31.1 C
Jember
Wednesday, 29 March 2023

Kematian Ibu di Jember Semakin Meningkat karena Faktor ini

"Di tahun ini, pandemi di Jember sedang memuncak. Kebanyakan, kematian ibu disebabkan Covid-19 itu.” Dwi Handarisasi - Kabid Kesmas Dinkes Jember

Mobile_AP_Rectangle 1

PATRANG, RADARJEMBER.ID – Memasuki tahun kedua pandemi Covid-19, angka kematian ibu (AKI) di Kabupaten Jember melonjak. Selama tahun 2020 saja, kasus AKI sudah terbilang cukup tinggi. Kemudian, memasuki bulan delapan tahun ini, jumlah kematian ibu justru semakin meningkat. Bahkan hampir tembus dua kali lipat dari tahun sebelumnya.

“Di tahun ini, pandemi di Jember sedang memuncak. Kebanyakan, kematian ibu disebabkan Covid-19 itu. Beberapa bulan kemarin juga sempat kekurangan tabung oksigen, sehingga ada sebagian ibu hamil positif Covid-19 yang tidak tertolong,” tutur Dwi Handarisasi, Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Jember, kemarin (28/9).

Menurut dia, ada potensi pendataan AKI di lapangan tidak valid. Sebab, ada bias ketika proses pencatatan kasus AKI tersebut. Misalnya, postur tubuh pasien perempuan positif Covid-19 yang gemuk, bisa jadi dimasukkan dalam data kematian tersebut. “Ada seorang perempuan meninggal. Badannya gemuk dikira hamil. Itu dimasukkan ke kasus AKI. Padahal dia tidak sedang hamil,” ujarnya.

Mobile_AP_Rectangle 2

Namun, meningkatnya kasus AKI ini tak berpengaruh pada angka kematian bayi (AKB). Sebab, seorang ibu hamil yang meninggal dengan janin di dalamnya hanya masuk pada data AKI. “Kalau ada ibu hamil meninggal, maka hanya data ibunya saja yang masuk. Bayi yang di dalam kandungannya tidak ikut didata,” terangnya kepada Jawa Pos Radar Jember.

Sementara itu, Rizki Nurhaini, anggota Forum Jember Sehat, menyebut, tingginya kasus AKI di Jember masih banyak disebabkan oleh pengaruh sosial budaya. Sebab, para ibu hamil, khususnya bagi mereka yang berdomisili di perdesaan, masih bergantung pada keputusan keluarganya dalam penanganan kehamilan hingga persalinan. Padahal, mereka telah memiliki pengetahuan tentang perawatan ibu hamil maupun bahaya AKI/AKB.

“Di desa, sebagian mau apa-apa masih tergantung keputusan keluarganya. Misalnya, keputusan sang ibu atau bahkan nenek si ibu hamil itu. Ini yang membuat mereka tidak bisa mengikuti anjuran posyandu, bidan, atau tenaga kesehatan,” jelasnya.

Reporter : Delfi Nihayah

Fotografer : Ilustrasi Radar Kudus

Editor : Mahrus Sholih

 

- Advertisement -

PATRANG, RADARJEMBER.ID – Memasuki tahun kedua pandemi Covid-19, angka kematian ibu (AKI) di Kabupaten Jember melonjak. Selama tahun 2020 saja, kasus AKI sudah terbilang cukup tinggi. Kemudian, memasuki bulan delapan tahun ini, jumlah kematian ibu justru semakin meningkat. Bahkan hampir tembus dua kali lipat dari tahun sebelumnya.

“Di tahun ini, pandemi di Jember sedang memuncak. Kebanyakan, kematian ibu disebabkan Covid-19 itu. Beberapa bulan kemarin juga sempat kekurangan tabung oksigen, sehingga ada sebagian ibu hamil positif Covid-19 yang tidak tertolong,” tutur Dwi Handarisasi, Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Jember, kemarin (28/9).

Menurut dia, ada potensi pendataan AKI di lapangan tidak valid. Sebab, ada bias ketika proses pencatatan kasus AKI tersebut. Misalnya, postur tubuh pasien perempuan positif Covid-19 yang gemuk, bisa jadi dimasukkan dalam data kematian tersebut. “Ada seorang perempuan meninggal. Badannya gemuk dikira hamil. Itu dimasukkan ke kasus AKI. Padahal dia tidak sedang hamil,” ujarnya.

Namun, meningkatnya kasus AKI ini tak berpengaruh pada angka kematian bayi (AKB). Sebab, seorang ibu hamil yang meninggal dengan janin di dalamnya hanya masuk pada data AKI. “Kalau ada ibu hamil meninggal, maka hanya data ibunya saja yang masuk. Bayi yang di dalam kandungannya tidak ikut didata,” terangnya kepada Jawa Pos Radar Jember.

Sementara itu, Rizki Nurhaini, anggota Forum Jember Sehat, menyebut, tingginya kasus AKI di Jember masih banyak disebabkan oleh pengaruh sosial budaya. Sebab, para ibu hamil, khususnya bagi mereka yang berdomisili di perdesaan, masih bergantung pada keputusan keluarganya dalam penanganan kehamilan hingga persalinan. Padahal, mereka telah memiliki pengetahuan tentang perawatan ibu hamil maupun bahaya AKI/AKB.

“Di desa, sebagian mau apa-apa masih tergantung keputusan keluarganya. Misalnya, keputusan sang ibu atau bahkan nenek si ibu hamil itu. Ini yang membuat mereka tidak bisa mengikuti anjuran posyandu, bidan, atau tenaga kesehatan,” jelasnya.

Reporter : Delfi Nihayah

Fotografer : Ilustrasi Radar Kudus

Editor : Mahrus Sholih

 

PATRANG, RADARJEMBER.ID – Memasuki tahun kedua pandemi Covid-19, angka kematian ibu (AKI) di Kabupaten Jember melonjak. Selama tahun 2020 saja, kasus AKI sudah terbilang cukup tinggi. Kemudian, memasuki bulan delapan tahun ini, jumlah kematian ibu justru semakin meningkat. Bahkan hampir tembus dua kali lipat dari tahun sebelumnya.

“Di tahun ini, pandemi di Jember sedang memuncak. Kebanyakan, kematian ibu disebabkan Covid-19 itu. Beberapa bulan kemarin juga sempat kekurangan tabung oksigen, sehingga ada sebagian ibu hamil positif Covid-19 yang tidak tertolong,” tutur Dwi Handarisasi, Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Jember, kemarin (28/9).

Menurut dia, ada potensi pendataan AKI di lapangan tidak valid. Sebab, ada bias ketika proses pencatatan kasus AKI tersebut. Misalnya, postur tubuh pasien perempuan positif Covid-19 yang gemuk, bisa jadi dimasukkan dalam data kematian tersebut. “Ada seorang perempuan meninggal. Badannya gemuk dikira hamil. Itu dimasukkan ke kasus AKI. Padahal dia tidak sedang hamil,” ujarnya.

Namun, meningkatnya kasus AKI ini tak berpengaruh pada angka kematian bayi (AKB). Sebab, seorang ibu hamil yang meninggal dengan janin di dalamnya hanya masuk pada data AKI. “Kalau ada ibu hamil meninggal, maka hanya data ibunya saja yang masuk. Bayi yang di dalam kandungannya tidak ikut didata,” terangnya kepada Jawa Pos Radar Jember.

Sementara itu, Rizki Nurhaini, anggota Forum Jember Sehat, menyebut, tingginya kasus AKI di Jember masih banyak disebabkan oleh pengaruh sosial budaya. Sebab, para ibu hamil, khususnya bagi mereka yang berdomisili di perdesaan, masih bergantung pada keputusan keluarganya dalam penanganan kehamilan hingga persalinan. Padahal, mereka telah memiliki pengetahuan tentang perawatan ibu hamil maupun bahaya AKI/AKB.

“Di desa, sebagian mau apa-apa masih tergantung keputusan keluarganya. Misalnya, keputusan sang ibu atau bahkan nenek si ibu hamil itu. Ini yang membuat mereka tidak bisa mengikuti anjuran posyandu, bidan, atau tenaga kesehatan,” jelasnya.

Reporter : Delfi Nihayah

Fotografer : Ilustrasi Radar Kudus

Editor : Mahrus Sholih

 

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca