BONDOWOSO, RADARJEMBER.ID – OJHUNG diperkirakan sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Sebab, di Desa Blimbing saja, permainan tradisional tersebut sudah ditampilkan sejak 531 tahun lalu atau bersamaan dengan acara bersih desa atau selamatan desa.
Merasakan Sakit, Tanpa Emosi, Belajar Sportivitas dari Permainan Ojhung
Menurut Tantri, di Desa Blimbing, Ojhung dipercaya menceritakan pengikut Jasiman, yaitu tokoh pemimpin Desa Blimbing pada masa lampau yang berasal dari Madura. Pria tersebut selain dikenal mahir bercocok tanam, juga dikenal memiliki kemampuan bela diri. Ojhung juga dipercaya sebagai tradisi untuk meminta hujan. Menurutnya, Ojhung berasal dari kata bahasa Madura yang berarti ujung. Ujung yang dimaksud ialah ujung rotan, yang merupakan senjata khas dalam permainan ini.
Doni, salah seorang warga Desa Blimbing menjelaskan, Ojhung dipercaya melambangkan pertarungan Juk Seng, pembabat desa dan juga demang desa, dalam memperebutkan sumber mata air dengan penguasa daerah lain. “Makanya, kami sakralkan dengan tarian Ojhung,” katanya.
Tarian Ojhung diperkirakan berasal dari Madura, digunakan sebagai ritual untuk meminta hujan. Namun, saat ini di Bondowoso banyak dijadikan sebagai kompetisi. Baik untuk memperingati hari tertentu atau hanya sebatas kompetisi biasa. Ada pula yang melestarikan permainan tradisional satu ini, dalam bentuk tarian yang berurutan. Mulai dari singo ulung, topeng konah, dan lain sebagainya.
Sementara menurut Muhpa, Ketua Organisasi Ojhung Bondowoso dalam skripsi Mitos Asal Usul Ojhung Dalam Upacara Adat Masyarakat Desa Blimbing Kecamatan Klabang yang ditulis Oki Feri Juniawan, Universitas Jember (Unej) pada 2016, asal ojhung berkaitan dengan Kerajaan Majapahit. Berbagai desa hingga daerah memiliki kesenian ojhung. Bisa dikatakan, ojhung adalah permainan yang melatih prajurit Kerajaan Majapahit dan rakyat kecil dalam bertarung.
Sedangkan dalam skripsi tersebut juga terdapat pernyataan Sugeng, yaitu seniman budaya dari Padepokan Seni Gema Buana Prajekan. Dia menyebut, Juk Seng pembabat Desa Blimbing tersebut berhasil membuka lahan pertanian tapi pada suatu saat terjadi kekeringan. Sementara Mbah Jasiman memilih bertapa dan mendapatkan ilham, Desa Blimbing akan subur. Caranya adalah dengan mengadakan ritual menetaskan darah ke bumi, tapi tidak boleh ada pertumpahan darah. Sehingga, ritual itu dikemas menjadi ojung yang saling pukul tapi tidak saling membunuh. (ham/dwi)