PATRANG, RADARJEMBER.ID — Selama tahun 2022, angka putus sekolah tingkat SD di Jember terbilang rendah. Namun, masih ada saja beberapa siswa yang berhenti sekolah karena imbas hubungan rumah tangga kedua orang tuanya yang rusak (broken home).
Akibatnya, sampai mengorbankan nasib pendidikan sang anak. Hal ini turut disampaikan oleh Dinas Pendidikan (Dispendik) Jember, belum lama ini. Siswa yang masih menempuh pendidikan tingkat SD memerlukan kawalan yang intens dari orang tua. Sebab, usia mereka masih tergolong anak-anak yang membutuhkan pengawasan dalam kesehariannya.
Hal ini hanya bisa dilakukan oleh keluarga tempat anak tinggal. Sebab, keluarga tidak mungkin memberikan informasi buruk terhadap anak, sebagaimana ketika pergaulan bebas di luaran.
Kepala Bidang (Kabid) SD Dispendik Jember Endang Sulistyowati mengatakan, ketika terjadi masalah dan proses belajarnya di sekolah, seperti putus sekolah, sebaiknya orang tua menjadi pihak pertama yang harus introspeksi diri. Sebab, mereka yang gagal membimbing anaknya di luar jam sekolah.
“Orang tua yang pertama kali harus sadar diri. Selama ini bimbingannya seperti apa. Jangan-jangan anaknya jadi rebutan karena rumah tangganya hancur,” terangnya.
Setelah itu, baru introspeksi dari guru masing-masing tempat anak sekolah. Pastikan anak tidak merasa tertekan ketika menjalani proses pembelajaran. Itu sudah menjadi tugas guru. “Baru koreksi tenaga pengajar yang ada di sekolah. Pastikan para guru tersebut memenuhi kompetensi guru,” jelas Endang kepada Jawa Pos Radar Jember.
Lebih lanjut, anak putus sekolah atau yang bermasalah paling banyak diakibatkan oleh rusaknya rumah tangga keluarganya. Akhirnya mereka tidak mendapat pengawasan yang maksimal dari keluarga, ditambah pergaulan anak semakin tidak terkontrol. “Kadang bapak dan ibunya rebutan anaknya. Itu sering terjadi, dan tentu sangat tidak baik untuk masa depan pendidikan anak. Ada juga yang ditinggal bersama neneknya yang tua renta, sehingga tidak bisa memberikan bimbingan lebih. Kondisi ini yang sering berdampak pada rusaknya pendidikan anak,” tambahnya.
Pihaknya berharap kepada masyarakat, khususnya yang berperan sebagai orang tua, hendaknya tidak mengorbankan anak dalam kondisi apa pun. Sebab, mereka masih mempunyai masa depan sendiri. “Biarkan yang rusak itu orang tuanya. Jangan sampai mengorbankan anak dalam keadaan apa pun, kasihan. Dia masih mempunyai jalan yang panjang untuk masa depannya,” pungkasnya. (mg4/c2/bud)
Broken Home Kerap Picu Anak Putus Sekolah

PATRANG, RADARJEMBER.ID — Selama tahun 2022, angka putus sekolah tingkat SD di Jember terbilang rendah. Namun, masih ada saja beberapa siswa yang berhenti sekolah karena imbas hubungan rumah tangga kedua orang tuanya yang rusak (broken home).
Akibatnya, sampai mengorbankan nasib pendidikan sang anak. Hal ini turut disampaikan oleh Dinas Pendidikan (Dispendik) Jember, belum lama ini. Siswa yang masih menempuh pendidikan tingkat SD memerlukan kawalan yang intens dari orang tua. Sebab, usia mereka masih tergolong anak-anak yang membutuhkan pengawasan dalam kesehariannya.
Hal ini hanya bisa dilakukan oleh keluarga tempat anak tinggal. Sebab, keluarga tidak mungkin memberikan informasi buruk terhadap anak, sebagaimana ketika pergaulan bebas di luaran.
Kepala Bidang (Kabid) SD Dispendik Jember Endang Sulistyowati mengatakan, ketika terjadi masalah dan proses belajarnya di sekolah, seperti putus sekolah, sebaiknya orang tua menjadi pihak pertama yang harus introspeksi diri. Sebab, mereka yang gagal membimbing anaknya di luar jam sekolah.
“Orang tua yang pertama kali harus sadar diri. Selama ini bimbingannya seperti apa. Jangan-jangan anaknya jadi rebutan karena rumah tangganya hancur,” terangnya.
Setelah itu, baru introspeksi dari guru masing-masing tempat anak sekolah. Pastikan anak tidak merasa tertekan ketika menjalani proses pembelajaran. Itu sudah menjadi tugas guru. “Baru koreksi tenaga pengajar yang ada di sekolah. Pastikan para guru tersebut memenuhi kompetensi guru,” jelas Endang kepada Jawa Pos Radar Jember.
Lebih lanjut, anak putus sekolah atau yang bermasalah paling banyak diakibatkan oleh rusaknya rumah tangga keluarganya. Akhirnya mereka tidak mendapat pengawasan yang maksimal dari keluarga, ditambah pergaulan anak semakin tidak terkontrol. “Kadang bapak dan ibunya rebutan anaknya. Itu sering terjadi, dan tentu sangat tidak baik untuk masa depan pendidikan anak. Ada juga yang ditinggal bersama neneknya yang tua renta, sehingga tidak bisa memberikan bimbingan lebih. Kondisi ini yang sering berdampak pada rusaknya pendidikan anak,” tambahnya.
Pihaknya berharap kepada masyarakat, khususnya yang berperan sebagai orang tua, hendaknya tidak mengorbankan anak dalam kondisi apa pun. Sebab, mereka masih mempunyai masa depan sendiri. “Biarkan yang rusak itu orang tuanya. Jangan sampai mengorbankan anak dalam keadaan apa pun, kasihan. Dia masih mempunyai jalan yang panjang untuk masa depannya,” pungkasnya. (mg4/c2/bud)
PATRANG, RADARJEMBER.ID — Selama tahun 2022, angka putus sekolah tingkat SD di Jember terbilang rendah. Namun, masih ada saja beberapa siswa yang berhenti sekolah karena imbas hubungan rumah tangga kedua orang tuanya yang rusak (broken home).
Akibatnya, sampai mengorbankan nasib pendidikan sang anak. Hal ini turut disampaikan oleh Dinas Pendidikan (Dispendik) Jember, belum lama ini. Siswa yang masih menempuh pendidikan tingkat SD memerlukan kawalan yang intens dari orang tua. Sebab, usia mereka masih tergolong anak-anak yang membutuhkan pengawasan dalam kesehariannya.
Hal ini hanya bisa dilakukan oleh keluarga tempat anak tinggal. Sebab, keluarga tidak mungkin memberikan informasi buruk terhadap anak, sebagaimana ketika pergaulan bebas di luaran.
Kepala Bidang (Kabid) SD Dispendik Jember Endang Sulistyowati mengatakan, ketika terjadi masalah dan proses belajarnya di sekolah, seperti putus sekolah, sebaiknya orang tua menjadi pihak pertama yang harus introspeksi diri. Sebab, mereka yang gagal membimbing anaknya di luar jam sekolah.
“Orang tua yang pertama kali harus sadar diri. Selama ini bimbingannya seperti apa. Jangan-jangan anaknya jadi rebutan karena rumah tangganya hancur,” terangnya.
Setelah itu, baru introspeksi dari guru masing-masing tempat anak sekolah. Pastikan anak tidak merasa tertekan ketika menjalani proses pembelajaran. Itu sudah menjadi tugas guru. “Baru koreksi tenaga pengajar yang ada di sekolah. Pastikan para guru tersebut memenuhi kompetensi guru,” jelas Endang kepada Jawa Pos Radar Jember.
Lebih lanjut, anak putus sekolah atau yang bermasalah paling banyak diakibatkan oleh rusaknya rumah tangga keluarganya. Akhirnya mereka tidak mendapat pengawasan yang maksimal dari keluarga, ditambah pergaulan anak semakin tidak terkontrol. “Kadang bapak dan ibunya rebutan anaknya. Itu sering terjadi, dan tentu sangat tidak baik untuk masa depan pendidikan anak. Ada juga yang ditinggal bersama neneknya yang tua renta, sehingga tidak bisa memberikan bimbingan lebih. Kondisi ini yang sering berdampak pada rusaknya pendidikan anak,” tambahnya.
Pihaknya berharap kepada masyarakat, khususnya yang berperan sebagai orang tua, hendaknya tidak mengorbankan anak dalam kondisi apa pun. Sebab, mereka masih mempunyai masa depan sendiri. “Biarkan yang rusak itu orang tuanya. Jangan sampai mengorbankan anak dalam keadaan apa pun, kasihan. Dia masih mempunyai jalan yang panjang untuk masa depannya,” pungkasnya. (mg4/c2/bud)