23.5 C
Jember
Tuesday, 21 March 2023

Pengamat Kebijakan Publik Jember Bicara Soal Vaksin: Butuh Pendekatan Baru

“Vaksinasi itu bisa juga menggandeng ormas, partai, dan tokoh masyarakat. Mereka memiliki ruang kreativitas dan edukasi yang bisa dilakukan sebelum menggelar vaksinasi.” Hermanto Rohman - Pengamat Kebijakan Publik

Mobile_AP_Rectangle 1

CAPAIAN vaksinasi menjadi penentu status level PPKM di setiap daerah. Beberapa bulan ini, status PPKM Jember masih bertahan di level tiga akibat lambannya laju vaksinasi, terutama capaian vaksinasi untuk lansia.

Mencari akar dan solusi atas problem tersebut, Jawa Pos Radar Jember mewawancarai pakar kesehatan Universitas Jember Dr. dr Wiwien S Utami. Ia memaparkan, minimnya capaian vaksinasi bagi lansia ditengarai disebabkan oleh berbagai faktor. Baik dari faktor kesehatan yang menentukan boleh tidaknya lansia divaksin maupun asumsi dari lansia itu sendiri.

Jika dilihat dari faktor kesehatan, dia memaparkan, lansia memang membutuhkan perlakuan khusus sebelum melakukan vaksinasi. Mereka perlu melakukan pemeriksaan kesehatan seperti pemeriksaan tensi darah, pemeriksaan kadar gula, hingga pemeriksaan riwayat penyakit yang dimiliki.

Mobile_AP_Rectangle 2

“Setiap kolegium dokter spesialis masing-masing telah mengeluarkan kebijakan terkait boleh tidaknya lansia yang memiliki riwayat penyakit untuk divaksin. Hampir semuanya membolehkan, dalam batas koridor yang ditentukan,” ungkapnya.

Selain faktor kesehatan, asumsi negatif terkait pentingnya vaksin bagi lansia juga menjadi penyebab lambannya capaian. Di mana sebagian masyarakat masih beranggapan bahwa lansia tidak perlu lagi divaksin karena usianya sudah tua. Kemudian, masih banyak juga lansia yang enggan divaksin karena termakan informasi hoax tentang efek vaksin. “Mungkin di masyarakat memang masih ada kekhawatiran, sehingga mereka masih belum berani atau tidak mau divaksin. Itu masih banyak ditemui,” katanya.

Kemudian, satu penyebab rendahnya capaian vaksin bagi lansia ialah terjadinya kesalahan input data. Beberapa data lansia ini masuk ke dalam kategori dewasa umum. Padahal, seharusnya data tersebut tidak sama, karena ada perbedaan kategori sasaran vaksin sesuai usia.

Wiwien menilai, sejauh ini upaya dari Dinas Kesehatan sudah dilakukan secara maksimal. Baik dalam hal menyediakan stok vaksin maupun menggencarkan minimnya capaian vaksinasi di Jember. Namun, karena minimnya sosialisasi terkait pentingnya vaksin untuk herd immunity, terutama bagi lansia, maka diperlukan strategi jitu yang berdampak signifikan untuk mengejar ketertinggalan. Strategi tersebut dapat dilakukan oleh seluruh kalangan masyarakat yang memahami pentingnya vaksinasi.

Dia menegaskan, hal ini perlu kerja sama dengan berbagai lini. Baik institusi pendidikan maupun instansi lain. Bahkan tokoh masyarakat, tokoh agama, muspika, dan kades yang baru dilantik juga bisa menjadi agen yang dapat memberikan penyadaran. “Selama masyarakat masih minim pemahaman tentang pentingnya meningkatkan kekebalan komunitas (herd immunity), Jember ini sulit bisa meningkatkan capaian vaksinnya,” papar alumnus Universitas Gajah Mada tersebut.

Perempuan yang juga seorang dokter ini menjelaskan, saat ini pihaknya tengah membuat pemetaan area yang capaian vaksinnya masih minim. Pendataan itu dilakukan berdasarkan nomor induk kependudukan (NIK) setiap warga yang juga memuat data tahun lahir, sehingga dapat diketahui usianya. Dengan demikian, suatu area atau kecamatan dapat diketahui berapa persen capaian vaksinasinya lengkap dengan kategori usianya.

Pendataan itu juga dilakukan bersama Dinas Kesehatan bekerja sama dengan Dispendukcapil guna mendata NIK setiap warga. “Saya menyampaikan ke bupati, kami membutuhkan data desa, dan bekerja sama dengan Dispendukcapil untuk data NIK-nya,” lanjut dia.

Selain menjadi penentu status PPKM, capaian vaksinasi dewasa dan lansia tampaknya juga menjadi prasyarat diperbolehkannya vaksinasi untuk anak usia 6-11 tahun. Sebab, di beberapa daerah, vaksinasi untuk anak sudah mulai diberlakukan lantaran telah mencapai target vaksin yang ditentukan.

Sementara itu, Pengamat Kebijakan Publik Unej Hermanto Rohman memaparkan, sebagai program baru, pelaksanaan vaksinasi di Jember masih menuai beragam respons dari masyarakat. Utamanya lansia yang terkadang sulit memilah informasi. “Tidak semua kalangan masyarakat bisa memahami tentang pentingnya vaksin. Baik dari sisi manfaat maupun efek. Itu masih belum dipahami masyarakat,” ungkapnya.

Memang sudah seharusnya, lanjut Hermanto, pemerintah tidak hanya memiliki data ketercapaian vaksin, namun juga data sebaran wilayah lokasi. Tentunya, adanya data sebaran wilayah lokasi tersebut juga akan menampilkan profil tipologi yang ada di masing-masing wilayah. Dengan demikian, hal ini memberi banyak solusi yang bisa dilakukan pemerintah.

Selain itu, Hermanto berkata, pemerintah harus punya formula yang tepat. Misal menggandeng pihak yang memiliki pengaruh untuk melaksanakan vaksinasi. “Karena problem riilnya seperti itu. Vaksinasi itu bisa juga menggandeng ormas, partai, dan tokoh masyarakat. Mereka memiliki ruang kreativitas dan edukasi yang bisa dilakukan sebelum menggelar vaksinasi. Tentunya sesuai konteks lokal di masyarakat. Itu bisa dijadikan dasar pertimbangan untuk melakukan vaksinasi,” tambahnya.

Ia menyebut, konteks konsistensi pemerintah untuk mengejar ketercapaian vaksin patut diapresiasi. Mereka telah membuka banyak gerai di setiap kecamatan melalui puskesmas, perangkat desa, atau pelayanan kesehatan lainnya. Namun, dalam hal ini pemerintah juga perlu lebih luas dalam mengajak masyarakat, utamanya lansia. Misalnya membuka gerai vaksin melalui pihak lain yang memiliki simpul kedekatan dengan masyarakat. Seperti komunitas anak muda, tokoh agama, ataupun tokoh masyarakat.

“Ini tidak cukup. Kalau memang ada wilayah yang cukup dipenuhi saja kebutuhan vaksinnya, bisa di organisasi, puskesmas, atau perangkat itu tidak masalah. Tapi, ada wilayah yang tidak cukup dengan itu. Maka, ini perlu kerja sama dengan pihak yang bisa berpengaruh terhadap masyarakat itu sendiri,” tuturnya.

Ia juga menjelaskan, ada tiga catatan penting yang bisa dilakukan pemerintah untuk mengejar ketertinggalan vaksin di Jember, terutama untuk lansia. Yaitu, diperlukannya model baru, baik dalam membuka gerai vaksin maupun edukasi yang mampu memberikan pemahaman kepada masyarakat dengan keragaman asumsinya. Kemudian, kerja sama dengan berbagai sektor atau seluruh kalangan. Terutama kalangan yang memiliki pengaruh besar sesuai tipologi masyarakatnya.

Reporter : Delfi Nihayah/Radar Jember

Fotografer : Isnein Purnomo/Radar Jember

Editor : Mahrus Sholih/Radar Jember

- Advertisement -

CAPAIAN vaksinasi menjadi penentu status level PPKM di setiap daerah. Beberapa bulan ini, status PPKM Jember masih bertahan di level tiga akibat lambannya laju vaksinasi, terutama capaian vaksinasi untuk lansia.

Mencari akar dan solusi atas problem tersebut, Jawa Pos Radar Jember mewawancarai pakar kesehatan Universitas Jember Dr. dr Wiwien S Utami. Ia memaparkan, minimnya capaian vaksinasi bagi lansia ditengarai disebabkan oleh berbagai faktor. Baik dari faktor kesehatan yang menentukan boleh tidaknya lansia divaksin maupun asumsi dari lansia itu sendiri.

Jika dilihat dari faktor kesehatan, dia memaparkan, lansia memang membutuhkan perlakuan khusus sebelum melakukan vaksinasi. Mereka perlu melakukan pemeriksaan kesehatan seperti pemeriksaan tensi darah, pemeriksaan kadar gula, hingga pemeriksaan riwayat penyakit yang dimiliki.

“Setiap kolegium dokter spesialis masing-masing telah mengeluarkan kebijakan terkait boleh tidaknya lansia yang memiliki riwayat penyakit untuk divaksin. Hampir semuanya membolehkan, dalam batas koridor yang ditentukan,” ungkapnya.

Selain faktor kesehatan, asumsi negatif terkait pentingnya vaksin bagi lansia juga menjadi penyebab lambannya capaian. Di mana sebagian masyarakat masih beranggapan bahwa lansia tidak perlu lagi divaksin karena usianya sudah tua. Kemudian, masih banyak juga lansia yang enggan divaksin karena termakan informasi hoax tentang efek vaksin. “Mungkin di masyarakat memang masih ada kekhawatiran, sehingga mereka masih belum berani atau tidak mau divaksin. Itu masih banyak ditemui,” katanya.

Kemudian, satu penyebab rendahnya capaian vaksin bagi lansia ialah terjadinya kesalahan input data. Beberapa data lansia ini masuk ke dalam kategori dewasa umum. Padahal, seharusnya data tersebut tidak sama, karena ada perbedaan kategori sasaran vaksin sesuai usia.

Wiwien menilai, sejauh ini upaya dari Dinas Kesehatan sudah dilakukan secara maksimal. Baik dalam hal menyediakan stok vaksin maupun menggencarkan minimnya capaian vaksinasi di Jember. Namun, karena minimnya sosialisasi terkait pentingnya vaksin untuk herd immunity, terutama bagi lansia, maka diperlukan strategi jitu yang berdampak signifikan untuk mengejar ketertinggalan. Strategi tersebut dapat dilakukan oleh seluruh kalangan masyarakat yang memahami pentingnya vaksinasi.

Dia menegaskan, hal ini perlu kerja sama dengan berbagai lini. Baik institusi pendidikan maupun instansi lain. Bahkan tokoh masyarakat, tokoh agama, muspika, dan kades yang baru dilantik juga bisa menjadi agen yang dapat memberikan penyadaran. “Selama masyarakat masih minim pemahaman tentang pentingnya meningkatkan kekebalan komunitas (herd immunity), Jember ini sulit bisa meningkatkan capaian vaksinnya,” papar alumnus Universitas Gajah Mada tersebut.

Perempuan yang juga seorang dokter ini menjelaskan, saat ini pihaknya tengah membuat pemetaan area yang capaian vaksinnya masih minim. Pendataan itu dilakukan berdasarkan nomor induk kependudukan (NIK) setiap warga yang juga memuat data tahun lahir, sehingga dapat diketahui usianya. Dengan demikian, suatu area atau kecamatan dapat diketahui berapa persen capaian vaksinasinya lengkap dengan kategori usianya.

Pendataan itu juga dilakukan bersama Dinas Kesehatan bekerja sama dengan Dispendukcapil guna mendata NIK setiap warga. “Saya menyampaikan ke bupati, kami membutuhkan data desa, dan bekerja sama dengan Dispendukcapil untuk data NIK-nya,” lanjut dia.

Selain menjadi penentu status PPKM, capaian vaksinasi dewasa dan lansia tampaknya juga menjadi prasyarat diperbolehkannya vaksinasi untuk anak usia 6-11 tahun. Sebab, di beberapa daerah, vaksinasi untuk anak sudah mulai diberlakukan lantaran telah mencapai target vaksin yang ditentukan.

Sementara itu, Pengamat Kebijakan Publik Unej Hermanto Rohman memaparkan, sebagai program baru, pelaksanaan vaksinasi di Jember masih menuai beragam respons dari masyarakat. Utamanya lansia yang terkadang sulit memilah informasi. “Tidak semua kalangan masyarakat bisa memahami tentang pentingnya vaksin. Baik dari sisi manfaat maupun efek. Itu masih belum dipahami masyarakat,” ungkapnya.

Memang sudah seharusnya, lanjut Hermanto, pemerintah tidak hanya memiliki data ketercapaian vaksin, namun juga data sebaran wilayah lokasi. Tentunya, adanya data sebaran wilayah lokasi tersebut juga akan menampilkan profil tipologi yang ada di masing-masing wilayah. Dengan demikian, hal ini memberi banyak solusi yang bisa dilakukan pemerintah.

Selain itu, Hermanto berkata, pemerintah harus punya formula yang tepat. Misal menggandeng pihak yang memiliki pengaruh untuk melaksanakan vaksinasi. “Karena problem riilnya seperti itu. Vaksinasi itu bisa juga menggandeng ormas, partai, dan tokoh masyarakat. Mereka memiliki ruang kreativitas dan edukasi yang bisa dilakukan sebelum menggelar vaksinasi. Tentunya sesuai konteks lokal di masyarakat. Itu bisa dijadikan dasar pertimbangan untuk melakukan vaksinasi,” tambahnya.

Ia menyebut, konteks konsistensi pemerintah untuk mengejar ketercapaian vaksin patut diapresiasi. Mereka telah membuka banyak gerai di setiap kecamatan melalui puskesmas, perangkat desa, atau pelayanan kesehatan lainnya. Namun, dalam hal ini pemerintah juga perlu lebih luas dalam mengajak masyarakat, utamanya lansia. Misalnya membuka gerai vaksin melalui pihak lain yang memiliki simpul kedekatan dengan masyarakat. Seperti komunitas anak muda, tokoh agama, ataupun tokoh masyarakat.

“Ini tidak cukup. Kalau memang ada wilayah yang cukup dipenuhi saja kebutuhan vaksinnya, bisa di organisasi, puskesmas, atau perangkat itu tidak masalah. Tapi, ada wilayah yang tidak cukup dengan itu. Maka, ini perlu kerja sama dengan pihak yang bisa berpengaruh terhadap masyarakat itu sendiri,” tuturnya.

Ia juga menjelaskan, ada tiga catatan penting yang bisa dilakukan pemerintah untuk mengejar ketertinggalan vaksin di Jember, terutama untuk lansia. Yaitu, diperlukannya model baru, baik dalam membuka gerai vaksin maupun edukasi yang mampu memberikan pemahaman kepada masyarakat dengan keragaman asumsinya. Kemudian, kerja sama dengan berbagai sektor atau seluruh kalangan. Terutama kalangan yang memiliki pengaruh besar sesuai tipologi masyarakatnya.

Reporter : Delfi Nihayah/Radar Jember

Fotografer : Isnein Purnomo/Radar Jember

Editor : Mahrus Sholih/Radar Jember

CAPAIAN vaksinasi menjadi penentu status level PPKM di setiap daerah. Beberapa bulan ini, status PPKM Jember masih bertahan di level tiga akibat lambannya laju vaksinasi, terutama capaian vaksinasi untuk lansia.

Mencari akar dan solusi atas problem tersebut, Jawa Pos Radar Jember mewawancarai pakar kesehatan Universitas Jember Dr. dr Wiwien S Utami. Ia memaparkan, minimnya capaian vaksinasi bagi lansia ditengarai disebabkan oleh berbagai faktor. Baik dari faktor kesehatan yang menentukan boleh tidaknya lansia divaksin maupun asumsi dari lansia itu sendiri.

Jika dilihat dari faktor kesehatan, dia memaparkan, lansia memang membutuhkan perlakuan khusus sebelum melakukan vaksinasi. Mereka perlu melakukan pemeriksaan kesehatan seperti pemeriksaan tensi darah, pemeriksaan kadar gula, hingga pemeriksaan riwayat penyakit yang dimiliki.

“Setiap kolegium dokter spesialis masing-masing telah mengeluarkan kebijakan terkait boleh tidaknya lansia yang memiliki riwayat penyakit untuk divaksin. Hampir semuanya membolehkan, dalam batas koridor yang ditentukan,” ungkapnya.

Selain faktor kesehatan, asumsi negatif terkait pentingnya vaksin bagi lansia juga menjadi penyebab lambannya capaian. Di mana sebagian masyarakat masih beranggapan bahwa lansia tidak perlu lagi divaksin karena usianya sudah tua. Kemudian, masih banyak juga lansia yang enggan divaksin karena termakan informasi hoax tentang efek vaksin. “Mungkin di masyarakat memang masih ada kekhawatiran, sehingga mereka masih belum berani atau tidak mau divaksin. Itu masih banyak ditemui,” katanya.

Kemudian, satu penyebab rendahnya capaian vaksin bagi lansia ialah terjadinya kesalahan input data. Beberapa data lansia ini masuk ke dalam kategori dewasa umum. Padahal, seharusnya data tersebut tidak sama, karena ada perbedaan kategori sasaran vaksin sesuai usia.

Wiwien menilai, sejauh ini upaya dari Dinas Kesehatan sudah dilakukan secara maksimal. Baik dalam hal menyediakan stok vaksin maupun menggencarkan minimnya capaian vaksinasi di Jember. Namun, karena minimnya sosialisasi terkait pentingnya vaksin untuk herd immunity, terutama bagi lansia, maka diperlukan strategi jitu yang berdampak signifikan untuk mengejar ketertinggalan. Strategi tersebut dapat dilakukan oleh seluruh kalangan masyarakat yang memahami pentingnya vaksinasi.

Dia menegaskan, hal ini perlu kerja sama dengan berbagai lini. Baik institusi pendidikan maupun instansi lain. Bahkan tokoh masyarakat, tokoh agama, muspika, dan kades yang baru dilantik juga bisa menjadi agen yang dapat memberikan penyadaran. “Selama masyarakat masih minim pemahaman tentang pentingnya meningkatkan kekebalan komunitas (herd immunity), Jember ini sulit bisa meningkatkan capaian vaksinnya,” papar alumnus Universitas Gajah Mada tersebut.

Perempuan yang juga seorang dokter ini menjelaskan, saat ini pihaknya tengah membuat pemetaan area yang capaian vaksinnya masih minim. Pendataan itu dilakukan berdasarkan nomor induk kependudukan (NIK) setiap warga yang juga memuat data tahun lahir, sehingga dapat diketahui usianya. Dengan demikian, suatu area atau kecamatan dapat diketahui berapa persen capaian vaksinasinya lengkap dengan kategori usianya.

Pendataan itu juga dilakukan bersama Dinas Kesehatan bekerja sama dengan Dispendukcapil guna mendata NIK setiap warga. “Saya menyampaikan ke bupati, kami membutuhkan data desa, dan bekerja sama dengan Dispendukcapil untuk data NIK-nya,” lanjut dia.

Selain menjadi penentu status PPKM, capaian vaksinasi dewasa dan lansia tampaknya juga menjadi prasyarat diperbolehkannya vaksinasi untuk anak usia 6-11 tahun. Sebab, di beberapa daerah, vaksinasi untuk anak sudah mulai diberlakukan lantaran telah mencapai target vaksin yang ditentukan.

Sementara itu, Pengamat Kebijakan Publik Unej Hermanto Rohman memaparkan, sebagai program baru, pelaksanaan vaksinasi di Jember masih menuai beragam respons dari masyarakat. Utamanya lansia yang terkadang sulit memilah informasi. “Tidak semua kalangan masyarakat bisa memahami tentang pentingnya vaksin. Baik dari sisi manfaat maupun efek. Itu masih belum dipahami masyarakat,” ungkapnya.

Memang sudah seharusnya, lanjut Hermanto, pemerintah tidak hanya memiliki data ketercapaian vaksin, namun juga data sebaran wilayah lokasi. Tentunya, adanya data sebaran wilayah lokasi tersebut juga akan menampilkan profil tipologi yang ada di masing-masing wilayah. Dengan demikian, hal ini memberi banyak solusi yang bisa dilakukan pemerintah.

Selain itu, Hermanto berkata, pemerintah harus punya formula yang tepat. Misal menggandeng pihak yang memiliki pengaruh untuk melaksanakan vaksinasi. “Karena problem riilnya seperti itu. Vaksinasi itu bisa juga menggandeng ormas, partai, dan tokoh masyarakat. Mereka memiliki ruang kreativitas dan edukasi yang bisa dilakukan sebelum menggelar vaksinasi. Tentunya sesuai konteks lokal di masyarakat. Itu bisa dijadikan dasar pertimbangan untuk melakukan vaksinasi,” tambahnya.

Ia menyebut, konteks konsistensi pemerintah untuk mengejar ketercapaian vaksin patut diapresiasi. Mereka telah membuka banyak gerai di setiap kecamatan melalui puskesmas, perangkat desa, atau pelayanan kesehatan lainnya. Namun, dalam hal ini pemerintah juga perlu lebih luas dalam mengajak masyarakat, utamanya lansia. Misalnya membuka gerai vaksin melalui pihak lain yang memiliki simpul kedekatan dengan masyarakat. Seperti komunitas anak muda, tokoh agama, ataupun tokoh masyarakat.

“Ini tidak cukup. Kalau memang ada wilayah yang cukup dipenuhi saja kebutuhan vaksinnya, bisa di organisasi, puskesmas, atau perangkat itu tidak masalah. Tapi, ada wilayah yang tidak cukup dengan itu. Maka, ini perlu kerja sama dengan pihak yang bisa berpengaruh terhadap masyarakat itu sendiri,” tuturnya.

Ia juga menjelaskan, ada tiga catatan penting yang bisa dilakukan pemerintah untuk mengejar ketertinggalan vaksin di Jember, terutama untuk lansia. Yaitu, diperlukannya model baru, baik dalam membuka gerai vaksin maupun edukasi yang mampu memberikan pemahaman kepada masyarakat dengan keragaman asumsinya. Kemudian, kerja sama dengan berbagai sektor atau seluruh kalangan. Terutama kalangan yang memiliki pengaruh besar sesuai tipologi masyarakatnya.

Reporter : Delfi Nihayah/Radar Jember

Fotografer : Isnein Purnomo/Radar Jember

Editor : Mahrus Sholih/Radar Jember

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca