SLAWU, Radar Jember – Naiknya harga kedelai impor yang berdampak langsung kepada perajin tahu dan tempe bukan hal yang baru lagi. Isu nasional ini bahkan membuat sejumlah perajin tahu dan tempe memutuskan untuk mengecilkan ukuran tahu dan tempe atau mengurangi jumlah produksi.
Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Jember Prof Soetriono mengungkapkan, antisipasi tentang kebutuhan kedelai itu masih kurang. Berbicara apakah kedelai lokal bisa gantikan kedelai impor dalam pembuatan tahu dan tempe, bagi Soetriono ini sejatinya sangat bisa. “Tapi kedelai lokal itu apakah bisa memenuhi kebutuhan perajin tahu tempe? Cari 500 kilogram kedelai lokal setiap hari saja susah,” terangnya.
Dia melihat banyak faktor mengapa produksi dan produktivitas kedelai lokal itu rendah. Pertama, untuk saat ini kendalanya yaitu tentang pupuk. Selain itu juga tidak ada proteksi harga jual bagi petani.
Sejatinya, tambah Soetriono, sejak dulu ada program dari pemerintah bernama Pajuli, yaitu padi, jagung, dan kedelai. Bahkan juga ada bantuan benih kedelai. Namun, dari riset yang pernah dilakukan di daerah selatan, benih bantuan tersebut justru tidak tumbuh.
Selain itu, bila harga kedelai impor itu murah, maka pemerintah juga punya kebijakan tidak membuka kran impor besar-besaran. Sebab bila impor kedelai impor luar biasa, petani juga enggan menanam kedelai. “Beragam kesulitan seperti itulah, yang membuat petani enggan tanam kedelai dan ganti komoditas yang lain,” ujarnya.
Dia melakukan penelitian tentang kedelai di Jawa Timur pada 2019 silam, dengan sampel Banyuwangi, Kediri, dan Malang. Karena ketiga daerah tersebut menjadi sentra kedelai, yaitu Banyuwangi pada sisi produksi, Kediri pada sisi industri tahu tempe, dan Malang pada sisi produksi dan industri tahu tempe. Namun sayangnya kedelai lokal yang diproduksi petani setempat justru tidak masuk ke industri tahu tempe. “90 persen itu pakai kedelai impor,” terangnya.
Walau kedelai bukan tanaman asli Indonesia, namun menurut Soetriono, ini seharusnya bisa mengembangkan kualitas kedelai di Indonesia. “Kedelai edamame saja bisa ditanam di Indonesia, juga di Jember. Bahkan sampai ekspor,” paparnya. Bila serius lakukan penelitian pengembangan bibit kedelai, tambah dia, pasti bisa.
Sementara itu M. Saleh, perajin tempe di daerah Jalan Ciliwung yang lebih dari 30 tahun membuat tempe itu mengaku, awal membuat tempe memakai kedelai lokal. “Awal pakai kedelai lokal. Per kilogram dulu kalau tidak salah Rp 500 kalau tidak Rp 50,” terangnya.
Pada era Reformasi, tepatnya saat terjadi krisis moneter, penggunaan kedelai impor pun menggila. Dia mengaku, harga kedelai lokal memang lebih murah ketimbang kedelai impor. Tapi hal ini seimbang dengan kualitas kedelai impor yang secara ukuran juga jauh lebih besar. “Seandainya petani kedelai itu ada harga terendah, maka ada kepastian harga kedelai dari petani. Kalau diserahkan ke pedagang, petani nggak untung. Namanya pedagang ya cari untung,” tuturnya.
Saleh menambahkan, di Jember dulu pernah ada koperasi kedelai. Perajin tahu tempe bisa membeli dengan keuntungan juga kembali ke anggota yaitu perajin tahu tempe. Namun, di Jember koperasi itu tidak berjalan sukses. “Kalau di Malang, koperasi kedelai masih ada. Harganya juga murah, setiap anggota beli kedelai per kilogramnya dan ada semacam komisi. Jadi saat hari raya dibagikan. Kalau di sini tidak berjalan,” ungkapnya. (dwi/c1/lin)
Pertumbuhan Kedelai Jember
2020
- Luas Panen: 5.125 hektare
- Produktivitas: 24,43 kuintal per hektare
- Produksi: 12.521 ton
2021
- Luas Panen: 4.392 hektare
- Produktivitas: 17,62 kuintal per hektare
- Produksi: 7.737 hektare
Wilayah Tanam:
- Kencong
- Puger
- Wuluhan
- Ambulu
- Jenggawah
- Ajung
- Balung
- Umbulsari
- Jombang
- Tanggul
- Bangsalsari
- Sukorambi
Sumber: Data Badan Pusat Statistik Kabupaten Jember