25.9 C
Jember
Friday, 9 June 2023

Pengamat Bilang Pupus Harapan Eliezer Tetap Jadi Polisi

Mobile_AP_Rectangle 1

Dalam kasus ini, status Richard sebagai justice collaborator (JC) atau pengungkap fakta telah disetujui oleh hakim. Ini menjadi salah satu pertimbangan hakim dalam memberikan keringanan hukuman.

Namun, dalam sidang etik, kata Bambang, pilihan Richard untuk patuh kepada atasannya dengan menjalankan perintah menembak rekannya sendiri sebagai bentuk ketidakprofesionalan. Fakta ini, kata dia, harus dikesampingkan, karena bukan dalam situasi perang atau operasi keamanan.

“Kita ingin membangun polisi profesional atau tidak? Kalau taat pada pimpinan untuk melakukan hal yang salah diampuni, artinya kita permisif pada pelanggaran dan jauh dari semangat membangun polisi profesional.”imbuh Bambang.

Mobile_AP_Rectangle 2

Bambang mengatakan sidang etik terhadap Richard Eliezer harus segera dilaksanakan setelah vonis hakim diketok (diputuskan). Putusan etik itu nantinya merujuk kepada PP Nomor 1 Tahun 2003.

Apabila Richard Eliezer tidak dijatuhkan sanksi pemberhentian dengan tidak hormat (PTDH) oleh komisi etik Polri, maka hal itu dapat menjadi preseden buruk, bahwa personel pelaku tidak pidana bisa diterima sebagai anggota Polri dengan alasan sekedar menerima perintah atasan.

Menurut Bambang, Richard Eleizer berpotensi terkena sanksi PTDH meskipun vonis  diterimanya kurang dari dua tahun. Karena, aturan tentang masa tahanan kurang atau lebih dari lima tahun hanya ada dalam peraturan kapolri (Perkap).

Sementara dalam tata perundangan, peraturan pemerintah (PP) lebih tinggi dari perkap. “Kalau perkap bertentangan dengan PP, otomatis pasal dalam perkap itu gugur dengan sendirinya.” kata Bambang menerangkan.

Meski demikian, kata Bambang, perjuangan Richard Eliezer sebagai saksi pelaku tidak sia-sia. Meskipun hukuman ringan dari majelis hakim disebut sebagai upaya menyelamatkan karir dan masa depan perwira berpangkat Bharada tersebut.

“Tak ada yang sia-sia. Perjuangan dia akan dicatat dalam sejarah sebagai tumbal atasannya. Dan itu yang harus ditempuh. Publik harus bisa membedakan empati pada Eliezer sebagai manusia dengan upaya perbaikan institusi Polri,” kata Bambang. (*)

Editor : Winardyasto HariKirono

Foto:Dery Ridwansah/JawaPos.com

Sumber berita:jawapos.com

 

- Advertisement -

Dalam kasus ini, status Richard sebagai justice collaborator (JC) atau pengungkap fakta telah disetujui oleh hakim. Ini menjadi salah satu pertimbangan hakim dalam memberikan keringanan hukuman.

Namun, dalam sidang etik, kata Bambang, pilihan Richard untuk patuh kepada atasannya dengan menjalankan perintah menembak rekannya sendiri sebagai bentuk ketidakprofesionalan. Fakta ini, kata dia, harus dikesampingkan, karena bukan dalam situasi perang atau operasi keamanan.

“Kita ingin membangun polisi profesional atau tidak? Kalau taat pada pimpinan untuk melakukan hal yang salah diampuni, artinya kita permisif pada pelanggaran dan jauh dari semangat membangun polisi profesional.”imbuh Bambang.

Bambang mengatakan sidang etik terhadap Richard Eliezer harus segera dilaksanakan setelah vonis hakim diketok (diputuskan). Putusan etik itu nantinya merujuk kepada PP Nomor 1 Tahun 2003.

Apabila Richard Eliezer tidak dijatuhkan sanksi pemberhentian dengan tidak hormat (PTDH) oleh komisi etik Polri, maka hal itu dapat menjadi preseden buruk, bahwa personel pelaku tidak pidana bisa diterima sebagai anggota Polri dengan alasan sekedar menerima perintah atasan.

Menurut Bambang, Richard Eleizer berpotensi terkena sanksi PTDH meskipun vonis  diterimanya kurang dari dua tahun. Karena, aturan tentang masa tahanan kurang atau lebih dari lima tahun hanya ada dalam peraturan kapolri (Perkap).

Sementara dalam tata perundangan, peraturan pemerintah (PP) lebih tinggi dari perkap. “Kalau perkap bertentangan dengan PP, otomatis pasal dalam perkap itu gugur dengan sendirinya.” kata Bambang menerangkan.

Meski demikian, kata Bambang, perjuangan Richard Eliezer sebagai saksi pelaku tidak sia-sia. Meskipun hukuman ringan dari majelis hakim disebut sebagai upaya menyelamatkan karir dan masa depan perwira berpangkat Bharada tersebut.

“Tak ada yang sia-sia. Perjuangan dia akan dicatat dalam sejarah sebagai tumbal atasannya. Dan itu yang harus ditempuh. Publik harus bisa membedakan empati pada Eliezer sebagai manusia dengan upaya perbaikan institusi Polri,” kata Bambang. (*)

Editor : Winardyasto HariKirono

Foto:Dery Ridwansah/JawaPos.com

Sumber berita:jawapos.com

 

Dalam kasus ini, status Richard sebagai justice collaborator (JC) atau pengungkap fakta telah disetujui oleh hakim. Ini menjadi salah satu pertimbangan hakim dalam memberikan keringanan hukuman.

Namun, dalam sidang etik, kata Bambang, pilihan Richard untuk patuh kepada atasannya dengan menjalankan perintah menembak rekannya sendiri sebagai bentuk ketidakprofesionalan. Fakta ini, kata dia, harus dikesampingkan, karena bukan dalam situasi perang atau operasi keamanan.

“Kita ingin membangun polisi profesional atau tidak? Kalau taat pada pimpinan untuk melakukan hal yang salah diampuni, artinya kita permisif pada pelanggaran dan jauh dari semangat membangun polisi profesional.”imbuh Bambang.

Bambang mengatakan sidang etik terhadap Richard Eliezer harus segera dilaksanakan setelah vonis hakim diketok (diputuskan). Putusan etik itu nantinya merujuk kepada PP Nomor 1 Tahun 2003.

Apabila Richard Eliezer tidak dijatuhkan sanksi pemberhentian dengan tidak hormat (PTDH) oleh komisi etik Polri, maka hal itu dapat menjadi preseden buruk, bahwa personel pelaku tidak pidana bisa diterima sebagai anggota Polri dengan alasan sekedar menerima perintah atasan.

Menurut Bambang, Richard Eleizer berpotensi terkena sanksi PTDH meskipun vonis  diterimanya kurang dari dua tahun. Karena, aturan tentang masa tahanan kurang atau lebih dari lima tahun hanya ada dalam peraturan kapolri (Perkap).

Sementara dalam tata perundangan, peraturan pemerintah (PP) lebih tinggi dari perkap. “Kalau perkap bertentangan dengan PP, otomatis pasal dalam perkap itu gugur dengan sendirinya.” kata Bambang menerangkan.

Meski demikian, kata Bambang, perjuangan Richard Eliezer sebagai saksi pelaku tidak sia-sia. Meskipun hukuman ringan dari majelis hakim disebut sebagai upaya menyelamatkan karir dan masa depan perwira berpangkat Bharada tersebut.

“Tak ada yang sia-sia. Perjuangan dia akan dicatat dalam sejarah sebagai tumbal atasannya. Dan itu yang harus ditempuh. Publik harus bisa membedakan empati pada Eliezer sebagai manusia dengan upaya perbaikan institusi Polri,” kata Bambang. (*)

Editor : Winardyasto HariKirono

Foto:Dery Ridwansah/JawaPos.com

Sumber berita:jawapos.com

 

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca