile_AP_Rectangle 2

Problem Dewan Kesenian Kabupaten Jember

Sejak Bupati Winarno sampai Bupati Faida, DKKJ tidak mengalami perubahan mendasar dalam tata kelembagaan dan posisi kelembagaan, tata organisasi, dan orientasinya. Dalam kurun empat kekuasaan bupati yang berbeda, DKKJ hanya mengalami perubahan kepengurusan. Padahal keberadaan DKKJ selama kurun tersebut tidak dapat dikatakan telah dapat menjalankan fungsinya sebagai lembaga kesenian secara strategis. Berdasarkan permasalahan tersebut, Bupati Jember saat ini, Ir H hendy Siswanto, berupaya merevitalisasi keberadaan DKKJ. Melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud), Pemerintah Jember telah membentuk Tim Caretaker yang bertugas menjadi pengurus sementara DKKJ karena kekosongan kepengurusan DKKJ–masa bakti pengurus DKKJ periode sebelumnya telah selesai pada Agustus tahun 2021. Selain mengemban tugas sebagai pengurus sementara, Tim Caretaker juga bertugas memberikan masukan untuk pembenahan DKKJ, mengusulkan anggota DKKJ definitif, serta membantu Dinas Pariwisata dan Kebudayaan mempersiapkan rencana pengelolaan Gedung Kesenian Jember.

Selama hampir dua puluh lima tahun keberadaan DKKJ lebih dibicarakan sebagai problem politik daripada problem kesenian dan lembaga kesenian. Pertarungan antarkelompok untuk memperebutkan akses lebih luas atas sumber daya kesenian dan kebudayaan yang seringkali diperparah dengan dampak panjang proses politik pemilihan bupati membuat DKKJ kehilangan peran dan fungsi strategisnya dalam pengelolaan seni dan budaya di Jember. Problem politik ini tidak hanya memecah para seniman dan budayawan dalam afiliasi kelompok-kelompok “politik”. Bahkan sangat memengaruhi DKKJ dalam memandang dirinya dan menghadirkan dirinya dalam hubungannya dengan pemerintah, masyarakat, dan seni/seniman.

Selain problem politik, DKKJ juga mengalami problem kelembagaan. DKKJ yang secara kelembagaan tidak terdefinisikan dengan baik mengimplikasikan persoalan eksternal dan internal dalam DKKJ. Persoalan eksternal DKKJ mencakup posisi DKKJ dan hubungan-hubungannya dengan lembaga-lembaga di lingkungan pemerintahan, skema dukungan pendanaan oleh pemerintah, dan penyediaan sarana dan prasarana oleh pemerintah. Pada sisi lain, persoalan internal membuat DKKJ tak dapat menjalankan, atau bahkan merumuskan, prinsip pengorganisasian sebagai suatu sistem yang padu, yang ditopang oleh berfungsinya dan saling berhubungannya organ-organ internal DKKJ. Hal ini secara gamblang dapat ditengarai pada orientasi kerja DKKJ yang tampak lebih mengkhususkan diri pada satu jenis kesenian (dalam hal ini tradisi–menyatakan hal ini bukan berarti seni tradisi sama sekali tak perlu dikelola). Orientasi yang boleh dikatakan timpang ini mencerminkan lumpuhnya sejumlah organ internal DKKJ atau tidak adanya desain perencanaan yang baik, atau bahkan kedua-duanya.

Problem politik dan problem kelembagaan pada gilirannya memengaruhi keberadaan DKKJ di dalam masyarakat. Selama hampir dua puluh lima tahun keberadaan DKKJ hampir tidak dikenali, bahkan mungkin tidak diketahui, oleh mayoritas masyarakat. Sebagai lembaga yang merepresentasikan seni, hubungan DKJ dengan masyarakat atau publik, bagaimana pun, berlandas pada fungsi sosial seni sebagai hiburan dan pendidikan. Dua fungsi sosial seni sebagai yang sensible dan yang intelektual tersebut merupakan suatu totalitas fungsi yang tidak dapat diacu secara terpisah. Seni tidak hanya merefleksikan masyarakatnya. Seni mendefinisikan, mendeskripsikan, dan mengorganisasikan secara artistik kebutuhan-kebutuhan fundamental masyarakat yang berupa hubungan-hubungan sosial yang dikarakterisasi oleh budaya, politik, dan ekonomi. Dalam konteks ini, masyarakat tidak diacu sebagai subjek yang mengonsumsi seni sebagai produk komoditi. Masyarakat diacu sebagai subjek hidup yang menafsirkan dan memaknai dalam kerangka pikir dan rasa yang dibentuk oleh masa lalu, masa kini, dan masa datang. Oleh karenanya, pewarisan, pemeliharaan, dan perubahan struktur perasaan sosial dan pola pikir kolektif yang hidup di dalam masyarakat tidak boleh dibatasi dengan suatu sikap jumud DKKJ yang hanya berorientasi pada jenis seni tertentu yang dianggap sebagai suatu representasi masyarakat yang paling sahih. Pada konteks ini keberadaan DKKJ bertumpu pada kemampuan DKKJ untuk mengelola keberagaman seni yang hidup di dalam masyarakat.

Sebagai lembaga yang merepresentasikan kesenimanan, hubungan antara DKJ dengan Pemerintah dan hubungan antara DKJ dengan masyarakat, bagaimana pun, bertolak dari status seniman yang ditentukan oleh sikap pemerintah kepada seniman dan keterlibatan seniman di dalam masyarakatnya. Bagaimana pemerintah bersikap kepada seniman merupakan suatu kondisi yang “dipaksakan” oleh pihak luar kepada seniman. Sedangkan bagaimana seorang seniman terlibat di dalam masyarakatnya merupakan pilihan individu seniman. Kedua faktor determinan tersebut bekerja simultan dan tak terpisahkan di dalam diri seniman. Bagi seniman, keberadaan hubungan ganda yang menentukan status seniman tersebut, diacu sebagai suatu dasar integritas kesenimanannya kepada bakat, keterampilan, dan wawasan pemikirannya untuk memberikan produk artistik kepada masyarakat dan negara guna memperkaya sensibilitas dan meningkatkan kesadaran intelektual. DKKJ yang merepresentasikan kesenimanan tak dapat mengelak untuk bekerja dengan memegang teguh integritas kesenimanan dan bertekad mewujudkan kehidupan seni yang bebas dan bermartabat yang muaranya adalah kesejahteraan seniman.

Tidak ada waktu yang tepat, kecuali saat ini, DKKJ mesti dipikirkan dan ditempatkan secara pantas dan tepat sebagai suatu lembaga seni independen yang keberadaannya ditentukan oleh hubungannya dengan pemerintah, masyarakat, dan seniman. DKKJ perlu menyingkir dari praktik politik partisan yang sempit dan menghadirkan dirinya sebagai lembaga seni yang memiliki integritas kesenimanan. Tidak ada cara mudah untuk mencapai cita-cita idiil tersebut, kecuali dengan bekerja keras dan berpikir keras. Saat ini, dengan dukungan kebijakan politik kebudayaan pemerintahan Bupati Ir Hendy Siswanto yang beriktikad untuk menyelenggarakan kehidupan seni yang lebih baik, DKKJ dapat diharapkan untuk segera menjadi lembaga kesenian yang strategis dan berfungsi secara optimal.

- Advertisement -

Setelah Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) terbentuk pada bulan Juni 1968 tak serta-merta pemerintah-pemerintah daerah di Indonesia membentuk Dewan Kesenian di daerahnya. Kecuali Makassar yang membentuk Dewan Kesenian Makassar beberapa bulan setelah DKJ terbentuk. Sebagian besar pemerintah daerah lain baru membentuk Dewan Kesenian setelah DKJ menyelenggarakan pertemuan Dewan Kesenian di Ujung Pandang pada tahun 1992. Pertemuan Ujung Pandang, yang disebut Rahman Arge “paling unik dan menjanjikan ‘hasrat politik’ pemerintah” (Horison; Nopember 1993), memicu terbitnya Instruksi Mendagri Nomor 5A Tahun 1993 yang memerintahkan para kepala daerah membangun gedung kesenian dan membentuk dewan kesenian di daerah. Sebelum terbitnya Instruksi Mendagri tersebut dewan kesenian yang terbentuk lebih didasarkan pada prakarsa para kepala daerah. Seperti Makassar yang membentuk Dewan Kesenian karena prakarsa Walikota Makassar M. Daeng Patompo, yang mempunyai Program Lima Dimensi yang salah satunya adalah Kota dengan Dimensi Kebudayaan.

Di Jember, Dewan Kesenian Kabupaten Jember (DKKJ) dibentuk pertama kali oleh Bupati Jember Winarno pada tahun 1998. sebulan setelah terbentuknya Dewan Kesenian Jawa Timur dan dalam program pencanangan Tahun Seni Budaya. Bupati Jember berikutnya, Samsul Hadi, menerbitkan Surat Keputusan Nomor 54 Tahun 2001 tentang DKKJ yang kemudian dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh bupati penggantinya, M.Z. A. Djalal, melalui Peraturan Bupati Jember Nomor 60 Tahun 2006 tentang Dewan Kesenian Kabupaten Jember. Sepuluh tahun kemudian, Bupati dr Hj Faida MMR menerbitkan Keputusan Bupati untuk mengganti kepengurusan DKKJ pada masa Bupati MZA Djalal.

 

Problem Dewan Kesenian Kabupaten Jember

Sejak Bupati Winarno sampai Bupati Faida, DKKJ tidak mengalami perubahan mendasar dalam tata kelembagaan dan posisi kelembagaan, tata organisasi, dan orientasinya. Dalam kurun empat kekuasaan bupati yang berbeda, DKKJ hanya mengalami perubahan kepengurusan. Padahal keberadaan DKKJ selama kurun tersebut tidak dapat dikatakan telah dapat menjalankan fungsinya sebagai lembaga kesenian secara strategis. Berdasarkan permasalahan tersebut, Bupati Jember saat ini, Ir H hendy Siswanto, berupaya merevitalisasi keberadaan DKKJ. Melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud), Pemerintah Jember telah membentuk Tim Caretaker yang bertugas menjadi pengurus sementara DKKJ karena kekosongan kepengurusan DKKJ–masa bakti pengurus DKKJ periode sebelumnya telah selesai pada Agustus tahun 2021. Selain mengemban tugas sebagai pengurus sementara, Tim Caretaker juga bertugas memberikan masukan untuk pembenahan DKKJ, mengusulkan anggota DKKJ definitif, serta membantu Dinas Pariwisata dan Kebudayaan mempersiapkan rencana pengelolaan Gedung Kesenian Jember.

Selama hampir dua puluh lima tahun keberadaan DKKJ lebih dibicarakan sebagai problem politik daripada problem kesenian dan lembaga kesenian. Pertarungan antarkelompok untuk memperebutkan akses lebih luas atas sumber daya kesenian dan kebudayaan yang seringkali diperparah dengan dampak panjang proses politik pemilihan bupati membuat DKKJ kehilangan peran dan fungsi strategisnya dalam pengelolaan seni dan budaya di Jember. Problem politik ini tidak hanya memecah para seniman dan budayawan dalam afiliasi kelompok-kelompok “politik”. Bahkan sangat memengaruhi DKKJ dalam memandang dirinya dan menghadirkan dirinya dalam hubungannya dengan pemerintah, masyarakat, dan seni/seniman.

Selain problem politik, DKKJ juga mengalami problem kelembagaan. DKKJ yang secara kelembagaan tidak terdefinisikan dengan baik mengimplikasikan persoalan eksternal dan internal dalam DKKJ. Persoalan eksternal DKKJ mencakup posisi DKKJ dan hubungan-hubungannya dengan lembaga-lembaga di lingkungan pemerintahan, skema dukungan pendanaan oleh pemerintah, dan penyediaan sarana dan prasarana oleh pemerintah. Pada sisi lain, persoalan internal membuat DKKJ tak dapat menjalankan, atau bahkan merumuskan, prinsip pengorganisasian sebagai suatu sistem yang padu, yang ditopang oleh berfungsinya dan saling berhubungannya organ-organ internal DKKJ. Hal ini secara gamblang dapat ditengarai pada orientasi kerja DKKJ yang tampak lebih mengkhususkan diri pada satu jenis kesenian (dalam hal ini tradisi–menyatakan hal ini bukan berarti seni tradisi sama sekali tak perlu dikelola). Orientasi yang boleh dikatakan timpang ini mencerminkan lumpuhnya sejumlah organ internal DKKJ atau tidak adanya desain perencanaan yang baik, atau bahkan kedua-duanya.

Problem politik dan problem kelembagaan pada gilirannya memengaruhi keberadaan DKKJ di dalam masyarakat. Selama hampir dua puluh lima tahun keberadaan DKKJ hampir tidak dikenali, bahkan mungkin tidak diketahui, oleh mayoritas masyarakat. Sebagai lembaga yang merepresentasikan seni, hubungan DKJ dengan masyarakat atau publik, bagaimana pun, berlandas pada fungsi sosial seni sebagai hiburan dan pendidikan. Dua fungsi sosial seni sebagai yang sensible dan yang intelektual tersebut merupakan suatu totalitas fungsi yang tidak dapat diacu secara terpisah. Seni tidak hanya merefleksikan masyarakatnya. Seni mendefinisikan, mendeskripsikan, dan mengorganisasikan secara artistik kebutuhan-kebutuhan fundamental masyarakat yang berupa hubungan-hubungan sosial yang dikarakterisasi oleh budaya, politik, dan ekonomi. Dalam konteks ini, masyarakat tidak diacu sebagai subjek yang mengonsumsi seni sebagai produk komoditi. Masyarakat diacu sebagai subjek hidup yang menafsirkan dan memaknai dalam kerangka pikir dan rasa yang dibentuk oleh masa lalu, masa kini, dan masa datang. Oleh karenanya, pewarisan, pemeliharaan, dan perubahan struktur perasaan sosial dan pola pikir kolektif yang hidup di dalam masyarakat tidak boleh dibatasi dengan suatu sikap jumud DKKJ yang hanya berorientasi pada jenis seni tertentu yang dianggap sebagai suatu representasi masyarakat yang paling sahih. Pada konteks ini keberadaan DKKJ bertumpu pada kemampuan DKKJ untuk mengelola keberagaman seni yang hidup di dalam masyarakat.

Sebagai lembaga yang merepresentasikan kesenimanan, hubungan antara DKJ dengan Pemerintah dan hubungan antara DKJ dengan masyarakat, bagaimana pun, bertolak dari status seniman yang ditentukan oleh sikap pemerintah kepada seniman dan keterlibatan seniman di dalam masyarakatnya. Bagaimana pemerintah bersikap kepada seniman merupakan suatu kondisi yang “dipaksakan” oleh pihak luar kepada seniman. Sedangkan bagaimana seorang seniman terlibat di dalam masyarakatnya merupakan pilihan individu seniman. Kedua faktor determinan tersebut bekerja simultan dan tak terpisahkan di dalam diri seniman. Bagi seniman, keberadaan hubungan ganda yang menentukan status seniman tersebut, diacu sebagai suatu dasar integritas kesenimanannya kepada bakat, keterampilan, dan wawasan pemikirannya untuk memberikan produk artistik kepada masyarakat dan negara guna memperkaya sensibilitas dan meningkatkan kesadaran intelektual. DKKJ yang merepresentasikan kesenimanan tak dapat mengelak untuk bekerja dengan memegang teguh integritas kesenimanan dan bertekad mewujudkan kehidupan seni yang bebas dan bermartabat yang muaranya adalah kesejahteraan seniman.

Tidak ada waktu yang tepat, kecuali saat ini, DKKJ mesti dipikirkan dan ditempatkan secara pantas dan tepat sebagai suatu lembaga seni independen yang keberadaannya ditentukan oleh hubungannya dengan pemerintah, masyarakat, dan seniman. DKKJ perlu menyingkir dari praktik politik partisan yang sempit dan menghadirkan dirinya sebagai lembaga seni yang memiliki integritas kesenimanan. Tidak ada cara mudah untuk mencapai cita-cita idiil tersebut, kecuali dengan bekerja keras dan berpikir keras. Saat ini, dengan dukungan kebijakan politik kebudayaan pemerintahan Bupati Ir Hendy Siswanto yang beriktikad untuk menyelenggarakan kehidupan seni yang lebih baik, DKKJ dapat diharapkan untuk segera menjadi lembaga kesenian yang strategis dan berfungsi secara optimal.

Setelah Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) terbentuk pada bulan Juni 1968 tak serta-merta pemerintah-pemerintah daerah di Indonesia membentuk Dewan Kesenian di daerahnya. Kecuali Makassar yang membentuk Dewan Kesenian Makassar beberapa bulan setelah DKJ terbentuk. Sebagian besar pemerintah daerah lain baru membentuk Dewan Kesenian setelah DKJ menyelenggarakan pertemuan Dewan Kesenian di Ujung Pandang pada tahun 1992. Pertemuan Ujung Pandang, yang disebut Rahman Arge “paling unik dan menjanjikan ‘hasrat politik’ pemerintah” (Horison; Nopember 1993), memicu terbitnya Instruksi Mendagri Nomor 5A Tahun 1993 yang memerintahkan para kepala daerah membangun gedung kesenian dan membentuk dewan kesenian di daerah. Sebelum terbitnya Instruksi Mendagri tersebut dewan kesenian yang terbentuk lebih didasarkan pada prakarsa para kepala daerah. Seperti Makassar yang membentuk Dewan Kesenian karena prakarsa Walikota Makassar M. Daeng Patompo, yang mempunyai Program Lima Dimensi yang salah satunya adalah Kota dengan Dimensi Kebudayaan.

Di Jember, Dewan Kesenian Kabupaten Jember (DKKJ) dibentuk pertama kali oleh Bupati Jember Winarno pada tahun 1998. sebulan setelah terbentuknya Dewan Kesenian Jawa Timur dan dalam program pencanangan Tahun Seni Budaya. Bupati Jember berikutnya, Samsul Hadi, menerbitkan Surat Keputusan Nomor 54 Tahun 2001 tentang DKKJ yang kemudian dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh bupati penggantinya, M.Z. A. Djalal, melalui Peraturan Bupati Jember Nomor 60 Tahun 2006 tentang Dewan Kesenian Kabupaten Jember. Sepuluh tahun kemudian, Bupati dr Hj Faida MMR menerbitkan Keputusan Bupati untuk mengganti kepengurusan DKKJ pada masa Bupati MZA Djalal.

 

Problem Dewan Kesenian Kabupaten Jember

Sejak Bupati Winarno sampai Bupati Faida, DKKJ tidak mengalami perubahan mendasar dalam tata kelembagaan dan posisi kelembagaan, tata organisasi, dan orientasinya. Dalam kurun empat kekuasaan bupati yang berbeda, DKKJ hanya mengalami perubahan kepengurusan. Padahal keberadaan DKKJ selama kurun tersebut tidak dapat dikatakan telah dapat menjalankan fungsinya sebagai lembaga kesenian secara strategis. Berdasarkan permasalahan tersebut, Bupati Jember saat ini, Ir H hendy Siswanto, berupaya merevitalisasi keberadaan DKKJ. Melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud), Pemerintah Jember telah membentuk Tim Caretaker yang bertugas menjadi pengurus sementara DKKJ karena kekosongan kepengurusan DKKJ–masa bakti pengurus DKKJ periode sebelumnya telah selesai pada Agustus tahun 2021. Selain mengemban tugas sebagai pengurus sementara, Tim Caretaker juga bertugas memberikan masukan untuk pembenahan DKKJ, mengusulkan anggota DKKJ definitif, serta membantu Dinas Pariwisata dan Kebudayaan mempersiapkan rencana pengelolaan Gedung Kesenian Jember.

Selama hampir dua puluh lima tahun keberadaan DKKJ lebih dibicarakan sebagai problem politik daripada problem kesenian dan lembaga kesenian. Pertarungan antarkelompok untuk memperebutkan akses lebih luas atas sumber daya kesenian dan kebudayaan yang seringkali diperparah dengan dampak panjang proses politik pemilihan bupati membuat DKKJ kehilangan peran dan fungsi strategisnya dalam pengelolaan seni dan budaya di Jember. Problem politik ini tidak hanya memecah para seniman dan budayawan dalam afiliasi kelompok-kelompok “politik”. Bahkan sangat memengaruhi DKKJ dalam memandang dirinya dan menghadirkan dirinya dalam hubungannya dengan pemerintah, masyarakat, dan seni/seniman.

Selain problem politik, DKKJ juga mengalami problem kelembagaan. DKKJ yang secara kelembagaan tidak terdefinisikan dengan baik mengimplikasikan persoalan eksternal dan internal dalam DKKJ. Persoalan eksternal DKKJ mencakup posisi DKKJ dan hubungan-hubungannya dengan lembaga-lembaga di lingkungan pemerintahan, skema dukungan pendanaan oleh pemerintah, dan penyediaan sarana dan prasarana oleh pemerintah. Pada sisi lain, persoalan internal membuat DKKJ tak dapat menjalankan, atau bahkan merumuskan, prinsip pengorganisasian sebagai suatu sistem yang padu, yang ditopang oleh berfungsinya dan saling berhubungannya organ-organ internal DKKJ. Hal ini secara gamblang dapat ditengarai pada orientasi kerja DKKJ yang tampak lebih mengkhususkan diri pada satu jenis kesenian (dalam hal ini tradisi–menyatakan hal ini bukan berarti seni tradisi sama sekali tak perlu dikelola). Orientasi yang boleh dikatakan timpang ini mencerminkan lumpuhnya sejumlah organ internal DKKJ atau tidak adanya desain perencanaan yang baik, atau bahkan kedua-duanya.

Problem politik dan problem kelembagaan pada gilirannya memengaruhi keberadaan DKKJ di dalam masyarakat. Selama hampir dua puluh lima tahun keberadaan DKKJ hampir tidak dikenali, bahkan mungkin tidak diketahui, oleh mayoritas masyarakat. Sebagai lembaga yang merepresentasikan seni, hubungan DKJ dengan masyarakat atau publik, bagaimana pun, berlandas pada fungsi sosial seni sebagai hiburan dan pendidikan. Dua fungsi sosial seni sebagai yang sensible dan yang intelektual tersebut merupakan suatu totalitas fungsi yang tidak dapat diacu secara terpisah. Seni tidak hanya merefleksikan masyarakatnya. Seni mendefinisikan, mendeskripsikan, dan mengorganisasikan secara artistik kebutuhan-kebutuhan fundamental masyarakat yang berupa hubungan-hubungan sosial yang dikarakterisasi oleh budaya, politik, dan ekonomi. Dalam konteks ini, masyarakat tidak diacu sebagai subjek yang mengonsumsi seni sebagai produk komoditi. Masyarakat diacu sebagai subjek hidup yang menafsirkan dan memaknai dalam kerangka pikir dan rasa yang dibentuk oleh masa lalu, masa kini, dan masa datang. Oleh karenanya, pewarisan, pemeliharaan, dan perubahan struktur perasaan sosial dan pola pikir kolektif yang hidup di dalam masyarakat tidak boleh dibatasi dengan suatu sikap jumud DKKJ yang hanya berorientasi pada jenis seni tertentu yang dianggap sebagai suatu representasi masyarakat yang paling sahih. Pada konteks ini keberadaan DKKJ bertumpu pada kemampuan DKKJ untuk mengelola keberagaman seni yang hidup di dalam masyarakat.

Sebagai lembaga yang merepresentasikan kesenimanan, hubungan antara DKJ dengan Pemerintah dan hubungan antara DKJ dengan masyarakat, bagaimana pun, bertolak dari status seniman yang ditentukan oleh sikap pemerintah kepada seniman dan keterlibatan seniman di dalam masyarakatnya. Bagaimana pemerintah bersikap kepada seniman merupakan suatu kondisi yang “dipaksakan” oleh pihak luar kepada seniman. Sedangkan bagaimana seorang seniman terlibat di dalam masyarakatnya merupakan pilihan individu seniman. Kedua faktor determinan tersebut bekerja simultan dan tak terpisahkan di dalam diri seniman. Bagi seniman, keberadaan hubungan ganda yang menentukan status seniman tersebut, diacu sebagai suatu dasar integritas kesenimanannya kepada bakat, keterampilan, dan wawasan pemikirannya untuk memberikan produk artistik kepada masyarakat dan negara guna memperkaya sensibilitas dan meningkatkan kesadaran intelektual. DKKJ yang merepresentasikan kesenimanan tak dapat mengelak untuk bekerja dengan memegang teguh integritas kesenimanan dan bertekad mewujudkan kehidupan seni yang bebas dan bermartabat yang muaranya adalah kesejahteraan seniman.

Tidak ada waktu yang tepat, kecuali saat ini, DKKJ mesti dipikirkan dan ditempatkan secara pantas dan tepat sebagai suatu lembaga seni independen yang keberadaannya ditentukan oleh hubungannya dengan pemerintah, masyarakat, dan seniman. DKKJ perlu menyingkir dari praktik politik partisan yang sempit dan menghadirkan dirinya sebagai lembaga seni yang memiliki integritas kesenimanan. Tidak ada cara mudah untuk mencapai cita-cita idiil tersebut, kecuali dengan bekerja keras dan berpikir keras. Saat ini, dengan dukungan kebijakan politik kebudayaan pemerintahan Bupati Ir Hendy Siswanto yang beriktikad untuk menyelenggarakan kehidupan seni yang lebih baik, DKKJ dapat diharapkan untuk segera menjadi lembaga kesenian yang strategis dan berfungsi secara optimal.

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca