30.4 C
Jember
Friday, 24 March 2023

Gejala Sisa Pasca-Covid-19 Perlu Penanganan Lanjutan

Bisa Gagal Jantung

Mobile_AP_Rectangle 1

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Beberapa penyintas Covid-19 mengeluh masih merasakan gejala pasca-dinyatakan sembuh dari virus korona itu. Dalam dunia medis, itu disebut gejala long Covid. Artinya, pasien sudah dinyatakan sembuh berdasar hasil lab dan dinyatakan negatif, tapi masih ada gejala yang tersisa. Misalnya, batuk, sesak napas, mudah lelah, produksi dahak yang produktif, dan gejala keluhan pernapasan lain.

dr Movita SpP, dokter yang menangani pasien Covid-19 di Rumah Sakit Paru, mengungkapkan, pada beberapa kasus, masih ada pasien yang membutuhkan bantuan oksigen meski sudah keluar dari perawatan rumah sakit. Hal itu cukup berbahaya karena kadar saturasi oksigen rendah di bawah 93 persen. Bahkan, ada pasien yang pernah dia tangani bergantung pada oksigen hingga hari ke 45 sejak dinyatakan sembuh dari Covid-19. “Pasien tersebut sempat memakai alat bantu napas atau ventilator,” ungkapnya.

Rendahnya kadar oksigen alias hipoksemia ini mampu mengakibatkan komplikasi ke jantung. Jika tidak tertangani dengan baik, juga bisa berisiko menjadi gawat pernapasan dan gagal jantung. “Bahkan, bisa menyebabkan kematian,” ucapnya.

Mobile_AP_Rectangle 2

Belum lagi, long Covid juga sering terjadi jika paru-paru bekas terpapar Covid-19 mengalami peradangan. Sehingga kerusakan jaringan di parunya mengakibatkan terganggunya sistem pernapasan.

Menurut Movita, semua pasien post-Covid-19 bisa terpapar kembali dan tidak harus memiliki gejala long Covid. Bahkan, yang sudah vaksin dua kali pun bisa terpapar dan bergejala. Kata dia, sudah banyak kasus pasien yang awalnya positif tanpa gejala dapat terinfeksi kembali dengan gejala lebih berat. Namun, hingga saat ini belum ada data pasti terkait pasien yang mengalami long Covid, apakah lebih rentan terpapar virus korona atau tidak.

Dia juga menegaskan, ada atau tidak ada gejala sisa ketika pasien sudah dinyatakan sembuh, mereka harus tetap menjaga sistem daya tahan tubuh yang baik. Caranya dengan mengonsumsi makanan bergizi dan berolahraga teratur, serta menerapkan protokol kesehatan.

Bagaimana upaya pencegahan long Covid? dr Movita memaparkan, hal itu sulit dilakukan. Sebab, respons kelainan paru saat pasien terinfeksi Covid-19 sangat beragam. Dan hal itu sangat tergantung pada kondisi individu dan ada tidaknya penyakit penyerta alias komorbid.

Sering kali, jika infeksi Covid-19 sudah menimbulkan pneumonia alias radang paru-paru yang luas, kelainan paru akan lebih berat. “Pasien dengan komorbid diabetes melitus dan hipertensi harus lebih waspada akan terjadinya respons peradangan yang berat. Terutama jika sudah terjadi stadium pada radang paru-paru atau systemic stage,” paparnya.

Deteksi dini dan kecepatan mendiagnosis serta menerapi pada saat stadium awal infeksi Covid-19 akan sangat membantu mencegah terjadinya progresivitas penyakit dan kerusakan pada paru-paru. Dengan begitu, dapat mencegah gejala long Covid yang berat.

Lalu, apakah setiap gejala long Covid-19 perlu mendapatkan perawatan? Menurutnya, hal itu diperlukan jika long Covid mengganggu aktivitas pasien. Apalagi membahayakan sampai gagal napas. “Harus segera dirawat di RS,” pungkasnya.

Terpisah, Ketua Tim Tanggap Darurat Kesiapsiagaan Bencana Covid-19 (TTDKBC) Universitas Jember dr Ulfa Elfiah MKes Sp BP RE (K) menyatakan, sebenarnya untuk memastikan apakah antibodi dalam tubuh sudah memberikan reaksi yang bagus atau tidak terhadap Covid-19, alangkah baiknya dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Hal ini untuk melihat kadar antibodi, sehingga bisa melakukan evaluasi ketahanan antibodi seseorang.

Dia menjelaskan, pada umumnya, gejala sisa yang kerap dirasakan seperti mudah lelah, indra penciuman menurun, masalah pernapasan, sakit tenggorokan, hingga otot ruam, atau tubuh terasa sakit. Selain itu, kinerja paru-paru juga tak seoptimal dulu, sehingga napasnya tidak lega. “Bahkan, ada juga yang mengalami gangguan syaraf,” ungkapnya.

Karena itu, dia menambahkan, ada yang perlu ditangani ahli syaraf dan psikiatri lantaran kondisi kejiwaannya terganggu. Bahkan, ada yang menganggap bahwa Covid-19 adalah virus dengan seribu wajah. “Oleh karena itu, penyintas yang masih mengalami gejala sisa perlu menjalani masa pemulihan yang lebih panjang. Rekomendasinya, dibantu dengan menambah nutrisi dan gizi, istirahat yang cukup, dan olahraga teratur,” terangnya.

Faktor usia juga memengaruhi. Belum lagi, dengan adanya varian virus baru seperti B117. Virus tersebut, dia berkata, sangat kuat dan bisa mematikan tanpa gejala. Pada virus sebelumnya, indra penciuman berkurang dan sesak. “Namun, untuk virus ini (B117, Red), tanpa gejala pun bisa langsung masuk,” ungkapnya.

Harapannya, para penyintas harus hati-hati lantaran bisa menyerang, bergantung kadar antibodi masing-masing. Untuk itu, pemeriksaan lanjutan terkait dengan kadar antibodi masih diperlukan. Hal itu juga sempat menjadi acuan atas vaksinasi. Di mana seorang penyintas yang kadar antibodinya rendah harus segera divaksin agar tidak terpapar lagi. Namun, ada pula yang kadarnya tinggi sehingga harus menunggu tiga bulan.

 

 

Jurnalis : Isnein Purnomo
Fotografer : Freepik.com
Redaktur : Mahrus Sholih

- Advertisement -

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Beberapa penyintas Covid-19 mengeluh masih merasakan gejala pasca-dinyatakan sembuh dari virus korona itu. Dalam dunia medis, itu disebut gejala long Covid. Artinya, pasien sudah dinyatakan sembuh berdasar hasil lab dan dinyatakan negatif, tapi masih ada gejala yang tersisa. Misalnya, batuk, sesak napas, mudah lelah, produksi dahak yang produktif, dan gejala keluhan pernapasan lain.

dr Movita SpP, dokter yang menangani pasien Covid-19 di Rumah Sakit Paru, mengungkapkan, pada beberapa kasus, masih ada pasien yang membutuhkan bantuan oksigen meski sudah keluar dari perawatan rumah sakit. Hal itu cukup berbahaya karena kadar saturasi oksigen rendah di bawah 93 persen. Bahkan, ada pasien yang pernah dia tangani bergantung pada oksigen hingga hari ke 45 sejak dinyatakan sembuh dari Covid-19. “Pasien tersebut sempat memakai alat bantu napas atau ventilator,” ungkapnya.

Rendahnya kadar oksigen alias hipoksemia ini mampu mengakibatkan komplikasi ke jantung. Jika tidak tertangani dengan baik, juga bisa berisiko menjadi gawat pernapasan dan gagal jantung. “Bahkan, bisa menyebabkan kematian,” ucapnya.

Belum lagi, long Covid juga sering terjadi jika paru-paru bekas terpapar Covid-19 mengalami peradangan. Sehingga kerusakan jaringan di parunya mengakibatkan terganggunya sistem pernapasan.

Menurut Movita, semua pasien post-Covid-19 bisa terpapar kembali dan tidak harus memiliki gejala long Covid. Bahkan, yang sudah vaksin dua kali pun bisa terpapar dan bergejala. Kata dia, sudah banyak kasus pasien yang awalnya positif tanpa gejala dapat terinfeksi kembali dengan gejala lebih berat. Namun, hingga saat ini belum ada data pasti terkait pasien yang mengalami long Covid, apakah lebih rentan terpapar virus korona atau tidak.

Dia juga menegaskan, ada atau tidak ada gejala sisa ketika pasien sudah dinyatakan sembuh, mereka harus tetap menjaga sistem daya tahan tubuh yang baik. Caranya dengan mengonsumsi makanan bergizi dan berolahraga teratur, serta menerapkan protokol kesehatan.

Bagaimana upaya pencegahan long Covid? dr Movita memaparkan, hal itu sulit dilakukan. Sebab, respons kelainan paru saat pasien terinfeksi Covid-19 sangat beragam. Dan hal itu sangat tergantung pada kondisi individu dan ada tidaknya penyakit penyerta alias komorbid.

Sering kali, jika infeksi Covid-19 sudah menimbulkan pneumonia alias radang paru-paru yang luas, kelainan paru akan lebih berat. “Pasien dengan komorbid diabetes melitus dan hipertensi harus lebih waspada akan terjadinya respons peradangan yang berat. Terutama jika sudah terjadi stadium pada radang paru-paru atau systemic stage,” paparnya.

Deteksi dini dan kecepatan mendiagnosis serta menerapi pada saat stadium awal infeksi Covid-19 akan sangat membantu mencegah terjadinya progresivitas penyakit dan kerusakan pada paru-paru. Dengan begitu, dapat mencegah gejala long Covid yang berat.

Lalu, apakah setiap gejala long Covid-19 perlu mendapatkan perawatan? Menurutnya, hal itu diperlukan jika long Covid mengganggu aktivitas pasien. Apalagi membahayakan sampai gagal napas. “Harus segera dirawat di RS,” pungkasnya.

Terpisah, Ketua Tim Tanggap Darurat Kesiapsiagaan Bencana Covid-19 (TTDKBC) Universitas Jember dr Ulfa Elfiah MKes Sp BP RE (K) menyatakan, sebenarnya untuk memastikan apakah antibodi dalam tubuh sudah memberikan reaksi yang bagus atau tidak terhadap Covid-19, alangkah baiknya dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Hal ini untuk melihat kadar antibodi, sehingga bisa melakukan evaluasi ketahanan antibodi seseorang.

Dia menjelaskan, pada umumnya, gejala sisa yang kerap dirasakan seperti mudah lelah, indra penciuman menurun, masalah pernapasan, sakit tenggorokan, hingga otot ruam, atau tubuh terasa sakit. Selain itu, kinerja paru-paru juga tak seoptimal dulu, sehingga napasnya tidak lega. “Bahkan, ada juga yang mengalami gangguan syaraf,” ungkapnya.

Karena itu, dia menambahkan, ada yang perlu ditangani ahli syaraf dan psikiatri lantaran kondisi kejiwaannya terganggu. Bahkan, ada yang menganggap bahwa Covid-19 adalah virus dengan seribu wajah. “Oleh karena itu, penyintas yang masih mengalami gejala sisa perlu menjalani masa pemulihan yang lebih panjang. Rekomendasinya, dibantu dengan menambah nutrisi dan gizi, istirahat yang cukup, dan olahraga teratur,” terangnya.

Faktor usia juga memengaruhi. Belum lagi, dengan adanya varian virus baru seperti B117. Virus tersebut, dia berkata, sangat kuat dan bisa mematikan tanpa gejala. Pada virus sebelumnya, indra penciuman berkurang dan sesak. “Namun, untuk virus ini (B117, Red), tanpa gejala pun bisa langsung masuk,” ungkapnya.

Harapannya, para penyintas harus hati-hati lantaran bisa menyerang, bergantung kadar antibodi masing-masing. Untuk itu, pemeriksaan lanjutan terkait dengan kadar antibodi masih diperlukan. Hal itu juga sempat menjadi acuan atas vaksinasi. Di mana seorang penyintas yang kadar antibodinya rendah harus segera divaksin agar tidak terpapar lagi. Namun, ada pula yang kadarnya tinggi sehingga harus menunggu tiga bulan.

 

 

Jurnalis : Isnein Purnomo
Fotografer : Freepik.com
Redaktur : Mahrus Sholih

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Beberapa penyintas Covid-19 mengeluh masih merasakan gejala pasca-dinyatakan sembuh dari virus korona itu. Dalam dunia medis, itu disebut gejala long Covid. Artinya, pasien sudah dinyatakan sembuh berdasar hasil lab dan dinyatakan negatif, tapi masih ada gejala yang tersisa. Misalnya, batuk, sesak napas, mudah lelah, produksi dahak yang produktif, dan gejala keluhan pernapasan lain.

dr Movita SpP, dokter yang menangani pasien Covid-19 di Rumah Sakit Paru, mengungkapkan, pada beberapa kasus, masih ada pasien yang membutuhkan bantuan oksigen meski sudah keluar dari perawatan rumah sakit. Hal itu cukup berbahaya karena kadar saturasi oksigen rendah di bawah 93 persen. Bahkan, ada pasien yang pernah dia tangani bergantung pada oksigen hingga hari ke 45 sejak dinyatakan sembuh dari Covid-19. “Pasien tersebut sempat memakai alat bantu napas atau ventilator,” ungkapnya.

Rendahnya kadar oksigen alias hipoksemia ini mampu mengakibatkan komplikasi ke jantung. Jika tidak tertangani dengan baik, juga bisa berisiko menjadi gawat pernapasan dan gagal jantung. “Bahkan, bisa menyebabkan kematian,” ucapnya.

Belum lagi, long Covid juga sering terjadi jika paru-paru bekas terpapar Covid-19 mengalami peradangan. Sehingga kerusakan jaringan di parunya mengakibatkan terganggunya sistem pernapasan.

Menurut Movita, semua pasien post-Covid-19 bisa terpapar kembali dan tidak harus memiliki gejala long Covid. Bahkan, yang sudah vaksin dua kali pun bisa terpapar dan bergejala. Kata dia, sudah banyak kasus pasien yang awalnya positif tanpa gejala dapat terinfeksi kembali dengan gejala lebih berat. Namun, hingga saat ini belum ada data pasti terkait pasien yang mengalami long Covid, apakah lebih rentan terpapar virus korona atau tidak.

Dia juga menegaskan, ada atau tidak ada gejala sisa ketika pasien sudah dinyatakan sembuh, mereka harus tetap menjaga sistem daya tahan tubuh yang baik. Caranya dengan mengonsumsi makanan bergizi dan berolahraga teratur, serta menerapkan protokol kesehatan.

Bagaimana upaya pencegahan long Covid? dr Movita memaparkan, hal itu sulit dilakukan. Sebab, respons kelainan paru saat pasien terinfeksi Covid-19 sangat beragam. Dan hal itu sangat tergantung pada kondisi individu dan ada tidaknya penyakit penyerta alias komorbid.

Sering kali, jika infeksi Covid-19 sudah menimbulkan pneumonia alias radang paru-paru yang luas, kelainan paru akan lebih berat. “Pasien dengan komorbid diabetes melitus dan hipertensi harus lebih waspada akan terjadinya respons peradangan yang berat. Terutama jika sudah terjadi stadium pada radang paru-paru atau systemic stage,” paparnya.

Deteksi dini dan kecepatan mendiagnosis serta menerapi pada saat stadium awal infeksi Covid-19 akan sangat membantu mencegah terjadinya progresivitas penyakit dan kerusakan pada paru-paru. Dengan begitu, dapat mencegah gejala long Covid yang berat.

Lalu, apakah setiap gejala long Covid-19 perlu mendapatkan perawatan? Menurutnya, hal itu diperlukan jika long Covid mengganggu aktivitas pasien. Apalagi membahayakan sampai gagal napas. “Harus segera dirawat di RS,” pungkasnya.

Terpisah, Ketua Tim Tanggap Darurat Kesiapsiagaan Bencana Covid-19 (TTDKBC) Universitas Jember dr Ulfa Elfiah MKes Sp BP RE (K) menyatakan, sebenarnya untuk memastikan apakah antibodi dalam tubuh sudah memberikan reaksi yang bagus atau tidak terhadap Covid-19, alangkah baiknya dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Hal ini untuk melihat kadar antibodi, sehingga bisa melakukan evaluasi ketahanan antibodi seseorang.

Dia menjelaskan, pada umumnya, gejala sisa yang kerap dirasakan seperti mudah lelah, indra penciuman menurun, masalah pernapasan, sakit tenggorokan, hingga otot ruam, atau tubuh terasa sakit. Selain itu, kinerja paru-paru juga tak seoptimal dulu, sehingga napasnya tidak lega. “Bahkan, ada juga yang mengalami gangguan syaraf,” ungkapnya.

Karena itu, dia menambahkan, ada yang perlu ditangani ahli syaraf dan psikiatri lantaran kondisi kejiwaannya terganggu. Bahkan, ada yang menganggap bahwa Covid-19 adalah virus dengan seribu wajah. “Oleh karena itu, penyintas yang masih mengalami gejala sisa perlu menjalani masa pemulihan yang lebih panjang. Rekomendasinya, dibantu dengan menambah nutrisi dan gizi, istirahat yang cukup, dan olahraga teratur,” terangnya.

Faktor usia juga memengaruhi. Belum lagi, dengan adanya varian virus baru seperti B117. Virus tersebut, dia berkata, sangat kuat dan bisa mematikan tanpa gejala. Pada virus sebelumnya, indra penciuman berkurang dan sesak. “Namun, untuk virus ini (B117, Red), tanpa gejala pun bisa langsung masuk,” ungkapnya.

Harapannya, para penyintas harus hati-hati lantaran bisa menyerang, bergantung kadar antibodi masing-masing. Untuk itu, pemeriksaan lanjutan terkait dengan kadar antibodi masih diperlukan. Hal itu juga sempat menjadi acuan atas vaksinasi. Di mana seorang penyintas yang kadar antibodinya rendah harus segera divaksin agar tidak terpapar lagi. Namun, ada pula yang kadarnya tinggi sehingga harus menunggu tiga bulan.

 

 

Jurnalis : Isnein Purnomo
Fotografer : Freepik.com
Redaktur : Mahrus Sholih

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca