26.6 C
Jember
Wednesday, 31 May 2023

MERDEKA! Untuk Relawan Pemulasaraan Tak Gentar Merawat Jenazah Covid-19

Mobile_AP_Rectangle 1

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Sering mendapat penolakan dari keluarga jenazah, tak membuat relawan pemulasaraan menghentikan langkah. Mereka terus berkhidmat untuk merawat jenazah pasien Covid-19. Peran mereka memang terlihat sederhana, tapi sebenarnya sangat berisiko. Sebab, rentan tertular wabah. Terlebih, mereka kerap mendapat penolakan dari keluarga jenazah hingga cemoohan. Apa yang menjadi alasan sehingga mereka tetap bertahan di jalur kemanusiaan?

“Ya, kami kerjakan sebagai niat untuk membantu sesama,” kata Nanang Hidayat, salah satu penggagas Kokok Beluk, komunitas relawan pemulasaraan jenazah, kemarin (16/8). Awalnya, komunitas yang berasal dari Kelurahan Kranjingan, Kecamatan Sumbersari, ini memiliki tujuh orang anggota. Kini, yang aktif melakukan pemulasaraan tinggal empat orang. Semuanya laki-laki.

Kelompok relawan ini sudah terlatih menangani jenazah pasien dengan penyakit menular. Sebab, tugasnya memang melakukan pemulasaraan atau perawatan jenazah penderita Covid-19 yang menjalani isolasi mandiri (isoman). Biasanya, mereka akan datang ke lokasi jenazah atas keinginan sendiri atau atas permintaan masyarakat setempat. Sebab, tidak semua orang bisa atau tahu teknik merawat jenazah dengan virus korona tersebut.

Mobile_AP_Rectangle 2

Menurut Nanang, komunitas ini berdiri pada Juli 2020 lalu. Mulanya, untuk membantu perawatan jenazah dengan HIV/AIDS. Namun, lantaran kondisi pandemi yang semakin parah dan banyak orang meninggal akibat wabah, maka Kokok Beluk juga melakukan pemulasaraan jenazah karena Covid-19. Ini dilakukan karena tak semua keluarga mampu membayar biaya pemulasaraan di rumah sakit yang cukup tinggi. Di sisi lain, jika pemulasaraan tidak dilakukan dengan benar, maka ada potensi menular.

Walau sifatnya relawan, namun bukan berarti aktivitas mereka tanpa tantangan. Ada saja penolakan dari keluarga jenazah. Sebab, mereka beranggapan bahwa penderita Covid-19 adalah aib. Keluarga khawatir lingkungan akan mengucilkan kalau hal itu sampai diketahui oleh masyarakat. Karena itu, keluarga cenderung menolak jika pemulasaraan dilakukan dengan prosedur Covid-19.

Bentuk penolakannya pun beragam. Mulai dari sindiran dengan tujuan mengusir, hingga mengumpat dengan kata-kata kasar. Bahkan terkadang, relawan juga menghadapi situasi pro dan kontra. Ada kubu yang menghendaki pemulasaraan sesuai prosedur Covid-19 dan sebaliknya. Di sinilah perjuangan relawan Kokok Beluk. Selain merawat jenazah, mereka juga turut mengedukasi masyarakat. “Kalau kondisinya sudah seperti itu, kami biasanya tidak bisa memaksa,” tutur laki-laki yang juga sopir ambulans Puskesmas Kranjingan itu.

Upaya untuk meyakinkan keluarga cukup beragam. Mulai dari pendekatan personal kepada keluarga sampai melibatkan perangkat desa atau kelurahan setempat, hingga aparat kepolisian seperti bhabinkantibmas.

Lebih terperinci, teknik pemulasaraan dengan prosedur Covid-19 seyogianya memiliki perbedaan yang signifikan dengan tata cara pemulasaraan jenazah pada umumnya. Di antaranya, para petugas pemulasaraan wajib menggunakan alat pelindung diri (APD) lengkap, mulai dari kacamata safety, masker bedah, gaun tiga lapis lengan panjang dan kedap air, sarung tangan nonsteril, dan sepatu tertutup tahan air. “Sebelum dimandikan, jenazah kami semprot dengan cairan klorin. Baru kami mandikan 30 menit setelah penyemprotan,” jelas Nanang.

Selain itu, relawan juga perlu mengatur sanitasi ketika memandikan jenazah. Sebab, prinsipnya, air yang digunakan untuk memandikan jenazah Covid-19 adalah air mengalir. Kemudian, air tersebut harus kembali dialirkan dalam satu tempat pembuangan yang jauh dari permukiman penduduk. “Misalnya, kami siapkan tangki untuk wadah air yang sudah digunakan pemulasaraan. Nanti, air tangki dan air tersebut dibuang di tempat yang jauh dari permukiman,” jelas mantan karyawan UGD di RSD dr Soebandi itu.

Untuk memproteksi diri dari ancaman Covid-19, anggota relawan Kokok Beluk rutin melakukan swab dan mengonsumsi vitamin yang disediakan oleh Dinas Kesehatan Jember. “Semua baju dan atribut yang kami pakai untuk pemulasaraan juga langsung kami bakar. Jadi, saya sering bakar baju. Nanti kalau sudah tidak ada baju jelek, beli di babebo (penjual baju bekas, Red) lagi,” pungkasnya.

 

 

Jurnalis : Dian Cahyani
Fotografer : Grafis reza
Redaktur : Mahrus Sholih

- Advertisement -

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Sering mendapat penolakan dari keluarga jenazah, tak membuat relawan pemulasaraan menghentikan langkah. Mereka terus berkhidmat untuk merawat jenazah pasien Covid-19. Peran mereka memang terlihat sederhana, tapi sebenarnya sangat berisiko. Sebab, rentan tertular wabah. Terlebih, mereka kerap mendapat penolakan dari keluarga jenazah hingga cemoohan. Apa yang menjadi alasan sehingga mereka tetap bertahan di jalur kemanusiaan?

“Ya, kami kerjakan sebagai niat untuk membantu sesama,” kata Nanang Hidayat, salah satu penggagas Kokok Beluk, komunitas relawan pemulasaraan jenazah, kemarin (16/8). Awalnya, komunitas yang berasal dari Kelurahan Kranjingan, Kecamatan Sumbersari, ini memiliki tujuh orang anggota. Kini, yang aktif melakukan pemulasaraan tinggal empat orang. Semuanya laki-laki.

Kelompok relawan ini sudah terlatih menangani jenazah pasien dengan penyakit menular. Sebab, tugasnya memang melakukan pemulasaraan atau perawatan jenazah penderita Covid-19 yang menjalani isolasi mandiri (isoman). Biasanya, mereka akan datang ke lokasi jenazah atas keinginan sendiri atau atas permintaan masyarakat setempat. Sebab, tidak semua orang bisa atau tahu teknik merawat jenazah dengan virus korona tersebut.

Menurut Nanang, komunitas ini berdiri pada Juli 2020 lalu. Mulanya, untuk membantu perawatan jenazah dengan HIV/AIDS. Namun, lantaran kondisi pandemi yang semakin parah dan banyak orang meninggal akibat wabah, maka Kokok Beluk juga melakukan pemulasaraan jenazah karena Covid-19. Ini dilakukan karena tak semua keluarga mampu membayar biaya pemulasaraan di rumah sakit yang cukup tinggi. Di sisi lain, jika pemulasaraan tidak dilakukan dengan benar, maka ada potensi menular.

Walau sifatnya relawan, namun bukan berarti aktivitas mereka tanpa tantangan. Ada saja penolakan dari keluarga jenazah. Sebab, mereka beranggapan bahwa penderita Covid-19 adalah aib. Keluarga khawatir lingkungan akan mengucilkan kalau hal itu sampai diketahui oleh masyarakat. Karena itu, keluarga cenderung menolak jika pemulasaraan dilakukan dengan prosedur Covid-19.

Bentuk penolakannya pun beragam. Mulai dari sindiran dengan tujuan mengusir, hingga mengumpat dengan kata-kata kasar. Bahkan terkadang, relawan juga menghadapi situasi pro dan kontra. Ada kubu yang menghendaki pemulasaraan sesuai prosedur Covid-19 dan sebaliknya. Di sinilah perjuangan relawan Kokok Beluk. Selain merawat jenazah, mereka juga turut mengedukasi masyarakat. “Kalau kondisinya sudah seperti itu, kami biasanya tidak bisa memaksa,” tutur laki-laki yang juga sopir ambulans Puskesmas Kranjingan itu.

Upaya untuk meyakinkan keluarga cukup beragam. Mulai dari pendekatan personal kepada keluarga sampai melibatkan perangkat desa atau kelurahan setempat, hingga aparat kepolisian seperti bhabinkantibmas.

Lebih terperinci, teknik pemulasaraan dengan prosedur Covid-19 seyogianya memiliki perbedaan yang signifikan dengan tata cara pemulasaraan jenazah pada umumnya. Di antaranya, para petugas pemulasaraan wajib menggunakan alat pelindung diri (APD) lengkap, mulai dari kacamata safety, masker bedah, gaun tiga lapis lengan panjang dan kedap air, sarung tangan nonsteril, dan sepatu tertutup tahan air. “Sebelum dimandikan, jenazah kami semprot dengan cairan klorin. Baru kami mandikan 30 menit setelah penyemprotan,” jelas Nanang.

Selain itu, relawan juga perlu mengatur sanitasi ketika memandikan jenazah. Sebab, prinsipnya, air yang digunakan untuk memandikan jenazah Covid-19 adalah air mengalir. Kemudian, air tersebut harus kembali dialirkan dalam satu tempat pembuangan yang jauh dari permukiman penduduk. “Misalnya, kami siapkan tangki untuk wadah air yang sudah digunakan pemulasaraan. Nanti, air tangki dan air tersebut dibuang di tempat yang jauh dari permukiman,” jelas mantan karyawan UGD di RSD dr Soebandi itu.

Untuk memproteksi diri dari ancaman Covid-19, anggota relawan Kokok Beluk rutin melakukan swab dan mengonsumsi vitamin yang disediakan oleh Dinas Kesehatan Jember. “Semua baju dan atribut yang kami pakai untuk pemulasaraan juga langsung kami bakar. Jadi, saya sering bakar baju. Nanti kalau sudah tidak ada baju jelek, beli di babebo (penjual baju bekas, Red) lagi,” pungkasnya.

 

 

Jurnalis : Dian Cahyani
Fotografer : Grafis reza
Redaktur : Mahrus Sholih

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Sering mendapat penolakan dari keluarga jenazah, tak membuat relawan pemulasaraan menghentikan langkah. Mereka terus berkhidmat untuk merawat jenazah pasien Covid-19. Peran mereka memang terlihat sederhana, tapi sebenarnya sangat berisiko. Sebab, rentan tertular wabah. Terlebih, mereka kerap mendapat penolakan dari keluarga jenazah hingga cemoohan. Apa yang menjadi alasan sehingga mereka tetap bertahan di jalur kemanusiaan?

“Ya, kami kerjakan sebagai niat untuk membantu sesama,” kata Nanang Hidayat, salah satu penggagas Kokok Beluk, komunitas relawan pemulasaraan jenazah, kemarin (16/8). Awalnya, komunitas yang berasal dari Kelurahan Kranjingan, Kecamatan Sumbersari, ini memiliki tujuh orang anggota. Kini, yang aktif melakukan pemulasaraan tinggal empat orang. Semuanya laki-laki.

Kelompok relawan ini sudah terlatih menangani jenazah pasien dengan penyakit menular. Sebab, tugasnya memang melakukan pemulasaraan atau perawatan jenazah penderita Covid-19 yang menjalani isolasi mandiri (isoman). Biasanya, mereka akan datang ke lokasi jenazah atas keinginan sendiri atau atas permintaan masyarakat setempat. Sebab, tidak semua orang bisa atau tahu teknik merawat jenazah dengan virus korona tersebut.

Menurut Nanang, komunitas ini berdiri pada Juli 2020 lalu. Mulanya, untuk membantu perawatan jenazah dengan HIV/AIDS. Namun, lantaran kondisi pandemi yang semakin parah dan banyak orang meninggal akibat wabah, maka Kokok Beluk juga melakukan pemulasaraan jenazah karena Covid-19. Ini dilakukan karena tak semua keluarga mampu membayar biaya pemulasaraan di rumah sakit yang cukup tinggi. Di sisi lain, jika pemulasaraan tidak dilakukan dengan benar, maka ada potensi menular.

Walau sifatnya relawan, namun bukan berarti aktivitas mereka tanpa tantangan. Ada saja penolakan dari keluarga jenazah. Sebab, mereka beranggapan bahwa penderita Covid-19 adalah aib. Keluarga khawatir lingkungan akan mengucilkan kalau hal itu sampai diketahui oleh masyarakat. Karena itu, keluarga cenderung menolak jika pemulasaraan dilakukan dengan prosedur Covid-19.

Bentuk penolakannya pun beragam. Mulai dari sindiran dengan tujuan mengusir, hingga mengumpat dengan kata-kata kasar. Bahkan terkadang, relawan juga menghadapi situasi pro dan kontra. Ada kubu yang menghendaki pemulasaraan sesuai prosedur Covid-19 dan sebaliknya. Di sinilah perjuangan relawan Kokok Beluk. Selain merawat jenazah, mereka juga turut mengedukasi masyarakat. “Kalau kondisinya sudah seperti itu, kami biasanya tidak bisa memaksa,” tutur laki-laki yang juga sopir ambulans Puskesmas Kranjingan itu.

Upaya untuk meyakinkan keluarga cukup beragam. Mulai dari pendekatan personal kepada keluarga sampai melibatkan perangkat desa atau kelurahan setempat, hingga aparat kepolisian seperti bhabinkantibmas.

Lebih terperinci, teknik pemulasaraan dengan prosedur Covid-19 seyogianya memiliki perbedaan yang signifikan dengan tata cara pemulasaraan jenazah pada umumnya. Di antaranya, para petugas pemulasaraan wajib menggunakan alat pelindung diri (APD) lengkap, mulai dari kacamata safety, masker bedah, gaun tiga lapis lengan panjang dan kedap air, sarung tangan nonsteril, dan sepatu tertutup tahan air. “Sebelum dimandikan, jenazah kami semprot dengan cairan klorin. Baru kami mandikan 30 menit setelah penyemprotan,” jelas Nanang.

Selain itu, relawan juga perlu mengatur sanitasi ketika memandikan jenazah. Sebab, prinsipnya, air yang digunakan untuk memandikan jenazah Covid-19 adalah air mengalir. Kemudian, air tersebut harus kembali dialirkan dalam satu tempat pembuangan yang jauh dari permukiman penduduk. “Misalnya, kami siapkan tangki untuk wadah air yang sudah digunakan pemulasaraan. Nanti, air tangki dan air tersebut dibuang di tempat yang jauh dari permukiman,” jelas mantan karyawan UGD di RSD dr Soebandi itu.

Untuk memproteksi diri dari ancaman Covid-19, anggota relawan Kokok Beluk rutin melakukan swab dan mengonsumsi vitamin yang disediakan oleh Dinas Kesehatan Jember. “Semua baju dan atribut yang kami pakai untuk pemulasaraan juga langsung kami bakar. Jadi, saya sering bakar baju. Nanti kalau sudah tidak ada baju jelek, beli di babebo (penjual baju bekas, Red) lagi,” pungkasnya.

 

 

Jurnalis : Dian Cahyani
Fotografer : Grafis reza
Redaktur : Mahrus Sholih

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca