JEMBER, RADARJEMBER.ID – Bulan puasa sudah di depan mata. Kenaikan harga bahan pokok seperti cabai, bawang merah, dan bawang putih di pasaran tidak terjadi perubahan signifikan. Akan tetapi, tragedi minyak goreng penting untuk menjadi perhatian pemerintah. Bisa jadi, bahan pokok yang mewarnai dapur rumah-rumah akan ikut melejit.
Baca Juga: Jelang Ramadan, Maling di Jember Nekat Sembelih Sapi Dekat Rumah Korban
Di kalangan petani sampai ke pasar, pergerakan harga bahan pokok memang tidak banyak. Kalaupun ada, hal ini masih ada pada ambang batas wajar. Perubahannya hanya berkisar ratusan atau ribuan rupiah saja.
Kendati begitu, para petani di Jember masih merasakan adanya ketimpangan harga. Harga bahan pokok di petani jauh dari harga di pasar tradisional. Seperti yang diungkapkan Khoirul Anam, petani cabai asal Kelurahan Antirogo, Kecamatan Sumbersari.
Petani cabai ini menyebut, dalam sebulan terakhir harga cabai memang mengalami kenaikan. Dari harga di bawah Rp 30 ribu yang ada di pasar-pasar menjadi dari Rp 47 ribu. Hal ini pun bertahan sekitar tiga pekan terakhir. Menjelang puasa nanti bisa jadi akan lebih mahal.
Sekalipun harga cabai sudah naik, siapa sangka, harga di kalangan petani justru masih stagnan. Yaitu pada kisaran harga Rp 18.500 per kilogram. “Walaupun di pasar mahal, di petani tetap segitu,” ulas Anam.
Sementara itu, saat memasuki musim hujan seperti saat ini, Anam mengeluh khawatir tanaman cabai miliknya terkena penyakit. Bahkan membusuk, hingga membuat produksi tanaman cabai menurun. “Tanaman cabai rawan mati ketika terlalu banyak dialiri air. Apalagi saat musim hujan begini. Dengan harga yang jauh dengan di pasar, bisa jadi tidak balik modal,” keluhnya.
Dikatakan, harga yang cukup mahal di pasaran setidaknya juga diimbangi dengan pergerakan harga di kalangan petani. “Kami merasa dirugikan, karena harga di pasar selisihnya jauh dengan harga dari petani,” imbuhnya.
Berbeda dengan Abdul Gani, petani bawang merah yang satu ini justru mengaku dirinya merasakan dampak naiknya harga bawang di pasaran. Namun, dia mengakui sudah bisa membaca siklus kenaikan yang menurutnya tidak akan berlangsung lama. Hampir setiap tahun saat menjelang bulan puasa, harga bawang merah memang naik. Namun, itu hanya berlangsung selama beberapa hari. “Naik, tapi tidak seberapa. Waktunya juga tidak akan lama,” katanya.
Hasil panen bawang merah miliknya kali ini mampu tembus Rp 18 ribu per kilogram. Setelah sebelumnya hanya seharga Rp 16 ribu per kilogram. Namun, lagi-lagi bawang merah yang mengalami kenaikan harga tersebut hanya yang kualitasnya cukup baik. Sementara, untuk mendapatkan kualitas seperti permintaan pasar sangatlah sulit. Sebab, selain cuaca yang tidak menentu, harga pupuk juga menjadi kendala utama baginya.
Penyampaian Abdul Gani menunjukkan, selisih harga bawang merah juga cukup jauh. Di kalangan petani yaitu Rp 18 ribu, sementara di pasar tembus Rp 33 ribu per kilogram.
Naik dan turunnya harga bawang merah di pasar-pasar bisa jadi merupakan permainan sebagian orang, termasuk harga-harga yang lain. Dia berharap, selisih harga bahan pokok seperti cabai, tomat, dan bawang tidak terlalu jauh. Kalau bawang merah di pasar Rp 35 ribu, paling tidak di petani bisa sampai Rp 26 ribu. Sayangnya, pergerakan di petani hanya sekitar ribuan rupiah saja. Sementara, di pasar bisa berubah hingga selisih Rp 10 ribu bahkan lebih.
Tantangan petani, menurutnya, bukan hanya itu. Saat banyak petani yang panen, harga pun akan menjadi murah. “Kalau panen raya, hasilnya banyak, harganya anjlok. Sekarang hasil panennya sedikit, makanya harganya naik,” sebutnya.
Jurnalis:
Grafis: Reza Oky Arjiansyah
Editor: Nur Hariri