29.8 C
Jember
Thursday, 23 March 2023

Kupat Itu, Ngaku Lepat

Mobile_AP_Rectangle 1

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Ketupat, atau oleh sebagian masyarakat disebut kupat, cukup familier bagi masyarakat Jember. Bahkan, kudapan berbahan beras yang dibungkus janur tersebut memiliki hari istimewa. Setiap hari ketujuh Idul Fitri, masyarakat menyebutnya dengan Hari Raya Kupat yang ditandai dengan kenduri bersama di masjid atau musala. Suguhan yang dibawa bukan tumpeng atau nasi pada umumnya. Melainkan lontong dan kupat yang dilengkapi dengan sayur berkuah santan kental.

Menurut Y Setiyo Hadi, pegiat sejarah di Jember, dulu Hari Raya Kupat merupakan salah satu strategi dakwah yang dikenalkan oleh Wali Songo pada abad 15 Masehi. Khususnya dilakukan oleh Sunan Kalijaga. Dalam sejarah tradisi Islam di Nusantara, Hari Raya Kupat senantiasa dilakukan bersamaan atau setelah Idul Fitri.

Pria yang akrab disapa Yopi itu mengungkapkan, kupat berasal dari gabungan bahasa Jawa ngaku lepat yang berarti mengaku salah. Atau, menyadari segala kesalahan yang dilakukan. Meski begitu, kata dia, beberapa orang ada yang mengartikan kata kupat sebagai laku papat atau jalan empat. Artinya, empat perilaku yang dijalani oleh mereka yang telah melakukan puasa selama Ramadan. Yakni lebaran, luberan, leburan, dan laburan.

Mobile_AP_Rectangle 2

Lebaran berarti usai atau selesai yang memperlihatkan bahwa dengan makan kupat sebagai tanda selesai waktu puasa dan terbukanya pintu maaf,” ucapnya. Sementara itu, luberan memiliki arti melimpah, yaitu melimpahnya rezeki yang diwujudkan dengan berbagi kupat sayur sesuai variasi tiap daerah. Biasanya juga disertai dengan pemberian zakat, sedekah, dan infak.

“Kalau leburan berarti habisnya segala kesalahan dengan saling memaafkan satu dengan lainnya. Sedangkan laburan bermakna kapur berwarna putih yang mengajarkan agar kita berbuat kebaikan sepanjang umur,” jelas Pengurus Lesbumi PCNU Jember tersebut.

Dengan demikian, Yopi mengungkapkan bahwa inti ajaran atau filosofi Hari Raya Kupat adalah saling memaafkan antarsesama manusia dengan saling berbagi kupat santen. “Yang berarti, kulo lepat nyuwun ngapunten, atau mengaku salah dan memohon maaf,” paparnya.

Lebih lanjut, Yopi menuturkan, dulu Sunan Kalijaga memperkenalkan Lebaran Kupat dalam dua istilah ke masyarakat Jawa. Yaitu Bakda Lebaran dan Bakda Kupat. Bakda Lebaran dilakukan setelah salat Id dengan saling berkunjung dan maaf-memaafkan. Lalu, Bakda Kupat dilakukan seminggu setelah Idul Fitri. “Pada hari-hari ini, umumnya muslim Nusantara membuat dan saling berbagi kupat,” pungkasnya.

Jika menilik ke belakang, ada makna filosofi yang begitu dalam dari Lebaran Kupat. Ternyata, generasi sekarang banyak yang tidak tahu bagaimana cara membuat wadah kupat yang terbuat dari anyaman daun kelapa muda tersebut. Jawa Pos Radar Jember mewawancarai tiga orang. Meski tidak mewakili keseluruhan masyarakat di Jember, faktanya ketiganya mengaku tidak bisa membuat rangkaian kupat, walau masih merayakannya.

“Ibu yang bisa buat. Aku tidak bisa. Jadi, ngikut ibu saja,” tutur Intan Meika, warga Desa Tegalsari, Kecamatan Ambulu. Ditanya mengapa tidak mau belajar, perempuan yang berusia 26 tahun itu mengaku bahwa pembuatannya ribet. Jadi, dia malas untuk belajar.

“Kalau di pasaran banyak dijual, kenapa harus ribet,” imbuh Sammy Teri Lestari, warga Desa Kesilir, Kecamatan Wuluhan. Hal serupa juga disampaikan oleh Pipin Tri Anjani, warga Desa Sidodadi, Kecamatan Tempurejo. “Di sini, semua saudara merayakannya. Tapi, saya tidak bisa merangkai ketupat. Jadi, ngikut orang-orang saja,” ujarnya.

 

 

Jurnalis : Isnein Purnomo
Fotografer : mg1
Redaktur : Mahrus Sholih

- Advertisement -

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Ketupat, atau oleh sebagian masyarakat disebut kupat, cukup familier bagi masyarakat Jember. Bahkan, kudapan berbahan beras yang dibungkus janur tersebut memiliki hari istimewa. Setiap hari ketujuh Idul Fitri, masyarakat menyebutnya dengan Hari Raya Kupat yang ditandai dengan kenduri bersama di masjid atau musala. Suguhan yang dibawa bukan tumpeng atau nasi pada umumnya. Melainkan lontong dan kupat yang dilengkapi dengan sayur berkuah santan kental.

Menurut Y Setiyo Hadi, pegiat sejarah di Jember, dulu Hari Raya Kupat merupakan salah satu strategi dakwah yang dikenalkan oleh Wali Songo pada abad 15 Masehi. Khususnya dilakukan oleh Sunan Kalijaga. Dalam sejarah tradisi Islam di Nusantara, Hari Raya Kupat senantiasa dilakukan bersamaan atau setelah Idul Fitri.

Pria yang akrab disapa Yopi itu mengungkapkan, kupat berasal dari gabungan bahasa Jawa ngaku lepat yang berarti mengaku salah. Atau, menyadari segala kesalahan yang dilakukan. Meski begitu, kata dia, beberapa orang ada yang mengartikan kata kupat sebagai laku papat atau jalan empat. Artinya, empat perilaku yang dijalani oleh mereka yang telah melakukan puasa selama Ramadan. Yakni lebaran, luberan, leburan, dan laburan.

Lebaran berarti usai atau selesai yang memperlihatkan bahwa dengan makan kupat sebagai tanda selesai waktu puasa dan terbukanya pintu maaf,” ucapnya. Sementara itu, luberan memiliki arti melimpah, yaitu melimpahnya rezeki yang diwujudkan dengan berbagi kupat sayur sesuai variasi tiap daerah. Biasanya juga disertai dengan pemberian zakat, sedekah, dan infak.

“Kalau leburan berarti habisnya segala kesalahan dengan saling memaafkan satu dengan lainnya. Sedangkan laburan bermakna kapur berwarna putih yang mengajarkan agar kita berbuat kebaikan sepanjang umur,” jelas Pengurus Lesbumi PCNU Jember tersebut.

Dengan demikian, Yopi mengungkapkan bahwa inti ajaran atau filosofi Hari Raya Kupat adalah saling memaafkan antarsesama manusia dengan saling berbagi kupat santen. “Yang berarti, kulo lepat nyuwun ngapunten, atau mengaku salah dan memohon maaf,” paparnya.

Lebih lanjut, Yopi menuturkan, dulu Sunan Kalijaga memperkenalkan Lebaran Kupat dalam dua istilah ke masyarakat Jawa. Yaitu Bakda Lebaran dan Bakda Kupat. Bakda Lebaran dilakukan setelah salat Id dengan saling berkunjung dan maaf-memaafkan. Lalu, Bakda Kupat dilakukan seminggu setelah Idul Fitri. “Pada hari-hari ini, umumnya muslim Nusantara membuat dan saling berbagi kupat,” pungkasnya.

Jika menilik ke belakang, ada makna filosofi yang begitu dalam dari Lebaran Kupat. Ternyata, generasi sekarang banyak yang tidak tahu bagaimana cara membuat wadah kupat yang terbuat dari anyaman daun kelapa muda tersebut. Jawa Pos Radar Jember mewawancarai tiga orang. Meski tidak mewakili keseluruhan masyarakat di Jember, faktanya ketiganya mengaku tidak bisa membuat rangkaian kupat, walau masih merayakannya.

“Ibu yang bisa buat. Aku tidak bisa. Jadi, ngikut ibu saja,” tutur Intan Meika, warga Desa Tegalsari, Kecamatan Ambulu. Ditanya mengapa tidak mau belajar, perempuan yang berusia 26 tahun itu mengaku bahwa pembuatannya ribet. Jadi, dia malas untuk belajar.

“Kalau di pasaran banyak dijual, kenapa harus ribet,” imbuh Sammy Teri Lestari, warga Desa Kesilir, Kecamatan Wuluhan. Hal serupa juga disampaikan oleh Pipin Tri Anjani, warga Desa Sidodadi, Kecamatan Tempurejo. “Di sini, semua saudara merayakannya. Tapi, saya tidak bisa merangkai ketupat. Jadi, ngikut orang-orang saja,” ujarnya.

 

 

Jurnalis : Isnein Purnomo
Fotografer : mg1
Redaktur : Mahrus Sholih

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Ketupat, atau oleh sebagian masyarakat disebut kupat, cukup familier bagi masyarakat Jember. Bahkan, kudapan berbahan beras yang dibungkus janur tersebut memiliki hari istimewa. Setiap hari ketujuh Idul Fitri, masyarakat menyebutnya dengan Hari Raya Kupat yang ditandai dengan kenduri bersama di masjid atau musala. Suguhan yang dibawa bukan tumpeng atau nasi pada umumnya. Melainkan lontong dan kupat yang dilengkapi dengan sayur berkuah santan kental.

Menurut Y Setiyo Hadi, pegiat sejarah di Jember, dulu Hari Raya Kupat merupakan salah satu strategi dakwah yang dikenalkan oleh Wali Songo pada abad 15 Masehi. Khususnya dilakukan oleh Sunan Kalijaga. Dalam sejarah tradisi Islam di Nusantara, Hari Raya Kupat senantiasa dilakukan bersamaan atau setelah Idul Fitri.

Pria yang akrab disapa Yopi itu mengungkapkan, kupat berasal dari gabungan bahasa Jawa ngaku lepat yang berarti mengaku salah. Atau, menyadari segala kesalahan yang dilakukan. Meski begitu, kata dia, beberapa orang ada yang mengartikan kata kupat sebagai laku papat atau jalan empat. Artinya, empat perilaku yang dijalani oleh mereka yang telah melakukan puasa selama Ramadan. Yakni lebaran, luberan, leburan, dan laburan.

Lebaran berarti usai atau selesai yang memperlihatkan bahwa dengan makan kupat sebagai tanda selesai waktu puasa dan terbukanya pintu maaf,” ucapnya. Sementara itu, luberan memiliki arti melimpah, yaitu melimpahnya rezeki yang diwujudkan dengan berbagi kupat sayur sesuai variasi tiap daerah. Biasanya juga disertai dengan pemberian zakat, sedekah, dan infak.

“Kalau leburan berarti habisnya segala kesalahan dengan saling memaafkan satu dengan lainnya. Sedangkan laburan bermakna kapur berwarna putih yang mengajarkan agar kita berbuat kebaikan sepanjang umur,” jelas Pengurus Lesbumi PCNU Jember tersebut.

Dengan demikian, Yopi mengungkapkan bahwa inti ajaran atau filosofi Hari Raya Kupat adalah saling memaafkan antarsesama manusia dengan saling berbagi kupat santen. “Yang berarti, kulo lepat nyuwun ngapunten, atau mengaku salah dan memohon maaf,” paparnya.

Lebih lanjut, Yopi menuturkan, dulu Sunan Kalijaga memperkenalkan Lebaran Kupat dalam dua istilah ke masyarakat Jawa. Yaitu Bakda Lebaran dan Bakda Kupat. Bakda Lebaran dilakukan setelah salat Id dengan saling berkunjung dan maaf-memaafkan. Lalu, Bakda Kupat dilakukan seminggu setelah Idul Fitri. “Pada hari-hari ini, umumnya muslim Nusantara membuat dan saling berbagi kupat,” pungkasnya.

Jika menilik ke belakang, ada makna filosofi yang begitu dalam dari Lebaran Kupat. Ternyata, generasi sekarang banyak yang tidak tahu bagaimana cara membuat wadah kupat yang terbuat dari anyaman daun kelapa muda tersebut. Jawa Pos Radar Jember mewawancarai tiga orang. Meski tidak mewakili keseluruhan masyarakat di Jember, faktanya ketiganya mengaku tidak bisa membuat rangkaian kupat, walau masih merayakannya.

“Ibu yang bisa buat. Aku tidak bisa. Jadi, ngikut ibu saja,” tutur Intan Meika, warga Desa Tegalsari, Kecamatan Ambulu. Ditanya mengapa tidak mau belajar, perempuan yang berusia 26 tahun itu mengaku bahwa pembuatannya ribet. Jadi, dia malas untuk belajar.

“Kalau di pasaran banyak dijual, kenapa harus ribet,” imbuh Sammy Teri Lestari, warga Desa Kesilir, Kecamatan Wuluhan. Hal serupa juga disampaikan oleh Pipin Tri Anjani, warga Desa Sidodadi, Kecamatan Tempurejo. “Di sini, semua saudara merayakannya. Tapi, saya tidak bisa merangkai ketupat. Jadi, ngikut orang-orang saja,” ujarnya.

 

 

Jurnalis : Isnein Purnomo
Fotografer : mg1
Redaktur : Mahrus Sholih

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca