24.2 C
Jember
Tuesday, 21 March 2023

Mayoritas Anak Bermasalah karena Broken Home

Mobile_AP_Rectangle 1

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Tangan Farouq begitu terampil mengelas besi. Remaja 19 tahun itu tampak mengenakan kacamata hitam untuk menghalau kilatan cahaya yang menyilaukan. Sebab, jika tidak, indra penghilatannya bisa sakit. Aktivitas seperti inilah yang saban hari dilakukan olehnya selepas keluar dari lembaga pemasyarakatan (lapas). Ya, saat masih di bawah umur, Farouq pernah tersandung masalah hukum.

Pengalaman pahit itu dialami Farouq sekitar dua tahun lalu. Dia mengaku menyesal karena melakukan sesuatu yang melanggar. Karena itu, saat ini dia fokus menata hidupnya kembali dengan beraktivitas di bengkel las yang terletak di Jalan Sri Tanjung, Kelurahan Wirolegi, Kecamatan Sumbersari. Namun, saat diminta menceritakan masa kelamnya itu, dia menggeleng. Farouq merupakan satu dari 21 anak berhadapan dengan hukum (ABH) yang ditangani oleh Yayasan Bengkel Jiwa, sebuah yayasan nirlaba yang bergerak di bidang penanganan ABH di Jember.

Ketua Yayasan Bengkel Jiwa Agus Wahyu Permana mengisahkan, dua tahun lalu saat usianya menginjak 17 tahun, Farouq harus berurusan dengan polisi. Dia kedapatan mencuri sound milik seorang warga hingga membuat pemuda asal Desa/Kecamatan Sumberjambe itu menjalani persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Jember. Sebetulnya peristiwa tersebut tidak pernah diharapkan oleh Farouq. Namun, keadaan memaksanya berbuat demikian. “Sejatinya, anak berhadapan dengan hukum bukanlah pelaku, tapi merupakan korban dari keadaan dan lingkungannya,” kata Agus.

Mobile_AP_Rectangle 2

Setelah ditelusuri rekam jejak Farouq, ternyata dia merupakan anak yang tumbuh di lingkungan yang tidak mendukung potensinya. Keluarganya berantakan setelah kedua orang tuanya (ortu) bercerai. Sejak saat itu, kehidupannya menjadi terbengkalai hingga berani melakukan kejahatan. “Tak hanya Farouq, dari 21 anak yang pernah dibimbing Bengkel Jiwa, 19 anak di antaranya berasal dari keluarga broken home,” ungkapnya.

Secara statistik, angka yang disebutkan Agus cukup mencengangkan. Sebab, 90 persen lebih penyebab anak yang bermasalah adalah faktor keretakan keluarga. Data itu juga terkonfirmasi oleh Ketua Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) Jember Muhammad Muhib Alwi. Dia mengungkapkan, berdasar data statistik nasional, kasus kenakalan pada anak di bawah umur kebanyakan dipicu karena kasus perceraian orang tua.

Kaprodi Bimbingan Konseling Islam (BKI) IAIN tersebut menjelaskan, aktivitas anak banyak dipengaruhi oleh orang tuanya. Jika orang tua baik, harmonis, tenang, dan damai, meski tak punya uang, maka anak-anak juga akan tenang, damai, dan menjadi pribadi yang penurut. Sebaliknya, jika orang tuanya tidak harmonis, meski secara ekonomi mapan, namun faktor keharmonisan itu bisa menyebabkan anak berprilaku menyimpang.

“Kenakalan itu muncul sebagai bentuk protes anak terhadap orang tuanya,” terangnya. Apabila ortu bercerai, maka anak akan memprotes itu. Kenapa anak-anak harus menjadi korban? Padahal, mereka tidak melakukan apa-apa. “Nah, egoisme itu ditangkap sebagai tindakan yang mengorbankan anak. Karena itu, anak-anak mencari korban lain sebagai bentuk pelampiasan kekesalan dan kekecewaan dirinya,” papar Muhib.

Dari aspek agama juga demikian. Walau perceraian dibolehkan, tapi perkara itu merupakan tindakan yang paling dibenci. Maka dari itu, dia sepakat dengan program Kementerian Agama (Kemenag) tentang bimbingan praperkawinan yang wajib diikuti oleh calon pengantin. “Minimal, hal itu memberikan inspirasi untuk menjaga keharmonisan rumah tangga mereka,” ucapnya.

Langkah berikutnya adalah meminimalisasi pernikahan dini. Lantaran kesiapan mental calon pengantin itu dinilainya sangat penting dibandingkan dengan kesiapan ekonomi. Muhib menegaskan, meski kekurangan ekonomi, mereka bakal percaya diri dalam berumah tangga ketika mentalnya sudah siap. “Kalaupun menikah dalam kondisi fakir, akan ada jalan yang tidak disangka-sangka,” terangnya.

Bagaimana kalau sudah telanjur bercerai? Muhib menguraikan, kedua belah pihak harus memanfaatkan mediasi konseling. Dalam hal ini, pengadilan agama diharapkan tak hanya memutus perceraian, tapi juga memberikan konseling bagi mereka yang berpisah. Termasuk untuk anak-anak mereka. “Sehingga tidak muncul perilaku-perilaku yang menyimpang oleh anak sebagai bentuk protes terhadap orang tuanya,” tandasnya.

 

 

Jurnalis : Isnein Purnomo
Fotografer : Isnein Purnomo
Redaktur : Mahrus Sholih

- Advertisement -

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Tangan Farouq begitu terampil mengelas besi. Remaja 19 tahun itu tampak mengenakan kacamata hitam untuk menghalau kilatan cahaya yang menyilaukan. Sebab, jika tidak, indra penghilatannya bisa sakit. Aktivitas seperti inilah yang saban hari dilakukan olehnya selepas keluar dari lembaga pemasyarakatan (lapas). Ya, saat masih di bawah umur, Farouq pernah tersandung masalah hukum.

Pengalaman pahit itu dialami Farouq sekitar dua tahun lalu. Dia mengaku menyesal karena melakukan sesuatu yang melanggar. Karena itu, saat ini dia fokus menata hidupnya kembali dengan beraktivitas di bengkel las yang terletak di Jalan Sri Tanjung, Kelurahan Wirolegi, Kecamatan Sumbersari. Namun, saat diminta menceritakan masa kelamnya itu, dia menggeleng. Farouq merupakan satu dari 21 anak berhadapan dengan hukum (ABH) yang ditangani oleh Yayasan Bengkel Jiwa, sebuah yayasan nirlaba yang bergerak di bidang penanganan ABH di Jember.

Ketua Yayasan Bengkel Jiwa Agus Wahyu Permana mengisahkan, dua tahun lalu saat usianya menginjak 17 tahun, Farouq harus berurusan dengan polisi. Dia kedapatan mencuri sound milik seorang warga hingga membuat pemuda asal Desa/Kecamatan Sumberjambe itu menjalani persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Jember. Sebetulnya peristiwa tersebut tidak pernah diharapkan oleh Farouq. Namun, keadaan memaksanya berbuat demikian. “Sejatinya, anak berhadapan dengan hukum bukanlah pelaku, tapi merupakan korban dari keadaan dan lingkungannya,” kata Agus.

Setelah ditelusuri rekam jejak Farouq, ternyata dia merupakan anak yang tumbuh di lingkungan yang tidak mendukung potensinya. Keluarganya berantakan setelah kedua orang tuanya (ortu) bercerai. Sejak saat itu, kehidupannya menjadi terbengkalai hingga berani melakukan kejahatan. “Tak hanya Farouq, dari 21 anak yang pernah dibimbing Bengkel Jiwa, 19 anak di antaranya berasal dari keluarga broken home,” ungkapnya.

Secara statistik, angka yang disebutkan Agus cukup mencengangkan. Sebab, 90 persen lebih penyebab anak yang bermasalah adalah faktor keretakan keluarga. Data itu juga terkonfirmasi oleh Ketua Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) Jember Muhammad Muhib Alwi. Dia mengungkapkan, berdasar data statistik nasional, kasus kenakalan pada anak di bawah umur kebanyakan dipicu karena kasus perceraian orang tua.

Kaprodi Bimbingan Konseling Islam (BKI) IAIN tersebut menjelaskan, aktivitas anak banyak dipengaruhi oleh orang tuanya. Jika orang tua baik, harmonis, tenang, dan damai, meski tak punya uang, maka anak-anak juga akan tenang, damai, dan menjadi pribadi yang penurut. Sebaliknya, jika orang tuanya tidak harmonis, meski secara ekonomi mapan, namun faktor keharmonisan itu bisa menyebabkan anak berprilaku menyimpang.

“Kenakalan itu muncul sebagai bentuk protes anak terhadap orang tuanya,” terangnya. Apabila ortu bercerai, maka anak akan memprotes itu. Kenapa anak-anak harus menjadi korban? Padahal, mereka tidak melakukan apa-apa. “Nah, egoisme itu ditangkap sebagai tindakan yang mengorbankan anak. Karena itu, anak-anak mencari korban lain sebagai bentuk pelampiasan kekesalan dan kekecewaan dirinya,” papar Muhib.

Dari aspek agama juga demikian. Walau perceraian dibolehkan, tapi perkara itu merupakan tindakan yang paling dibenci. Maka dari itu, dia sepakat dengan program Kementerian Agama (Kemenag) tentang bimbingan praperkawinan yang wajib diikuti oleh calon pengantin. “Minimal, hal itu memberikan inspirasi untuk menjaga keharmonisan rumah tangga mereka,” ucapnya.

Langkah berikutnya adalah meminimalisasi pernikahan dini. Lantaran kesiapan mental calon pengantin itu dinilainya sangat penting dibandingkan dengan kesiapan ekonomi. Muhib menegaskan, meski kekurangan ekonomi, mereka bakal percaya diri dalam berumah tangga ketika mentalnya sudah siap. “Kalaupun menikah dalam kondisi fakir, akan ada jalan yang tidak disangka-sangka,” terangnya.

Bagaimana kalau sudah telanjur bercerai? Muhib menguraikan, kedua belah pihak harus memanfaatkan mediasi konseling. Dalam hal ini, pengadilan agama diharapkan tak hanya memutus perceraian, tapi juga memberikan konseling bagi mereka yang berpisah. Termasuk untuk anak-anak mereka. “Sehingga tidak muncul perilaku-perilaku yang menyimpang oleh anak sebagai bentuk protes terhadap orang tuanya,” tandasnya.

 

 

Jurnalis : Isnein Purnomo
Fotografer : Isnein Purnomo
Redaktur : Mahrus Sholih

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Tangan Farouq begitu terampil mengelas besi. Remaja 19 tahun itu tampak mengenakan kacamata hitam untuk menghalau kilatan cahaya yang menyilaukan. Sebab, jika tidak, indra penghilatannya bisa sakit. Aktivitas seperti inilah yang saban hari dilakukan olehnya selepas keluar dari lembaga pemasyarakatan (lapas). Ya, saat masih di bawah umur, Farouq pernah tersandung masalah hukum.

Pengalaman pahit itu dialami Farouq sekitar dua tahun lalu. Dia mengaku menyesal karena melakukan sesuatu yang melanggar. Karena itu, saat ini dia fokus menata hidupnya kembali dengan beraktivitas di bengkel las yang terletak di Jalan Sri Tanjung, Kelurahan Wirolegi, Kecamatan Sumbersari. Namun, saat diminta menceritakan masa kelamnya itu, dia menggeleng. Farouq merupakan satu dari 21 anak berhadapan dengan hukum (ABH) yang ditangani oleh Yayasan Bengkel Jiwa, sebuah yayasan nirlaba yang bergerak di bidang penanganan ABH di Jember.

Ketua Yayasan Bengkel Jiwa Agus Wahyu Permana mengisahkan, dua tahun lalu saat usianya menginjak 17 tahun, Farouq harus berurusan dengan polisi. Dia kedapatan mencuri sound milik seorang warga hingga membuat pemuda asal Desa/Kecamatan Sumberjambe itu menjalani persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Jember. Sebetulnya peristiwa tersebut tidak pernah diharapkan oleh Farouq. Namun, keadaan memaksanya berbuat demikian. “Sejatinya, anak berhadapan dengan hukum bukanlah pelaku, tapi merupakan korban dari keadaan dan lingkungannya,” kata Agus.

Setelah ditelusuri rekam jejak Farouq, ternyata dia merupakan anak yang tumbuh di lingkungan yang tidak mendukung potensinya. Keluarganya berantakan setelah kedua orang tuanya (ortu) bercerai. Sejak saat itu, kehidupannya menjadi terbengkalai hingga berani melakukan kejahatan. “Tak hanya Farouq, dari 21 anak yang pernah dibimbing Bengkel Jiwa, 19 anak di antaranya berasal dari keluarga broken home,” ungkapnya.

Secara statistik, angka yang disebutkan Agus cukup mencengangkan. Sebab, 90 persen lebih penyebab anak yang bermasalah adalah faktor keretakan keluarga. Data itu juga terkonfirmasi oleh Ketua Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) Jember Muhammad Muhib Alwi. Dia mengungkapkan, berdasar data statistik nasional, kasus kenakalan pada anak di bawah umur kebanyakan dipicu karena kasus perceraian orang tua.

Kaprodi Bimbingan Konseling Islam (BKI) IAIN tersebut menjelaskan, aktivitas anak banyak dipengaruhi oleh orang tuanya. Jika orang tua baik, harmonis, tenang, dan damai, meski tak punya uang, maka anak-anak juga akan tenang, damai, dan menjadi pribadi yang penurut. Sebaliknya, jika orang tuanya tidak harmonis, meski secara ekonomi mapan, namun faktor keharmonisan itu bisa menyebabkan anak berprilaku menyimpang.

“Kenakalan itu muncul sebagai bentuk protes anak terhadap orang tuanya,” terangnya. Apabila ortu bercerai, maka anak akan memprotes itu. Kenapa anak-anak harus menjadi korban? Padahal, mereka tidak melakukan apa-apa. “Nah, egoisme itu ditangkap sebagai tindakan yang mengorbankan anak. Karena itu, anak-anak mencari korban lain sebagai bentuk pelampiasan kekesalan dan kekecewaan dirinya,” papar Muhib.

Dari aspek agama juga demikian. Walau perceraian dibolehkan, tapi perkara itu merupakan tindakan yang paling dibenci. Maka dari itu, dia sepakat dengan program Kementerian Agama (Kemenag) tentang bimbingan praperkawinan yang wajib diikuti oleh calon pengantin. “Minimal, hal itu memberikan inspirasi untuk menjaga keharmonisan rumah tangga mereka,” ucapnya.

Langkah berikutnya adalah meminimalisasi pernikahan dini. Lantaran kesiapan mental calon pengantin itu dinilainya sangat penting dibandingkan dengan kesiapan ekonomi. Muhib menegaskan, meski kekurangan ekonomi, mereka bakal percaya diri dalam berumah tangga ketika mentalnya sudah siap. “Kalaupun menikah dalam kondisi fakir, akan ada jalan yang tidak disangka-sangka,” terangnya.

Bagaimana kalau sudah telanjur bercerai? Muhib menguraikan, kedua belah pihak harus memanfaatkan mediasi konseling. Dalam hal ini, pengadilan agama diharapkan tak hanya memutus perceraian, tapi juga memberikan konseling bagi mereka yang berpisah. Termasuk untuk anak-anak mereka. “Sehingga tidak muncul perilaku-perilaku yang menyimpang oleh anak sebagai bentuk protes terhadap orang tuanya,” tandasnya.

 

 

Jurnalis : Isnein Purnomo
Fotografer : Isnein Purnomo
Redaktur : Mahrus Sholih

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca