JEMBER, RADARJEMBER.ID – Teknik membatik dengan warna alami sekarang sudah mulai ditinggalkan. Padahal, pewarna alami memiliki harga jual tinggi. Namun, bahannya memang cukup sulit didapatkan. Misalnya di Jember, hingga saat ini belum ada toko yang menyediakan pewarna alami. Karena itu, perajin harus membuat pewarna secara mandiri, atau memesan di luar kota. Seperti Jogjakarta dan Solo.
Salah satu lumbung batik di Jember adalah di Desa Dawuhan Mangli, Kecamatan Sukowono. Daerah ini memiliki perajin batik yang cukup banyak. Mayoritas dari mereka menggunakan pewarna sintetis. Hanya beberapa pembatik yang mulai menggunakan warna alami dari dedaunan dan kulit buah-buahan. Misalnya kulit manggis.
Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Unej Arina Maufida Etsanti menjelaskan, proses membatik dengan menggunakan pewarna sintesis sejatinya dapat memengaruhi kesehatan. Oleh sebab itu, kata dia, perajin perlu mengganti bahan pewarna batik dari sintesis ke pewarna alami. “Karena lebih aman bagi kesehatan,” terangnya.
Salah seorang perajin batik, Sudiyono, mengungkapkan, selain lebih aman, penggunaan pewarna alami juga dapat mengembalikan kekhasan batik yang tidak dapat ditiru. Tak hanya itu, warna yang dihasilkan juga lebih halus. Namun, perajin harus menyiasati dengan kreasi pewarnaan agar warna yang dihasilkan lebih kuat. “Perajin dapat menggunakan pewarna yang lebih pekat, atau menggunakan teknik pewarnaan yang berulang,” jelasnya.
Yono tidak menampik jika pemasaran batik mengalami penurunan akibat dampak pandemi. Bahkan, penurunannya sampai 80 persen. Ini karena terganggu dengan adanya pembatasan wilayah. Selain itu, banyak instansi yang selama ini memesan batik untuk acara-acara tertentu, kini akibat tidak adanya kegiatan, mereka tidak memesan lagi. “Sebelum pandemi, dalam sebulan kami bisa menjual 50 potong batik tulis dan ratusan batik cap. Tapi selama pandemi jauh berkurang,” ungkapnya.
Namun, seiring adanya pelonggaran dari pemerintah, geliat batik sudah mulai pulih kembali. Ia berharap ke depan Jember bisa memiliki sentra pasar batik seperti di Jogjakarta. Sehingga para perajin batik bisa berjualan setiap harinya di lokasi tersebut.
Jurnalis : Dian Cahyani
Fotografer : Dian Cahyani
Redaktur : Mahrus Sholih