JEMBER.RADARJEMBER.ID- Ramainya video warga menyerbu minyak goreng di salah satu swalayan di Kencong, Jember, yang beredar di media sosial, sejatinya hanyalah imbas dari minimnya pasokan minyak goreng di pasaran. Hal ini harus segera diantisipasi oleh pemerintah dengan langkah konkret. Misalnya duduk bersama dengan para pengusaha yang bergerak di sektor minyak goreng. Mulai dari produsen, distributor hingga pengusaha toko ritel. Langkah ini untuk memetakan, menelusuri sumbatan-sumbatan pasokan, sekaligus mencari jalan keluar atas kelangkaan bahan pokok tersebut.
Sabdo Hadi Setiawan, Owner Larisso Grup, mengakui jika video yang sempat beredar itu terjadi di salah satu gerai miliknya di Kecamatan Kencong. Meski begitu, dia mengajak publik melihat persoalan ini bukan sebagai kasus per kasus. Melainkan secara menyeluruh. Karena video serupa yang sempat viral, juga terjadi di beberapa toko swalayan lain, serta di kabupaten lain. Artinya, peristiwa warga berebut minyak goreng sudah menjadi fenomena, sehingga penyelesaiannya harus dituntaskan dari hilir, bukan di hulu. “Kita harus mempertanyakan kenapa ada kasus seperti itu? Karena ada kelangkaan barang di pasar,” katanya, Sabtu (19/2).
Pengamatan Sabdo, sebenarnya fenomena punic buying semacam ini dipicu oleh kosongnya minyak goreng di pasar tradisional. Bahkan, minyak goreng curah yang biasanya menjadi incaran masyarakat bawah, seolah menghilang di pasar tradisional. Sehingga, sebagai penggantinya masyarakat memburu minyak goreng kemasan di pasar modern. Imbasnya, terjadi penumpukan konsumen di toko swalayan hingga memicu kepanikan. Banyak orang yang seharusnya cukup membeli satu untuk kebutuhan rumah tangga, justru membeli dan menyimpan lebih dari yang dibutuhkan. “Akhirnya supply and demand tidak sesuai. Sehingga timbul kelangkaan barang,” sebutnya.
Sebagai pengusaha, Sabdo mengungkapkan, sebenarnya dia bisa saja menjual minyak goreng di tokonya secara partai, bukan eceran. Selain lebih ringkas, juga lebih cepat mendapat keuntungan. Namun, dia ogah melakukan hal itu karena bertentangan dengan nuraninya. Makanya, di tokonya menerapkan pembatasan. Setiap konsumen maksimal membeli dua liter minyak goreng. Tidak boleh lebih dari itu. “Ada pembatasan dua liter per konsumen per hari. Ini untuk pemerataan, sekaligus menghindari aksi borong,” jelasnya.
Pemilik toko ritel di tiga kecamatan, Ambulu, Balung, dan Kencong ini, mengaku terus berupaya memenuhi kebutuhan masyarakat di tengah kelangkaan minyak goreng seperti sekarang. Kendati demikian, kata dia, semuanya bergantung pasokan dari distributor dan pabrikan. Pihaknya saban hari juga terus berkomunikasi dengan distributor untuk menanyakan persediaan. Jika dikirim, langsung disalurkan di hari yang sama. “Kami tak pernah menyimpan atau menimbun. Berapapun yang dikirim oleh distributor, langsung kami jual. Terkadang kurang,” bebernya.
Sepanjang mengelola toko ritel selama 12 tahun terakhir, Sabdo menuturkan, baru sekarang ini terjadi kelangkaan minyak goreng hingga memicu punic buying di masyarakat. Sebelum-sebelumnya, penjualan tertinggi itu hanya 30-40 karton minyak goreng per hari. Namun kali ini, per hari tembus antara 200-600 karton untuk semua toko miliknya. “Padahal, hari biasa paling tinggi 30-40 karton. Itu pun menjelang Ramadan dan Lebaran saja,” urainya.
Sabdo pun khawatir, jika tidak segera teratasi, masalah kelangkaan minyak goreng ini bisa terjadi sampai masuk Ramadan yang kurang sebentar lagi. Maka dari itu, dia berharap, para distributor dan pemangku kebijakan duduk bersama untuk mencari solusi. Karena problem kelangkaan minyak goreng ini bukan masalah lokal, tapi nasional. “Jangan sampai salah satu pihak menjadi korban. Pemerintah dan pengusaha harus sama-sama berusaha memenuhi kebutuhan masyarakat. Suplier, pemerintah, dan pengusaha ritel harus duduk satu meja,” ucapnya.
Nesi Dian, warga Desa Ampel, Kecamatan Wuluhan, merupakan salah satu konsumen yang membeli minyak goreng di Larisso Balung. Dia mengaku lega setelah mendapatkan minyak goreng ukuran dua liter dengan harga Rp 14 ribu per liternya. Karena sebelumnya, dia harus pergi ke beberapa toko kelontongan untuk mendapatkan minyak goreng tersebut, namun tidak dapat. Bahkan, di pasar tradisional stoknya juga kosong. “Saya pernah dapat di pasar tradisional, tapi harganya jauh di atas standar. Rp 20 ribu per liter,” tuturnya.
Dia pun berharap, pemerintah bertindak cepat. Sebab, jika tidak segera teratasi, maka pontensi kepanikan di masyarakat bisa semakin menjadi-jadi. Belum lagi, sekarang ini telah mendekati Ramadan. Dan kebutuhan minyak goreng menjelang bulan puasa dan Lebaran biasanya melonjak tajam. (*)
Fotografer: Mahrus Sholih
Editor: Mahrus Sholih