JEMBER, RADARJEMBER.ID – Kondisi psikis pasien Covid-19 nyatanya sangat mempengaruhi proses penyembuhan. Ini menjadi salah satu faktor yang ditengarai menjadi penyebab fisik pasien menjadi down, bahkan hingga sampai meninggal dunia.
Seperti yang dialami salah seorang tenaga pendidik, yang meninggal dunia akibat terpapar Covid-19. Sebelumnya, tersiar kabar bahwa salah seorang tenaga pendidik di Kecamatan Tanggul, YN, terpapar Covid-19 karena tertular menantunya yang merupakan seorang TNI, FQ, yang baru datang dari Jakarta.
Hasil positif YN didapat setelah dirinya menjalani tracing lantaran sang menantu, FQ, terbukti positif Covid-19. Tepatnya pada Sabtu (5/6), berdasarkan data rilis satgas Covid-19. Namun, tak berselang lama, YN dinyatakan meninggal dunia beberapa saat setelah dirujuk ke Rumah Sakit Jatiroto, Lumajang, pada Selasa (8/6) petang.
Berdasarkan data yang dihimpun Jawa Pos Radar Jember, salah seorang kerabat korban, KN, menerangkan bahwa sebetulnya YN dalam kondisi baik-baik saja. Bahkan, tak ada gejala sedikit pun saat dirinya dinyatakan terpapar Covid-19. Belum lagi, melalui pesan WhatsApp, KN mengungkapkan bahwa YN juga kerap memberikan kabar bahwa dirinya baik-baik saja.
Namun, lanjutnya, YN mengaku kerap merasa bersalah lantaran dirinya terbukti terpapar Covid-19. Sebab, orang lain harus menjalani tracing. Bahkan, dirinya juga mengaku bersalah lantaran atas kondisi dirinya, sekolah harus lockdown. Selain itu, KN menyatakan bahwa YN juga merasa tertekan karena pemberitaan yang masif di media sosial terkait dengan satu keluarga yang terpapar Covid-19.
Belum lagi, tersebarnya identitas satu keluarga beserta runtutan kejadian mengakibatkan banyak kerabat yang langsung menghubungi YN secara pribadi. Diduga, hal itu menjadi salah satu daftar panjang yang mengakibatkan YN tertekan sehingga kondisi tubuhnya semakin memburuk.
Dikonfirmasi secara terpisah, Plt Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan Kabupaten Jember dr Alfi Yudisianto membenarkan adanya hal tersebut. Memang tidak ada gejala dan korban meninggal secara mendadak. Namun, pada Senin (7/6) siang, dr Alfi menerangkan bahwa YN mengalami gejala sesak napas. “Sudah disarankan ngamar, tapi keluarganya tidak berkenan,” lanjutnya.
Dengan alasan, ingin melihat perkembangan. Bahkan, sore hari kembali disarankan merujuk ke RS, juga masih buntu. “Malam baru dirujuk, ternyata nggak nutut,” ulasnya.
Karena tak ada gejala, pihaknya menduga bahwa YN mengalami kondisi hipoksia. Yakni kondisi kekurangan oksigen dalam sel dan jaringan tubuh, sehingga fungsi normalnya mengalami gangguan. Kekurangan pasokan oksigen ini bisa berdampak pada jantung. Untuk data lanjutan, pihaknya kesulitan mendapatkan informasi karena yang bersangkutan tidak bersedia segera berangkat ke rumah sakit.
Dugaan lain, dr Alfi menerangkan bahwa korban juga mengalami tekanan psikis. Seperti diketahui, stigma Covid-19 saat ini memang luar biasa. Beberapa orang yang niatnya hanya bertanya kabar, bisa saja menyebarkannya kepada orang lain. “Yang diharapkan kan orang bertanya itu sekaligus memberikan support, tapi tidak semua,” ungkapnya.
Lalu, sebesar apa dampak yang diakibatkan tekanan psikis pada korban sehingga menyebabkan kematian? Ketua Bidang Pengkajian dan Pengembangan Keilmuan di Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) Jember Jajuk Siti Nurhaqimah mengungkapkan bahwa terdapat beberapa kemungkinan yang mengakibatkan munculnya stres dalam diri YN. Pertama, rasa bersalah yang diungkapkannya kepada para rekan. “Hal itu sudah membuatnya tertekan,” paparnya.
Kedua, karena banyaknya berita miring yang dia baca di media sosial terkait dengan keluarganya yang terpapar Covid-19. Ketiga, terkait dengan banyak yang bertanya kepada dirinya secara langsung melalui pesan WhatsApp. “Hal itu membuatnya tambah tertekan,” tegasnya.
Imbas Dugaan Kebocoran Data
Kematian salah seorang tenaga pendidik korban klaster keluarga, belum lama ini, perlu mendapatkan perhatian semua kalangan. Sebab, ada yang seharusnya tidak terjadi sehingga mengakibatkan kematian. Yakni, terkait dengan bocornya data diri para pasien penderita Covid-19.
KN menuturkan bahwa banyak pihak yang secara langsung mengirimkan pesan kepada YN terkait dengan kabar dirinya yang terpapar Covid-19. Hal itu mereka ketahui setelah mendapatkan pesan WhatsApp yang berisikan data lengkap para pasien. Mulai nama lengkap, usia, alamat, hingga profesi masing-masing. Bahkan, pemberitaannya sudah masif di media sosial.
Nyatanya, ada data lengkap yang juga tersebar di pesan WhatsApp. Data itu berisi tentang nama lengkap, usia, alamat, bahkan jalan cerita kali pertama YN terpapar Covid-19 beserta keluarganya. Padahal, data itu merupakan kebutuhan internal satgas Covid-19 dan tak boleh disebarluaskan. Dalam hal ini, tentu ada oknum yang membocorkan data itu sehingga dimiliki banyak orang.
Untuk mengulik informasi terkait itu, Jawa Pos Radar Jember coba mengonfirmasi Juru Bicara Satgas Covid-19 Kabupaten Jember Habib Salim. Namun, dia menegaskan bahwa dirinya sama sekali tidak tahu bahwa pesan itu sudah tersebar luas melalui pesan WhatsApp. Bahkan, dia baru tahu saat dikonfirmasi Jawa Pos Radar Jember. “Kok bisa tersebar luas, padahal itu data internal satgas,” tegasnya.
Ditanya tentang kemungkinan adanya oknum yang biasa menyebarluaskan informasi pasien, dia juga tidak bisa mendeteksinya. Kalau untuk pemberitaan, lanjutnya, data yang keluar biasanya hanya jumlah dan asal kecamatan saja. Sementara, data komplet tidak boleh dipublikasikan sembarangan.
Artinya, kinerja satgas Covid-19 terkait dengan kerahasiaan informasi pasien masih lemah. Akibatnya, data yang sifatnya rahasia itu dapat diketahui publik. Seperti diketahui, maksud dan tujuan seseorang saat mengetahui data yang sifatnya rahasia itu sangat beragam. “Ke depan, saya upayakan agar data-data pasien tidak disebarluaskan,” ungkapnya. Dia juga mengaku heran mengapa hal tersebut bisa terjadi.
Jurnalis : Isnein Purnomo
Fotografer : Dokumentasi Radar Jember
Redaktur : Lintang Anis Bena Kinanti