JEMBER, RADARJEMBER.ID – Jumlah penderita kusta di Jember menurun bila dibandingkan periode sebelumnya. Terutama di kawasan perkotaan. Bahkan, daerah yang menjadi kantong penyakit kusta juga semakin berkurang. Kini, jumlah daerah lumbung kusta hanya tersisa di tiga kecamatan saja. Yakni Ajung, Sumberbaru, dan Bangsalsari. Kendati begitu, kasus ini harus tetap menjadi perhatian pemerintah agar Jember benar-benar terbebas dari penyakit yang disebabkan infeksi bakteri Mycobacterium leprae tersebut.
Penanggung Jawab Program Kusta Dinas Kesehatan (Dinkes) Jember Yudhi Tri Gunawan mengungkapkan, meski secara umum jumlahnya menurun, tapi yang menjadi kendala adalah kasus cacat tingkat dua dan kasus anak yang angkanya masih di atas lima persen. “Kalau cacat tingkat dua ada dua kemungkinan. Bisa karena keterlambatan pasien mengakses layanan dan tracking yang kurang. Ini ada sekitar 10 persen. Sedangkan kasus anak sebanyak empat persen,” kata Yudhi, kemarin (21/5).
Sepanjang 2021 ini, kata dia, setidaknya terdapat 22 kasus yang telah dikantongi. Sedangkan angka kejadian penyakit dalam periode 2020 angka prevalensinya tercatat 0,57. Jika dibandingkan dengan tahun 2019, prevalensi tahun 2020 mengalami penurunan. Sebab, pada tahun 2019 prevalensinya berada pada angka 1,12 atau meningkat dibanding tahun 2018 yang tercatat 1,00.
Sehingga saat ini, Jember berpotensi menjadi salah satu kabupaten yang termasuk wilayah eliminasi di Jawa Timur. Yaitu kabupaten yang bukan merupakan lumbung penderita kusta. Adapun kriteria wilayah eliminasi adalah adanya satu kasus per 10.000 penduduk. Sehingga dengan adanya 2,4 juta penduduk, Jember dapat dikatakan wilayah eliminasi jika terdapat 240 penderita per tahun.
Lebih lanjut, Yudhi menjelaskan, untuk menekan angka kasus cacat tingkat dua dan kasus anak, pihaknya konsisten melakukan penemuan secara intensif di beberapa wilayah. Termasuk wilayah yang sudah ditetapkan menjadi wilayah eliminasi. Berikutnya juga pemberian obat pencegahan sejak 2019 lalu.
Selanjutnya, pihaknya juga gencar melakukan penyuluhan. Tujuannya untuk memutus stigma negatif mengenai penyakit kusta. “Kusta adalah penyakit menular yang tidak cepat menularkan. Bukan penyakit kutukan dan turunan. Stigma ini yang harus dihilangkan,” terangnya.
Dia memaparkan, kusta hanya berpotensi menular pada kontak erat dalam jangka lama. Masa inkubasinya juga cukup lama. Namun, sejauh ini belum ada penelitian metode penularannya. “Karena diyakini metode penularannya masih sedikit. Paling banyak bakteri ditemukan di rongga hidung,” pungkasnya.
Pakar Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Jember (Unej) Dr Candra Bumi menilai, penurunan kasus kusta dan berkuranganya daerah kantong kusta dipengaruhi pelaksanaan protokol kesehatan (prokes) yang diterapkan oleh masyarakat. Sebab, selama pandemi berlangsung, pemerintah memberlakukan ketentuan prokes tersebut.
Karena itu, menurut Candra, penurunan tidak hanya terjadi pada kusta, tapi juga penyakit lain yang penularannya melalui kontak dan saluran pernapasan. Termasuk tuberkulosis (TB). “Kalau memang ingin menurunkan penyakit menular, prokes ini tetap diterapkan walau Covid-19 sudah berakhir,” jelasnya,
Menurut dia, jika penyakit kusta sudah tidak ada sumber penularan, maka potensi kemunculannya juga akan minim. Namun sebaliknya, jika masyarakat abai, maka masih ada potensi peningkatannya. “Yang menular itu yang infeksius. Penularannya melalui kontak. Ini yang perlu menjadi perhatian,” ucapnya.
Selanjutnya, berkenaan dengan kusta anak yang trennya mengalami peningkatan, dugaan Candra adalah karena adanya peningkatan pembatasan lingkungan anak. Anak dituntut untuk diam di rumah saja. Misalnya dengan kondisi ventilasi yang kurang baik. Hal ini, kata dia, yang memungkinkan penyakit itu tumbuh. Kondisi ini berbeda dengan kalangan orang dewasa.
Bahwa masih ada stigma masyarakat yang mengucilkan penderita kusta, Candra menjelaskan, biasanya lebih dipengaruhi oleh masa inkubasi penyakit kusta yang cukup lama. Solusinya adalah dengan meningkatkan edukasi kepada masyarakat, sehingga mereka memahami tentang penyakit ini.
Namun, yang menjadi catatan, edukasi ini harus melibatkan akademisi dan pakar dari berbagai studi. Dengan kajian yang matang dan holistik, maka penyelesaian masalah kesehatan di Jember akan mudah teratasi. Apalagi Jember punya banyak pakar dan ahli di berbagai bidang yang selama ini kurang dioptimalkan oleh pemerintah daerah. Dampaknya, beberapa riset hanya menumpuk. Tidak ada keberlanjutan yang diwujudkan dalam program atau kebijakan. “Karena komunikasi yang melibatkan tenaga ahli di Jember belum optimal. Komunikasinya hanya parsial. Tidak dalam bentuk program-program,” ungkapnya.
Secara epidemiologi, penanggulangan penyakit menular dapat dilakukan melalui penanganan penyakitnya, lingkungan, dan penderita. “Dalam mengatasi masalah kesehatan, harus melibatkan para pakar dan tokoh masyarakat. Karena tipe masyarakat berbeda-beda. Jadi, harapan saya ada sinergi dari pemkab dengan para akademisi,” pungkas dosen mata kuliah Epidemiologi FKM Unej tersebut.
Jurnalis : Dian Cahyani
Fotografer : Dian Cahyani
Redaktur : Mahrus Sholih