AMLAPURA, RADARJEMBER.ID – Kain Gringsing merupakan salah satu warisan budaya Bali. Namun, karakter kain Gringsing Tenganan, Pegringsingan, Kecamatan Manggis, Karangasem ini ada yang unik. Semakin lama usianya maka kualitas warna yang muncul dari kain ini semakin hidup dan metaksu. Keawetan dari kain sakral ini juga ditentukan oleh tata cara penyimpanan dan penggunaan.
BACA JUGA : Jangan Loyo saat Porprov
Kelian Adat Tenganan Pegringsingan Putu Yudiana kepada Bali Express (Jawa Pos Group) mengatakan, kain yang masih dianggap baru itu adalah usia antara 0-30 tahun. Sedangkan yang menengah mencapai 35-80 tahun. Nah, yang dianggap sudah tua usianya di kisaran 90 sampai ratusan tahun. “Sudah pasti harga juga mengikuti. Semakin baru harganya makin murah, makin tua usianya semakin mahal,” paparnya.
Kain yang usianya belum begitu tua atau baru, harganya bervariasi. Mulai kisaran harga Rp 800.000 hingga Rp 1 juta untuk untuk ukuran kecil. Sedangkan ukuran petang likur mulai dari Rp 2 juta sampai Rp 4,5 juta. Dan yang petang dasa selembar kain ini bisa tembus di kisaran Rp 8 juta hingga Rp 9 juta. Kalau wayang bahkan harganya Rp 15-20 juta. “Kita berbicara grade yang masih baru. Kalau usianya tua, biasanya harganya tembus ratusan juta,” sebutnya. Kenapa semakin lama semakin mahal? Dikatakan Yudiana karena kain Gringsing pakai pewarna alami. Semakin lama, itu semakin bagus warnanya. Kualitas benangnya tergantung penyimpanan. Maka dari itu harus disimpan dengan baik. “Yang penting menyimpannya bagus, karena Gringsing paling takut dengan jamur. Kalau dicuci, bisa, tapi jangan pakai detergen. Yang bagus cuci pakai air hujan,” pesannya.
Menurut Yudiana terkait prosesi ritual saat pembuatan kain Gringsing, dirinya tak menampik hal itu dilakukan. Tujuannya untuk menjaga taksu dan kesakralan kain tersebut, mengingat menjadi sarana ritual. Misalnya mulai persembahyangan, minimal mencari hari baik saat proses pembuatan. Ada persembahan khusus. Bahkan, kalau perajin sedang datang bulan (menstruasi) maka pantang untuk melakukan aktivitas membuat kain ini maupun mengambil benang. Jika ada kematian di lingkungan desa adat, pekerjaan menenun juga kerap dihentikan. Karena ada cemer secara spiritual (keletehan).
Pekerjaan menenun dimulai lagi jika sudah lewat 12 hari diselenggarakan upacara pembersihan spiritual (mekelud biji). Begitu juga dalam motif-motif tenun dengan konsep mitos dari Dewa Indra yang dipercaya bisa menyembuhkan penyakit, seperti motif awan, bintang, bulan, binatang malam dan sejenisnya. Di Tenganan, ada beberapa upacara yang wajib menggunakan Gringsing. Seperti digunakan Nyangjangan, Rejang Nyandang Kebo, wajib menggunakan Gringsing. Ada pula upacara Metruna nyoman, medeha yang menggunakan kain sakral ini. (*)
Editor : Yerry Arintoko Aji
Foto : I Putu Mardika/Bali Express
Sumber Berita : baliexpress.jawapos.com