26.6 C
Jember
Wednesday, 31 May 2023

Sarankan Pengembangan Produk Lokal

Mobile_AP_Rectangle 1

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Harga kedelai impor yang perlahan terus naik jadi Rp 12 ribu per kilogram, membuat sejumlah perajin tempe mengubah bentuk produksinya. Walau bahan baku utama tahu tempe itu naik, perajin tempe pun enggan untuk demonstrasi atau mogok produksi seperti di ibu kota.

Pagi kemarin (23/2) aktivitas pembuatan tempe di daerah Jalan Ciliwung, Kelurahan Kepatihan, Kecamatan Kaliwates, berjalan seperti biasanya. Mereka mulai mencuci, memasak, peragian, hingga mengemas kedelai yang siap dijadikan tempe. Setiap kedelai yang dimasukkan kemasan itu ditimbang dengan timbangan digital. Berat timbangan setiap kemasan tempe dikurangi 50 gram. “Normalnya itu setiap bungkus 500 gram kedelai, sekarang 450 gram,” ucap M. Saleh, salah seorang perajin tempe.

Cara itu menjadi langkah menyiasati harga kedelai yang terus menerus mengalami kenaikan. “Kalau dari ukurannya itu sama. Tapi kedelai yang dimasukkan, beratnya berbeda dari yang sebelumnya,” tuturnya.

Mobile_AP_Rectangle 2

Kenaikan kedelai hampir terjadi setiap minggu, selama empat bulan terakhir. Bila saat awal pandemi harga kedelai impor bisa mencapai Rp 10 ribu per kilogram, kini Rp 12 ribu per kilogram. Lantaran Saleh termasuk produksi besar dengan menghabiskan 10 ton setiap pekan, maka harga kedelai impor yang didapat sedikit lebih murah yaitu Rp 11.500 per kilogram.

Bila daerah lain khususnya ibu kota yang ingin demonstrasi dan mulai mogok tidak membuat tempat, Saleh tak mau melakukannya. “Percuma didemo, tidak ada solusi. Solusinya tempenya dikecilkan untuk sementara ini,” katanya.

Mogok produksi tempe, menurut dia, juga membuat perajin tempe kesusahan. Artinya tidak ada pemasukan lagi. Dia merasa konsumen itu paham bahwa ukuran tempe itu diperkecil karena kedelai mahal. “Konsumen itu sudah pintar dan tahu kedelai mahal. Jadi mereka memahami,” imbuhnya.

Bila untuk menurunkan harga kedelai impor dengan subsidi pemerintah, menurut dia juga tidak efektif. “Kalau disubsidi, lantas subsidinya lari ke mana? Lebih baik kembangkan produksi lokal dengan kualitas yang tidak jauh berbeda dengan kedelai impor,” pungkasnya. (dwi/c1/lin)

- Advertisement -

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Harga kedelai impor yang perlahan terus naik jadi Rp 12 ribu per kilogram, membuat sejumlah perajin tempe mengubah bentuk produksinya. Walau bahan baku utama tahu tempe itu naik, perajin tempe pun enggan untuk demonstrasi atau mogok produksi seperti di ibu kota.

Pagi kemarin (23/2) aktivitas pembuatan tempe di daerah Jalan Ciliwung, Kelurahan Kepatihan, Kecamatan Kaliwates, berjalan seperti biasanya. Mereka mulai mencuci, memasak, peragian, hingga mengemas kedelai yang siap dijadikan tempe. Setiap kedelai yang dimasukkan kemasan itu ditimbang dengan timbangan digital. Berat timbangan setiap kemasan tempe dikurangi 50 gram. “Normalnya itu setiap bungkus 500 gram kedelai, sekarang 450 gram,” ucap M. Saleh, salah seorang perajin tempe.

Cara itu menjadi langkah menyiasati harga kedelai yang terus menerus mengalami kenaikan. “Kalau dari ukurannya itu sama. Tapi kedelai yang dimasukkan, beratnya berbeda dari yang sebelumnya,” tuturnya.

Kenaikan kedelai hampir terjadi setiap minggu, selama empat bulan terakhir. Bila saat awal pandemi harga kedelai impor bisa mencapai Rp 10 ribu per kilogram, kini Rp 12 ribu per kilogram. Lantaran Saleh termasuk produksi besar dengan menghabiskan 10 ton setiap pekan, maka harga kedelai impor yang didapat sedikit lebih murah yaitu Rp 11.500 per kilogram.

Bila daerah lain khususnya ibu kota yang ingin demonstrasi dan mulai mogok tidak membuat tempat, Saleh tak mau melakukannya. “Percuma didemo, tidak ada solusi. Solusinya tempenya dikecilkan untuk sementara ini,” katanya.

Mogok produksi tempe, menurut dia, juga membuat perajin tempe kesusahan. Artinya tidak ada pemasukan lagi. Dia merasa konsumen itu paham bahwa ukuran tempe itu diperkecil karena kedelai mahal. “Konsumen itu sudah pintar dan tahu kedelai mahal. Jadi mereka memahami,” imbuhnya.

Bila untuk menurunkan harga kedelai impor dengan subsidi pemerintah, menurut dia juga tidak efektif. “Kalau disubsidi, lantas subsidinya lari ke mana? Lebih baik kembangkan produksi lokal dengan kualitas yang tidak jauh berbeda dengan kedelai impor,” pungkasnya. (dwi/c1/lin)

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Harga kedelai impor yang perlahan terus naik jadi Rp 12 ribu per kilogram, membuat sejumlah perajin tempe mengubah bentuk produksinya. Walau bahan baku utama tahu tempe itu naik, perajin tempe pun enggan untuk demonstrasi atau mogok produksi seperti di ibu kota.

Pagi kemarin (23/2) aktivitas pembuatan tempe di daerah Jalan Ciliwung, Kelurahan Kepatihan, Kecamatan Kaliwates, berjalan seperti biasanya. Mereka mulai mencuci, memasak, peragian, hingga mengemas kedelai yang siap dijadikan tempe. Setiap kedelai yang dimasukkan kemasan itu ditimbang dengan timbangan digital. Berat timbangan setiap kemasan tempe dikurangi 50 gram. “Normalnya itu setiap bungkus 500 gram kedelai, sekarang 450 gram,” ucap M. Saleh, salah seorang perajin tempe.

Cara itu menjadi langkah menyiasati harga kedelai yang terus menerus mengalami kenaikan. “Kalau dari ukurannya itu sama. Tapi kedelai yang dimasukkan, beratnya berbeda dari yang sebelumnya,” tuturnya.

Kenaikan kedelai hampir terjadi setiap minggu, selama empat bulan terakhir. Bila saat awal pandemi harga kedelai impor bisa mencapai Rp 10 ribu per kilogram, kini Rp 12 ribu per kilogram. Lantaran Saleh termasuk produksi besar dengan menghabiskan 10 ton setiap pekan, maka harga kedelai impor yang didapat sedikit lebih murah yaitu Rp 11.500 per kilogram.

Bila daerah lain khususnya ibu kota yang ingin demonstrasi dan mulai mogok tidak membuat tempat, Saleh tak mau melakukannya. “Percuma didemo, tidak ada solusi. Solusinya tempenya dikecilkan untuk sementara ini,” katanya.

Mogok produksi tempe, menurut dia, juga membuat perajin tempe kesusahan. Artinya tidak ada pemasukan lagi. Dia merasa konsumen itu paham bahwa ukuran tempe itu diperkecil karena kedelai mahal. “Konsumen itu sudah pintar dan tahu kedelai mahal. Jadi mereka memahami,” imbuhnya.

Bila untuk menurunkan harga kedelai impor dengan subsidi pemerintah, menurut dia juga tidak efektif. “Kalau disubsidi, lantas subsidinya lari ke mana? Lebih baik kembangkan produksi lokal dengan kualitas yang tidak jauh berbeda dengan kedelai impor,” pungkasnya. (dwi/c1/lin)

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca