Mobile_AP_Rectangle 1
PACITAN, RADARJEMBER.ID- Warga di Dusuin Sono, Desa Kalikuning, Kecamatan Tulakan, Kabupaten Pacitan seolah ’’terisolasi’’ lantaran aksesnya hanya berupa jalan setapak. Jalan masuk ke kampung itu dikepung hutan sepanjang kurang lebih satu setengah kilometer dari jalan terakhir yang dapat dilalui kendaraan roda dua. Betapa jauh dan sukarnya akses menuju pusat perekonomian dan pemerintahan setempat.
Meseran, 65, dan Sani, 60, tinggal di kampung itu sejak 12 tahun terakhir. Pasangan suami istri (pasutri) ini terpaksa mengungsi ke kampung gelap gulita itu setelah rumah lamanya tergerus longsor sepuluh tahun silam. ‘’Meski jauh dari tetangga, yang penting aman. Kami pasrah dengan keadaan,’’ tutur Sani, Senin (9/5)
Untuk bertahan hidup, Sani dan suaminya hanya mengandalkan kiriman uang dari cucunya yang merantau di luar Jawa. Untuk berbelanja ke pasar harus menempuh jarak 10 kilometer. Konsumsi harian seadanya dari tanaman yang dipetik di pekarangan rumah. ‘’Kami jarang beli beras. Sehari-hari makan gaplek (singkong, Red). Makan nasi kalau diberi pemerintah saja,’’ ujarnya.
Mobile_AP_Rectangle 2
Jarak satu rumah dengan rumah lainnya terpaut jauh. Terdapat lima rumah yang berada di perbukitan ini. Paling dekat, jarak antar-rumah berkisar 300 meter. Terkadang warga di kampung ini mendapatkan pinjaman alat penerangan bertenaga surya. ‘’Itu pun tidak bisa semalam penuh. Pinjam seperlunya saja,’’ terangnya.
Meski hidup berdua di atas bukit, pasutri ini merasa cukup damai dan bahagia. Kambing yang dimiliki menjadi harapan ketika membutuhkan dana darurat untuk berobat. Menggembalanya juga menjadi penghibur dan pengisi waktu harian. ‘’Kambing dirawat dengan sebaik-baiknya. Dijual kalau pas butuh uang untuk berobat saja,’’ pungkasnya.(*)
Penulis: Winardyasto
Foto:Ilustrasi Radar Madiun
Sumber Berita :Radar Madiun
- Advertisement -
PACITAN, RADARJEMBER.ID- Warga di Dusuin Sono, Desa Kalikuning, Kecamatan Tulakan, Kabupaten Pacitan seolah ’’terisolasi’’ lantaran aksesnya hanya berupa jalan setapak. Jalan masuk ke kampung itu dikepung hutan sepanjang kurang lebih satu setengah kilometer dari jalan terakhir yang dapat dilalui kendaraan roda dua. Betapa jauh dan sukarnya akses menuju pusat perekonomian dan pemerintahan setempat.
Meseran, 65, dan Sani, 60, tinggal di kampung itu sejak 12 tahun terakhir. Pasangan suami istri (pasutri) ini terpaksa mengungsi ke kampung gelap gulita itu setelah rumah lamanya tergerus longsor sepuluh tahun silam. ‘’Meski jauh dari tetangga, yang penting aman. Kami pasrah dengan keadaan,’’ tutur Sani, Senin (9/5)
Untuk bertahan hidup, Sani dan suaminya hanya mengandalkan kiriman uang dari cucunya yang merantau di luar Jawa. Untuk berbelanja ke pasar harus menempuh jarak 10 kilometer. Konsumsi harian seadanya dari tanaman yang dipetik di pekarangan rumah. ‘’Kami jarang beli beras. Sehari-hari makan gaplek (singkong, Red). Makan nasi kalau diberi pemerintah saja,’’ ujarnya.
Jarak satu rumah dengan rumah lainnya terpaut jauh. Terdapat lima rumah yang berada di perbukitan ini. Paling dekat, jarak antar-rumah berkisar 300 meter. Terkadang warga di kampung ini mendapatkan pinjaman alat penerangan bertenaga surya. ‘’Itu pun tidak bisa semalam penuh. Pinjam seperlunya saja,’’ terangnya.
Meski hidup berdua di atas bukit, pasutri ini merasa cukup damai dan bahagia. Kambing yang dimiliki menjadi harapan ketika membutuhkan dana darurat untuk berobat. Menggembalanya juga menjadi penghibur dan pengisi waktu harian. ‘’Kambing dirawat dengan sebaik-baiknya. Dijual kalau pas butuh uang untuk berobat saja,’’ pungkasnya.(*)
Penulis: Winardyasto
Foto:Ilustrasi Radar Madiun
Sumber Berita :Radar Madiun
PACITAN, RADARJEMBER.ID- Warga di Dusuin Sono, Desa Kalikuning, Kecamatan Tulakan, Kabupaten Pacitan seolah ’’terisolasi’’ lantaran aksesnya hanya berupa jalan setapak. Jalan masuk ke kampung itu dikepung hutan sepanjang kurang lebih satu setengah kilometer dari jalan terakhir yang dapat dilalui kendaraan roda dua. Betapa jauh dan sukarnya akses menuju pusat perekonomian dan pemerintahan setempat.
Meseran, 65, dan Sani, 60, tinggal di kampung itu sejak 12 tahun terakhir. Pasangan suami istri (pasutri) ini terpaksa mengungsi ke kampung gelap gulita itu setelah rumah lamanya tergerus longsor sepuluh tahun silam. ‘’Meski jauh dari tetangga, yang penting aman. Kami pasrah dengan keadaan,’’ tutur Sani, Senin (9/5)
Untuk bertahan hidup, Sani dan suaminya hanya mengandalkan kiriman uang dari cucunya yang merantau di luar Jawa. Untuk berbelanja ke pasar harus menempuh jarak 10 kilometer. Konsumsi harian seadanya dari tanaman yang dipetik di pekarangan rumah. ‘’Kami jarang beli beras. Sehari-hari makan gaplek (singkong, Red). Makan nasi kalau diberi pemerintah saja,’’ ujarnya.
Jarak satu rumah dengan rumah lainnya terpaut jauh. Terdapat lima rumah yang berada di perbukitan ini. Paling dekat, jarak antar-rumah berkisar 300 meter. Terkadang warga di kampung ini mendapatkan pinjaman alat penerangan bertenaga surya. ‘’Itu pun tidak bisa semalam penuh. Pinjam seperlunya saja,’’ terangnya.
Meski hidup berdua di atas bukit, pasutri ini merasa cukup damai dan bahagia. Kambing yang dimiliki menjadi harapan ketika membutuhkan dana darurat untuk berobat. Menggembalanya juga menjadi penghibur dan pengisi waktu harian. ‘’Kambing dirawat dengan sebaik-baiknya. Dijual kalau pas butuh uang untuk berobat saja,’’ pungkasnya.(*)
Penulis: Winardyasto
Foto:Ilustrasi Radar Madiun
Sumber Berita :Radar Madiun