23 C
Jember
Saturday, 25 March 2023

70 Persen Ibu Alami Baby Blues Syndrome

Mobile_AP_Rectangle 1

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Berita tentang ibu yang membuang bayinya ke sumur pada akhir Maret kemarin menjadi tanda tanya besar, mengapa hal itu bisa terjadi. Menurut psikolog, kondisi itu karena terdapat aspek psikologis ibu. Bukan hanya terkait kriminal semata.

Baca Juga : Anaknya Dibunuh, Keluarga Menuntut Hukuman Berat. Begini Kronologinya

Kejadian itu merupakan puncak atau dampak dari seorang ibu yang mengalami baby blues dan tak bisa dikendalikan lagi. Stres yang cukup parah karena sebab yang terjadi sebelumnya. Lalu, apa itu baby blues, sehingga bisa memicu hal separah itu?

Mobile_AP_Rectangle 2

Rya Wiyatfi Linsiya, psikolog dan dosen Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Jember, menjelaskan, baby blues syndrome dalam pandangan psikologi lebih kepada gangguan psikologi atau depresi ringan yang bentuknya adalah perubahan mood. Sering kali juga dikatakan sebagai bentuk depresi ringan yang dirasakan oleh ibu pasca-melahirkan. “Hampir 70 persen ibu pasca-melahirkan mengalaminya,” terangnya.

Hal ini memang sering kali muncul cukup signifikan dan lama pada ibu. Menurutnya, bisa jadi setelah melahirkan sampai dua minggu, bahkan satu bulan. Meskipun kondisi tersebut akan hilang dengan sendirinya, namun harus tetap diwaspadai. “Seandainya dibiarkan atau tidak kunjung tuntas, dikhawatirkan bisa mengarah pada post partum depression, yang arahnya lebih berat lagi dan tidak bisa dikendalikan. Apalagi gangguan itu dialami lebih dari satu bulan,” tuturnya.

Ada beberapa hal yang bisa jadi menyebabkan ibu mengalami baby blues syndrome. Seperti perubahan hormon setelah melahirkan. “Ada penurunan beberapa hormon, baik estrogen maupun progesteron yang bisa berpengaruh pada mood yang dimiliki oleh ibu pasca-melahirkan,” terangnya.

Selain itu, juga ada faktor fisik, psikis, dan sosial yang menjadi pemicu terjadinya baby blues syndrome. Penyebab fisik seperti ibu yang merasa adanya perubahan pada dirinya. Kurangnya waktu istirahat, merasa lelah secara fisik, atau ibu merasa terbebani atas kebiasaan barunya setelah melahirkan.

Penyebab psikis, bisa jadi karena ibu tidak siap untuk memiliki dan menerima kehadiran bayi. “Faktor yang lain ibu merasa tidak mampu untuk mengurus bayi. Sehingga ibu merasa tidak bisa mengatasi permasalahan-permasalahan pada saat pertama menjadi ibu,” jelasnya.

Seperti bayi yang sering menangis, lalu ibu merasa bingung apa yang harus dilakukan. Menurutnya, ibu kadang ikut menangis. “Rasa putus asa kadang mendera ibu pasca-melahirkan, kemudian muncul ketidakpercayaan dirinya. Misalnya saja, tidak bisa menyusui karena ASI-nya sedikit atau kualitasnya, dan terjadinya perubahan bentuk tubuh,” jelasnya.

Komentar dari lingkungan sekitar yang mengarah pada bullying menjadi faktor sosial ibu mengalami baby blues syndrome. “Proses persalinannya yang Caesar, itu juga bisa jadi pemicu. Hal-hal sederhana berupa sindiran bisa menjadi hal yang sangat dipikirkan ibu, kemudian berdampak pada psikisnya,” ucapnya.

Dia juga menyebutkan bahwa gejala gangguan ini biasanya bisa teridentifikasi secara umum, dari yang ringan hingga berat. Salah satunya cemas berlebihan, ibu menangis tanpa sebab, mudah tersinggung atau sensitif, susah tidur, dan berat badan turun. “Pada gangguan yang tarafnya lebih berat bisa mengarah pada bunuh diri. Ada keinginan ibu untuk mengakhiri hidupnya, atau menyakiti bayinya karena merasa daripada tidak berguna,” pungkasnya.

Menurutnya, gangguan ini biasanya rentan dialami oleh perempuan yang baru pertama menjadi ibu, namun tidak tertutup kemungkinan juga terjadi pada ibu yang melahirkan anak kedua atau ketiganya. “Keterbukaan ibu juga diperlukan, jika memerlukan bantuan untuk merawat bayinya. Memperhatikan gizi untuk asupannya sebagai energi. Terbuka kepada suami bisa dilakukan, agar dia bisa survive, bertahan, bangkit,” jelas psikolog perempuan ini saat menjelaskan cara pencegahan dan pemulihan baby blues syndrome. Menurutnya, tidak hanya bayi yang baru dilahirkan yang perlu diperhatikan, ibunya pun harus diperhatikan. (Mg8/c2/dwi)

- Advertisement -

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Berita tentang ibu yang membuang bayinya ke sumur pada akhir Maret kemarin menjadi tanda tanya besar, mengapa hal itu bisa terjadi. Menurut psikolog, kondisi itu karena terdapat aspek psikologis ibu. Bukan hanya terkait kriminal semata.

Baca Juga : Anaknya Dibunuh, Keluarga Menuntut Hukuman Berat. Begini Kronologinya

Kejadian itu merupakan puncak atau dampak dari seorang ibu yang mengalami baby blues dan tak bisa dikendalikan lagi. Stres yang cukup parah karena sebab yang terjadi sebelumnya. Lalu, apa itu baby blues, sehingga bisa memicu hal separah itu?

Rya Wiyatfi Linsiya, psikolog dan dosen Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Jember, menjelaskan, baby blues syndrome dalam pandangan psikologi lebih kepada gangguan psikologi atau depresi ringan yang bentuknya adalah perubahan mood. Sering kali juga dikatakan sebagai bentuk depresi ringan yang dirasakan oleh ibu pasca-melahirkan. “Hampir 70 persen ibu pasca-melahirkan mengalaminya,” terangnya.

Hal ini memang sering kali muncul cukup signifikan dan lama pada ibu. Menurutnya, bisa jadi setelah melahirkan sampai dua minggu, bahkan satu bulan. Meskipun kondisi tersebut akan hilang dengan sendirinya, namun harus tetap diwaspadai. “Seandainya dibiarkan atau tidak kunjung tuntas, dikhawatirkan bisa mengarah pada post partum depression, yang arahnya lebih berat lagi dan tidak bisa dikendalikan. Apalagi gangguan itu dialami lebih dari satu bulan,” tuturnya.

Ada beberapa hal yang bisa jadi menyebabkan ibu mengalami baby blues syndrome. Seperti perubahan hormon setelah melahirkan. “Ada penurunan beberapa hormon, baik estrogen maupun progesteron yang bisa berpengaruh pada mood yang dimiliki oleh ibu pasca-melahirkan,” terangnya.

Selain itu, juga ada faktor fisik, psikis, dan sosial yang menjadi pemicu terjadinya baby blues syndrome. Penyebab fisik seperti ibu yang merasa adanya perubahan pada dirinya. Kurangnya waktu istirahat, merasa lelah secara fisik, atau ibu merasa terbebani atas kebiasaan barunya setelah melahirkan.

Penyebab psikis, bisa jadi karena ibu tidak siap untuk memiliki dan menerima kehadiran bayi. “Faktor yang lain ibu merasa tidak mampu untuk mengurus bayi. Sehingga ibu merasa tidak bisa mengatasi permasalahan-permasalahan pada saat pertama menjadi ibu,” jelasnya.

Seperti bayi yang sering menangis, lalu ibu merasa bingung apa yang harus dilakukan. Menurutnya, ibu kadang ikut menangis. “Rasa putus asa kadang mendera ibu pasca-melahirkan, kemudian muncul ketidakpercayaan dirinya. Misalnya saja, tidak bisa menyusui karena ASI-nya sedikit atau kualitasnya, dan terjadinya perubahan bentuk tubuh,” jelasnya.

Komentar dari lingkungan sekitar yang mengarah pada bullying menjadi faktor sosial ibu mengalami baby blues syndrome. “Proses persalinannya yang Caesar, itu juga bisa jadi pemicu. Hal-hal sederhana berupa sindiran bisa menjadi hal yang sangat dipikirkan ibu, kemudian berdampak pada psikisnya,” ucapnya.

Dia juga menyebutkan bahwa gejala gangguan ini biasanya bisa teridentifikasi secara umum, dari yang ringan hingga berat. Salah satunya cemas berlebihan, ibu menangis tanpa sebab, mudah tersinggung atau sensitif, susah tidur, dan berat badan turun. “Pada gangguan yang tarafnya lebih berat bisa mengarah pada bunuh diri. Ada keinginan ibu untuk mengakhiri hidupnya, atau menyakiti bayinya karena merasa daripada tidak berguna,” pungkasnya.

Menurutnya, gangguan ini biasanya rentan dialami oleh perempuan yang baru pertama menjadi ibu, namun tidak tertutup kemungkinan juga terjadi pada ibu yang melahirkan anak kedua atau ketiganya. “Keterbukaan ibu juga diperlukan, jika memerlukan bantuan untuk merawat bayinya. Memperhatikan gizi untuk asupannya sebagai energi. Terbuka kepada suami bisa dilakukan, agar dia bisa survive, bertahan, bangkit,” jelas psikolog perempuan ini saat menjelaskan cara pencegahan dan pemulihan baby blues syndrome. Menurutnya, tidak hanya bayi yang baru dilahirkan yang perlu diperhatikan, ibunya pun harus diperhatikan. (Mg8/c2/dwi)

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Berita tentang ibu yang membuang bayinya ke sumur pada akhir Maret kemarin menjadi tanda tanya besar, mengapa hal itu bisa terjadi. Menurut psikolog, kondisi itu karena terdapat aspek psikologis ibu. Bukan hanya terkait kriminal semata.

Baca Juga : Anaknya Dibunuh, Keluarga Menuntut Hukuman Berat. Begini Kronologinya

Kejadian itu merupakan puncak atau dampak dari seorang ibu yang mengalami baby blues dan tak bisa dikendalikan lagi. Stres yang cukup parah karena sebab yang terjadi sebelumnya. Lalu, apa itu baby blues, sehingga bisa memicu hal separah itu?

Rya Wiyatfi Linsiya, psikolog dan dosen Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Jember, menjelaskan, baby blues syndrome dalam pandangan psikologi lebih kepada gangguan psikologi atau depresi ringan yang bentuknya adalah perubahan mood. Sering kali juga dikatakan sebagai bentuk depresi ringan yang dirasakan oleh ibu pasca-melahirkan. “Hampir 70 persen ibu pasca-melahirkan mengalaminya,” terangnya.

Hal ini memang sering kali muncul cukup signifikan dan lama pada ibu. Menurutnya, bisa jadi setelah melahirkan sampai dua minggu, bahkan satu bulan. Meskipun kondisi tersebut akan hilang dengan sendirinya, namun harus tetap diwaspadai. “Seandainya dibiarkan atau tidak kunjung tuntas, dikhawatirkan bisa mengarah pada post partum depression, yang arahnya lebih berat lagi dan tidak bisa dikendalikan. Apalagi gangguan itu dialami lebih dari satu bulan,” tuturnya.

Ada beberapa hal yang bisa jadi menyebabkan ibu mengalami baby blues syndrome. Seperti perubahan hormon setelah melahirkan. “Ada penurunan beberapa hormon, baik estrogen maupun progesteron yang bisa berpengaruh pada mood yang dimiliki oleh ibu pasca-melahirkan,” terangnya.

Selain itu, juga ada faktor fisik, psikis, dan sosial yang menjadi pemicu terjadinya baby blues syndrome. Penyebab fisik seperti ibu yang merasa adanya perubahan pada dirinya. Kurangnya waktu istirahat, merasa lelah secara fisik, atau ibu merasa terbebani atas kebiasaan barunya setelah melahirkan.

Penyebab psikis, bisa jadi karena ibu tidak siap untuk memiliki dan menerima kehadiran bayi. “Faktor yang lain ibu merasa tidak mampu untuk mengurus bayi. Sehingga ibu merasa tidak bisa mengatasi permasalahan-permasalahan pada saat pertama menjadi ibu,” jelasnya.

Seperti bayi yang sering menangis, lalu ibu merasa bingung apa yang harus dilakukan. Menurutnya, ibu kadang ikut menangis. “Rasa putus asa kadang mendera ibu pasca-melahirkan, kemudian muncul ketidakpercayaan dirinya. Misalnya saja, tidak bisa menyusui karena ASI-nya sedikit atau kualitasnya, dan terjadinya perubahan bentuk tubuh,” jelasnya.

Komentar dari lingkungan sekitar yang mengarah pada bullying menjadi faktor sosial ibu mengalami baby blues syndrome. “Proses persalinannya yang Caesar, itu juga bisa jadi pemicu. Hal-hal sederhana berupa sindiran bisa menjadi hal yang sangat dipikirkan ibu, kemudian berdampak pada psikisnya,” ucapnya.

Dia juga menyebutkan bahwa gejala gangguan ini biasanya bisa teridentifikasi secara umum, dari yang ringan hingga berat. Salah satunya cemas berlebihan, ibu menangis tanpa sebab, mudah tersinggung atau sensitif, susah tidur, dan berat badan turun. “Pada gangguan yang tarafnya lebih berat bisa mengarah pada bunuh diri. Ada keinginan ibu untuk mengakhiri hidupnya, atau menyakiti bayinya karena merasa daripada tidak berguna,” pungkasnya.

Menurutnya, gangguan ini biasanya rentan dialami oleh perempuan yang baru pertama menjadi ibu, namun tidak tertutup kemungkinan juga terjadi pada ibu yang melahirkan anak kedua atau ketiganya. “Keterbukaan ibu juga diperlukan, jika memerlukan bantuan untuk merawat bayinya. Memperhatikan gizi untuk asupannya sebagai energi. Terbuka kepada suami bisa dilakukan, agar dia bisa survive, bertahan, bangkit,” jelas psikolog perempuan ini saat menjelaskan cara pencegahan dan pemulihan baby blues syndrome. Menurutnya, tidak hanya bayi yang baru dilahirkan yang perlu diperhatikan, ibunya pun harus diperhatikan. (Mg8/c2/dwi)

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca