28.2 C
Jember
Wednesday, 22 March 2023

PKL Maju, Lalin Terganggu, Penertiban Lesu

Pedagang kaki lima atau disebut PKL menjadi salah satu mata pencarian masyarakat yang khas di Indonesia, termasuk di Jember. Sayangnya, banyak yang terkesan ngawur, trotoar dikuasai, lebih maju sampai pinggir jalan, lalu lintas terganggu, namun tiada penertiban.

Mobile_AP_Rectangle 1

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Jalan Jawa menjadi jalan yang terkenal di kawasan Kampus Jember. Bahkan, lokasi ini pun dijadikan judul lagu band lokal Jember, Twinbee. Lagu ini menceritakan Jalan Jawa sebagai tempat yang asyik.

Apabila merasakan jalan kaki di Jalan Jawa, mulai dari bundaran DPR, memang terasa asyik. Berjalan di atas trotoarnya bisa melihat-lihat pertokoan, mulai dari distro, toko sepatu, kafe, hingga studio foto. Namun, keasyikan jalan kaki di trotoar harus terhenti saat memasuki gerbang ekonomi kampus Universitas Jember dekat kantor Bank Jatim. Trotoar yang semula bersih dari gangguan, berubah 180 derajat dan tidak bisa dilewati lagi.

Penyebabnya, para PKL telah menguasai jalan yang dikhususkan untuk pejalan kaki. Trotoar dipakai sebagai warung lesehan, sedangkan pinggir jalan maupun bahu jalan juga digunakan untuk gerobak makanan. Aktivitas gerobak PKL di Jalan Jawa ini setidaknya memakan lahan di depan trotoar sekitar 2 meter jalan. Tak heran, bahu jalan pun ada yang dicaplok.

Mobile_AP_Rectangle 2

Lahan yang terpakai akibat adanya warung masih berpotensi lebih maju lagi. Ini bisa terjadi jika ada orang yang parkir di depan gerobak makanan milik PKL.

Suharyo, pedagang PKL Jalan Jawa, mengaku, sempat ada yang mengatur jarak gerobak makanan di bahu jalan. “Tahun berapa saya lupa, tapi waktu itu Bupati Jember masih Pak Djalal (MZA Djalal, Red). Pengaturannya gerobak tidak boleh dinaikkan ke trotoar dan ada jarak berapa jauh gerobak diletakkan di jalan,” jelasnya.

Jarak itu pun ditunjukkan, yaitu batas aspal baru. “Batasnya dulu ya aspal baru dan lama,” jelasnya. Jaraknya sekitar satu meter, tapi seiring berjalannya waktu pengaturan tidak ada, pengawasan juga melempem. Akhirnya, gerobak PKL semakin maju. “Berapa meter ya ini majunya. Sekitar dua meteran,” ucapnya.

Keberadaan PKL yang menguasai trotoar serta mencaplok jalan, bukan hanya di Jalan Jawa. Sejumlah lokasi lain juga ada yang demikian. Namun, yang kerap menjadi keluhan hingga membuat kepadatan jalan adalah PKL di depan Pasar Sabtuan, Kelurahan Tegal Besar, Kecamatan Kaliwates.

PKL Pasar Sabtuan mayoritas adalah pedagang buah-buahan. PKL ini juga lebih maju dan tidak sekadar menguasai trotoar. Akan tetapi, jaraknya dari trotoar ke bahu jalan sekitar 3 meter. Bahkan, bila ada mobil yang parkir untuk membeli ataupun bongkar muat buah, maka otomatis bahu jalan lebih sempit lagi.

Pantauan Jawa Pos Radar Jember, walau kebanyakan dari pedagang buah itu memakai kendaraan mulai dari Tossa, pikap, hingga sepeda motor, tapi rasanya ada juga yang seperti permanen. Ada gerobak penjual makanan bila tidak berjualan tetap terparkir di trotoar, terpal juga berdiri vertikal dan horizontal di trotoar, hingga ada permainan anak-anak di trotoar meski pada siang hari tidak beroperasi.

Eko Drajat Mulyanto, warga Tegal Besar yang kediamannya tidak jauh dari Pasar Sabtuan, mengatakan, jalan di daerahnya dari dulu memang ramai dan padat. “Dulu Pasar Sabtuan itu bukan pasar tradisional seperti ini, tapi pasar hewan,” katanya.

Bahkan, pada tahun 60-70-an depan Pasar Sabtuan yang sekarang dipakai PKL buah adalah warung plus-plus. Ada semacam warung pijat. “Dulu di sini belum aspal, dan dari dulu memang ramai,” terangnya.

Sejak diganti dengan pasar tradisional, warung plus-plus tidak ada lagi. Jalan juga telah diaspal, secara berangsur mulai muncul PKL buah. “Jadi di sini memang dikenal pasarnya buah,” imbuhnya.

Selanjutnya, pada medio 2013 atau 2014 sempat ada penertiban PKL Pasar Sabtuan dan Dinas Peternakan Jatim membuat pagar. “Pada waktu itu, PKL ditertibkan dan diberi kompensasi. Bahkan, seingat saya kalau tidak salah setiap PKL diberi kambing,” jelasnya.

PKL buah saat itu juga dipindahkan, tapi sayangnya kembali lagi. “Sempat dipindah, tapi mereka ya kembali lagi,” jelasnya. Kondisi PKL yang terus tumbuh subur dan tidak ada pembinaan, menurut Drajat, justru semakin ngawur.

Bahkan, PKL di depan Pasar Sabtuan juga semakin maju di depan trotoar seperti Jalan Jawa. Kesan kumuh pun menjadi salah satu pemandangan setiap hari karena ada pedagang yang menetap. “Sebaiknya PKL itu jualan pakai kendaraan atau gerobak. Jadi, setelah tidak berjualan bisa dibawa pulang, sehingga tidak terkesan kumuh. Ini benar pakai kendaraan, tapi tetap di situ saja,” katanya. Menurut Drajat, paling terasa macet adalah saat bulan puasa. “Kalau puasaan di sini muacet,” tuturnya.

Sedangkan Soleh, pedagang jeruk, mengatakan, ia telah berjualan di trotoar daerah Pasar Sabtuan cukup lama. “Saya termasuk pedagang lama yang merasakan tembok Dinas Peternakan Jatim dibangun,” terangnya.

Sebagai pedagang, dia memahami sebaiknya tidak terlalu banyak memakan bahu jalan untuk berjualan. Dia juga terpaksa memakai bahu jalan hingga lebar tiga meter, karena pedagang lainya melakukan. “Pedagang yang di depan sudah maju, jadi ketutupan dagangan saya. Akhirnya ya ikutan maju. Kalau seandainya dari depan itu rata dan tidak ambil jalan terlalu banyak, maka pedagang lainya juga mengikuti,” paparnya.

Kondisi PKL Pasar Sabtuan menurut Saleh itu kurang sedap. “Saya pribadi lebih setuju ditertibkan. Terlihat kumuh, banyak terpal,” jelasnya. Saleh yang berjualan dengan kendaraan bak terbuka roda tiga, juga langsung pulang membawa kendaraannya bila tidak berjualan. Sayangnya, sampai saat ini penertibannya lesu, sehingga pedagang semakin maju dan lalu lintas terganggu. (c2/nur)

- Advertisement -

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Jalan Jawa menjadi jalan yang terkenal di kawasan Kampus Jember. Bahkan, lokasi ini pun dijadikan judul lagu band lokal Jember, Twinbee. Lagu ini menceritakan Jalan Jawa sebagai tempat yang asyik.

Apabila merasakan jalan kaki di Jalan Jawa, mulai dari bundaran DPR, memang terasa asyik. Berjalan di atas trotoarnya bisa melihat-lihat pertokoan, mulai dari distro, toko sepatu, kafe, hingga studio foto. Namun, keasyikan jalan kaki di trotoar harus terhenti saat memasuki gerbang ekonomi kampus Universitas Jember dekat kantor Bank Jatim. Trotoar yang semula bersih dari gangguan, berubah 180 derajat dan tidak bisa dilewati lagi.

Penyebabnya, para PKL telah menguasai jalan yang dikhususkan untuk pejalan kaki. Trotoar dipakai sebagai warung lesehan, sedangkan pinggir jalan maupun bahu jalan juga digunakan untuk gerobak makanan. Aktivitas gerobak PKL di Jalan Jawa ini setidaknya memakan lahan di depan trotoar sekitar 2 meter jalan. Tak heran, bahu jalan pun ada yang dicaplok.

Lahan yang terpakai akibat adanya warung masih berpotensi lebih maju lagi. Ini bisa terjadi jika ada orang yang parkir di depan gerobak makanan milik PKL.

Suharyo, pedagang PKL Jalan Jawa, mengaku, sempat ada yang mengatur jarak gerobak makanan di bahu jalan. “Tahun berapa saya lupa, tapi waktu itu Bupati Jember masih Pak Djalal (MZA Djalal, Red). Pengaturannya gerobak tidak boleh dinaikkan ke trotoar dan ada jarak berapa jauh gerobak diletakkan di jalan,” jelasnya.

Jarak itu pun ditunjukkan, yaitu batas aspal baru. “Batasnya dulu ya aspal baru dan lama,” jelasnya. Jaraknya sekitar satu meter, tapi seiring berjalannya waktu pengaturan tidak ada, pengawasan juga melempem. Akhirnya, gerobak PKL semakin maju. “Berapa meter ya ini majunya. Sekitar dua meteran,” ucapnya.

Keberadaan PKL yang menguasai trotoar serta mencaplok jalan, bukan hanya di Jalan Jawa. Sejumlah lokasi lain juga ada yang demikian. Namun, yang kerap menjadi keluhan hingga membuat kepadatan jalan adalah PKL di depan Pasar Sabtuan, Kelurahan Tegal Besar, Kecamatan Kaliwates.

PKL Pasar Sabtuan mayoritas adalah pedagang buah-buahan. PKL ini juga lebih maju dan tidak sekadar menguasai trotoar. Akan tetapi, jaraknya dari trotoar ke bahu jalan sekitar 3 meter. Bahkan, bila ada mobil yang parkir untuk membeli ataupun bongkar muat buah, maka otomatis bahu jalan lebih sempit lagi.

Pantauan Jawa Pos Radar Jember, walau kebanyakan dari pedagang buah itu memakai kendaraan mulai dari Tossa, pikap, hingga sepeda motor, tapi rasanya ada juga yang seperti permanen. Ada gerobak penjual makanan bila tidak berjualan tetap terparkir di trotoar, terpal juga berdiri vertikal dan horizontal di trotoar, hingga ada permainan anak-anak di trotoar meski pada siang hari tidak beroperasi.

Eko Drajat Mulyanto, warga Tegal Besar yang kediamannya tidak jauh dari Pasar Sabtuan, mengatakan, jalan di daerahnya dari dulu memang ramai dan padat. “Dulu Pasar Sabtuan itu bukan pasar tradisional seperti ini, tapi pasar hewan,” katanya.

Bahkan, pada tahun 60-70-an depan Pasar Sabtuan yang sekarang dipakai PKL buah adalah warung plus-plus. Ada semacam warung pijat. “Dulu di sini belum aspal, dan dari dulu memang ramai,” terangnya.

Sejak diganti dengan pasar tradisional, warung plus-plus tidak ada lagi. Jalan juga telah diaspal, secara berangsur mulai muncul PKL buah. “Jadi di sini memang dikenal pasarnya buah,” imbuhnya.

Selanjutnya, pada medio 2013 atau 2014 sempat ada penertiban PKL Pasar Sabtuan dan Dinas Peternakan Jatim membuat pagar. “Pada waktu itu, PKL ditertibkan dan diberi kompensasi. Bahkan, seingat saya kalau tidak salah setiap PKL diberi kambing,” jelasnya.

PKL buah saat itu juga dipindahkan, tapi sayangnya kembali lagi. “Sempat dipindah, tapi mereka ya kembali lagi,” jelasnya. Kondisi PKL yang terus tumbuh subur dan tidak ada pembinaan, menurut Drajat, justru semakin ngawur.

Bahkan, PKL di depan Pasar Sabtuan juga semakin maju di depan trotoar seperti Jalan Jawa. Kesan kumuh pun menjadi salah satu pemandangan setiap hari karena ada pedagang yang menetap. “Sebaiknya PKL itu jualan pakai kendaraan atau gerobak. Jadi, setelah tidak berjualan bisa dibawa pulang, sehingga tidak terkesan kumuh. Ini benar pakai kendaraan, tapi tetap di situ saja,” katanya. Menurut Drajat, paling terasa macet adalah saat bulan puasa. “Kalau puasaan di sini muacet,” tuturnya.

Sedangkan Soleh, pedagang jeruk, mengatakan, ia telah berjualan di trotoar daerah Pasar Sabtuan cukup lama. “Saya termasuk pedagang lama yang merasakan tembok Dinas Peternakan Jatim dibangun,” terangnya.

Sebagai pedagang, dia memahami sebaiknya tidak terlalu banyak memakan bahu jalan untuk berjualan. Dia juga terpaksa memakai bahu jalan hingga lebar tiga meter, karena pedagang lainya melakukan. “Pedagang yang di depan sudah maju, jadi ketutupan dagangan saya. Akhirnya ya ikutan maju. Kalau seandainya dari depan itu rata dan tidak ambil jalan terlalu banyak, maka pedagang lainya juga mengikuti,” paparnya.

Kondisi PKL Pasar Sabtuan menurut Saleh itu kurang sedap. “Saya pribadi lebih setuju ditertibkan. Terlihat kumuh, banyak terpal,” jelasnya. Saleh yang berjualan dengan kendaraan bak terbuka roda tiga, juga langsung pulang membawa kendaraannya bila tidak berjualan. Sayangnya, sampai saat ini penertibannya lesu, sehingga pedagang semakin maju dan lalu lintas terganggu. (c2/nur)

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Jalan Jawa menjadi jalan yang terkenal di kawasan Kampus Jember. Bahkan, lokasi ini pun dijadikan judul lagu band lokal Jember, Twinbee. Lagu ini menceritakan Jalan Jawa sebagai tempat yang asyik.

Apabila merasakan jalan kaki di Jalan Jawa, mulai dari bundaran DPR, memang terasa asyik. Berjalan di atas trotoarnya bisa melihat-lihat pertokoan, mulai dari distro, toko sepatu, kafe, hingga studio foto. Namun, keasyikan jalan kaki di trotoar harus terhenti saat memasuki gerbang ekonomi kampus Universitas Jember dekat kantor Bank Jatim. Trotoar yang semula bersih dari gangguan, berubah 180 derajat dan tidak bisa dilewati lagi.

Penyebabnya, para PKL telah menguasai jalan yang dikhususkan untuk pejalan kaki. Trotoar dipakai sebagai warung lesehan, sedangkan pinggir jalan maupun bahu jalan juga digunakan untuk gerobak makanan. Aktivitas gerobak PKL di Jalan Jawa ini setidaknya memakan lahan di depan trotoar sekitar 2 meter jalan. Tak heran, bahu jalan pun ada yang dicaplok.

Lahan yang terpakai akibat adanya warung masih berpotensi lebih maju lagi. Ini bisa terjadi jika ada orang yang parkir di depan gerobak makanan milik PKL.

Suharyo, pedagang PKL Jalan Jawa, mengaku, sempat ada yang mengatur jarak gerobak makanan di bahu jalan. “Tahun berapa saya lupa, tapi waktu itu Bupati Jember masih Pak Djalal (MZA Djalal, Red). Pengaturannya gerobak tidak boleh dinaikkan ke trotoar dan ada jarak berapa jauh gerobak diletakkan di jalan,” jelasnya.

Jarak itu pun ditunjukkan, yaitu batas aspal baru. “Batasnya dulu ya aspal baru dan lama,” jelasnya. Jaraknya sekitar satu meter, tapi seiring berjalannya waktu pengaturan tidak ada, pengawasan juga melempem. Akhirnya, gerobak PKL semakin maju. “Berapa meter ya ini majunya. Sekitar dua meteran,” ucapnya.

Keberadaan PKL yang menguasai trotoar serta mencaplok jalan, bukan hanya di Jalan Jawa. Sejumlah lokasi lain juga ada yang demikian. Namun, yang kerap menjadi keluhan hingga membuat kepadatan jalan adalah PKL di depan Pasar Sabtuan, Kelurahan Tegal Besar, Kecamatan Kaliwates.

PKL Pasar Sabtuan mayoritas adalah pedagang buah-buahan. PKL ini juga lebih maju dan tidak sekadar menguasai trotoar. Akan tetapi, jaraknya dari trotoar ke bahu jalan sekitar 3 meter. Bahkan, bila ada mobil yang parkir untuk membeli ataupun bongkar muat buah, maka otomatis bahu jalan lebih sempit lagi.

Pantauan Jawa Pos Radar Jember, walau kebanyakan dari pedagang buah itu memakai kendaraan mulai dari Tossa, pikap, hingga sepeda motor, tapi rasanya ada juga yang seperti permanen. Ada gerobak penjual makanan bila tidak berjualan tetap terparkir di trotoar, terpal juga berdiri vertikal dan horizontal di trotoar, hingga ada permainan anak-anak di trotoar meski pada siang hari tidak beroperasi.

Eko Drajat Mulyanto, warga Tegal Besar yang kediamannya tidak jauh dari Pasar Sabtuan, mengatakan, jalan di daerahnya dari dulu memang ramai dan padat. “Dulu Pasar Sabtuan itu bukan pasar tradisional seperti ini, tapi pasar hewan,” katanya.

Bahkan, pada tahun 60-70-an depan Pasar Sabtuan yang sekarang dipakai PKL buah adalah warung plus-plus. Ada semacam warung pijat. “Dulu di sini belum aspal, dan dari dulu memang ramai,” terangnya.

Sejak diganti dengan pasar tradisional, warung plus-plus tidak ada lagi. Jalan juga telah diaspal, secara berangsur mulai muncul PKL buah. “Jadi di sini memang dikenal pasarnya buah,” imbuhnya.

Selanjutnya, pada medio 2013 atau 2014 sempat ada penertiban PKL Pasar Sabtuan dan Dinas Peternakan Jatim membuat pagar. “Pada waktu itu, PKL ditertibkan dan diberi kompensasi. Bahkan, seingat saya kalau tidak salah setiap PKL diberi kambing,” jelasnya.

PKL buah saat itu juga dipindahkan, tapi sayangnya kembali lagi. “Sempat dipindah, tapi mereka ya kembali lagi,” jelasnya. Kondisi PKL yang terus tumbuh subur dan tidak ada pembinaan, menurut Drajat, justru semakin ngawur.

Bahkan, PKL di depan Pasar Sabtuan juga semakin maju di depan trotoar seperti Jalan Jawa. Kesan kumuh pun menjadi salah satu pemandangan setiap hari karena ada pedagang yang menetap. “Sebaiknya PKL itu jualan pakai kendaraan atau gerobak. Jadi, setelah tidak berjualan bisa dibawa pulang, sehingga tidak terkesan kumuh. Ini benar pakai kendaraan, tapi tetap di situ saja,” katanya. Menurut Drajat, paling terasa macet adalah saat bulan puasa. “Kalau puasaan di sini muacet,” tuturnya.

Sedangkan Soleh, pedagang jeruk, mengatakan, ia telah berjualan di trotoar daerah Pasar Sabtuan cukup lama. “Saya termasuk pedagang lama yang merasakan tembok Dinas Peternakan Jatim dibangun,” terangnya.

Sebagai pedagang, dia memahami sebaiknya tidak terlalu banyak memakan bahu jalan untuk berjualan. Dia juga terpaksa memakai bahu jalan hingga lebar tiga meter, karena pedagang lainya melakukan. “Pedagang yang di depan sudah maju, jadi ketutupan dagangan saya. Akhirnya ya ikutan maju. Kalau seandainya dari depan itu rata dan tidak ambil jalan terlalu banyak, maka pedagang lainya juga mengikuti,” paparnya.

Kondisi PKL Pasar Sabtuan menurut Saleh itu kurang sedap. “Saya pribadi lebih setuju ditertibkan. Terlihat kumuh, banyak terpal,” jelasnya. Saleh yang berjualan dengan kendaraan bak terbuka roda tiga, juga langsung pulang membawa kendaraannya bila tidak berjualan. Sayangnya, sampai saat ini penertibannya lesu, sehingga pedagang semakin maju dan lalu lintas terganggu. (c2/nur)

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca