31.1 C
Jember
Wednesday, 29 March 2023

Pebisnis Burung Puyuh Ini, Lulusan SMK Teknik Mesin

Mobile_AP_Rectangle 1

KEBANYAKAN orang bekerja memilih sesuai dengan kemampuan akademik. Namun, ada beberapa dari mereka yang justru memilih bekerja di luar studi yang ditempuh. Dan, ini terkadang membuat usaha mereka cukup menjanjikan. Zamzam Habibi ini contohnya. Pemuda asal Dusun Jadugan, Desa Mojosari, Kecamatan Puger, yang menekuni usaha budi daya burung puyuh.

Dia mengisahkan, setelah lulus dari SMK jurusan teknik mesin pada 2017 lalu, setahun berikutnya Habibi bekerja di salah satu toko retail, tak jauh dari rumahnya. Selama bekerja, dia merasa tak kerasan. Di tahun yang sama, dirinya lantas mencoba usaha ternak burung puyuh. Padahal usahanya itu sama sekali tak ada kaitannya dengan teknik mesin atau perbengkelan. “Awalnya coba-coba, ternyata hasilnya lumayan. Lebih besar ketimbang saat jadi karyawan,” aku pemuda 23 tahun ini.

Ide berwirausaha itu dipilihnya karena dinilai lebih ramah lingkungan. Selain itu, juga tak banyak menghabiskan tempat. Lambat laun, dia justru merasa lebih enak merintis usaha sendiri. Kini, dia pun melepaskan statusnya sebagai karyawan di tempat awalnya bekerja itu.

Mobile_AP_Rectangle 2

Menurut dia, saat fokus mengurusi budi daya puyuh itu, awalnya hanya 500 ekor. Lalu, seiring berjalannya waktu, kini bertambah menjadi 2.000 ekor. Bahkan, dirinya sudah menjalin kemitraan dengan beberapa pihak yang juga memelihara puyuh. “Ada yang 3.000 puyuh, ada yang 1.000. Kalau total, ada sekitaran 10 ribuan puyuh ditambah dengan kemitraan,” imbuh Habibi.

Menekuni usaha yang sama sekali tak linier dengan akademiknya bukan berarti tanpa ada masalah. Hal itu pula yang dialami Habibi. Terutama dalam pemasaran di masa pandemi ini. Dirinya yang masih awam menjangkau pasar, diakuinya sempat kesulitan. Sebab, telur-telur puyuh itu tidak seperti telur ayam yang menjadi konsumsi utama, sekaligus bisa diolah sebagai bahan campuran kue.

Telur puyuh berbeda. Sebab, telur puyuh lebih sering dikonsumsi anak-anak sebagai pemenuhan gizi pertumbuhan mereka. “Alhamdulillah, beberapa sudah ada pasar tetap. Seperti kirim ke Jayapura, Manokwari, dan Mataram. Ada channel penjualan ke sana,” sambungnya.

Rupanya keuntungan beternak puyuh juga tak kalah menjanjikan. Sebab, telur puyuh bisa dipanen tiap hari. Jika dirata-rata, hasil panennya dihitung berdasarkan habisnya pakan. Misal, per seribu ekor puyuh, menghabiskan satu sak sentrat dan menghasilkan 20 kilogram telur. Karena itu, 20 kilogram dikurangi harga telur, Rp 27 ribu per kilogram, menghasilkan Rp 540 ribu. Lalu dikurangi harga sentrat per sak Rp 330 ribu. “Sehingga bersih itu Rp 210 ribu per dua hari. Satu bulan ketemu Rp 6,3 juta per 2.000 ekor puyuh,” jelas Habibi.

Bagi dia, keuntungan dan kerugian maupun peluang dan tantangan dalam menekuni usaha pasti ada. Namun, semuanya bisa lebih mudah jika tiap bisnis dijalankan sendiri. “Kalau diternakkan sendiri itu bebas. Mau libur atau mengembangkan, semua bisa. Kalau jadi karyawan belum tentu,” tambahnya.

Soal modal, Habibi berkata, juga tidak terlampau besar. Untuk kandang per 1.000 puyuh butuh dana sekitar Rp 3 jutaan. Sementara untuk burung puyuhnya sendiri, sekitar Rp 8 jutaan untuk per seribu ekor yang siap telur. Modal pertama untuk peternak puyuh itu sekitar Rp 12 jutaan.

Sejak tiga tahun lamanya dia menekuni usaha puyuh, bukan berarti Habibi tak bisa lagi mengutak-atik sepeda motor, sebagaimana kemampuan yang didapatkan saat sekolah SMK. Dia mengaku, sebenarnya bisa saja sambil membuka bengkel sepeda motor atau jadi montir maupun teknisi. Namun, hal itu tidak dilakukannya. Bagi dia, kunci menjalankan usaha atau bisnis itu bukan terletak pada latar belakang pendidikan, namun tak kalah penting adalah kemauannya.

Reporter : Maulana

Fotografer : Fahrur Rozi For Radar Jember

Editor : Mahrus Sholih

- Advertisement -

KEBANYAKAN orang bekerja memilih sesuai dengan kemampuan akademik. Namun, ada beberapa dari mereka yang justru memilih bekerja di luar studi yang ditempuh. Dan, ini terkadang membuat usaha mereka cukup menjanjikan. Zamzam Habibi ini contohnya. Pemuda asal Dusun Jadugan, Desa Mojosari, Kecamatan Puger, yang menekuni usaha budi daya burung puyuh.

Dia mengisahkan, setelah lulus dari SMK jurusan teknik mesin pada 2017 lalu, setahun berikutnya Habibi bekerja di salah satu toko retail, tak jauh dari rumahnya. Selama bekerja, dia merasa tak kerasan. Di tahun yang sama, dirinya lantas mencoba usaha ternak burung puyuh. Padahal usahanya itu sama sekali tak ada kaitannya dengan teknik mesin atau perbengkelan. “Awalnya coba-coba, ternyata hasilnya lumayan. Lebih besar ketimbang saat jadi karyawan,” aku pemuda 23 tahun ini.

Ide berwirausaha itu dipilihnya karena dinilai lebih ramah lingkungan. Selain itu, juga tak banyak menghabiskan tempat. Lambat laun, dia justru merasa lebih enak merintis usaha sendiri. Kini, dia pun melepaskan statusnya sebagai karyawan di tempat awalnya bekerja itu.

Menurut dia, saat fokus mengurusi budi daya puyuh itu, awalnya hanya 500 ekor. Lalu, seiring berjalannya waktu, kini bertambah menjadi 2.000 ekor. Bahkan, dirinya sudah menjalin kemitraan dengan beberapa pihak yang juga memelihara puyuh. “Ada yang 3.000 puyuh, ada yang 1.000. Kalau total, ada sekitaran 10 ribuan puyuh ditambah dengan kemitraan,” imbuh Habibi.

Menekuni usaha yang sama sekali tak linier dengan akademiknya bukan berarti tanpa ada masalah. Hal itu pula yang dialami Habibi. Terutama dalam pemasaran di masa pandemi ini. Dirinya yang masih awam menjangkau pasar, diakuinya sempat kesulitan. Sebab, telur-telur puyuh itu tidak seperti telur ayam yang menjadi konsumsi utama, sekaligus bisa diolah sebagai bahan campuran kue.

Telur puyuh berbeda. Sebab, telur puyuh lebih sering dikonsumsi anak-anak sebagai pemenuhan gizi pertumbuhan mereka. “Alhamdulillah, beberapa sudah ada pasar tetap. Seperti kirim ke Jayapura, Manokwari, dan Mataram. Ada channel penjualan ke sana,” sambungnya.

Rupanya keuntungan beternak puyuh juga tak kalah menjanjikan. Sebab, telur puyuh bisa dipanen tiap hari. Jika dirata-rata, hasil panennya dihitung berdasarkan habisnya pakan. Misal, per seribu ekor puyuh, menghabiskan satu sak sentrat dan menghasilkan 20 kilogram telur. Karena itu, 20 kilogram dikurangi harga telur, Rp 27 ribu per kilogram, menghasilkan Rp 540 ribu. Lalu dikurangi harga sentrat per sak Rp 330 ribu. “Sehingga bersih itu Rp 210 ribu per dua hari. Satu bulan ketemu Rp 6,3 juta per 2.000 ekor puyuh,” jelas Habibi.

Bagi dia, keuntungan dan kerugian maupun peluang dan tantangan dalam menekuni usaha pasti ada. Namun, semuanya bisa lebih mudah jika tiap bisnis dijalankan sendiri. “Kalau diternakkan sendiri itu bebas. Mau libur atau mengembangkan, semua bisa. Kalau jadi karyawan belum tentu,” tambahnya.

Soal modal, Habibi berkata, juga tidak terlampau besar. Untuk kandang per 1.000 puyuh butuh dana sekitar Rp 3 jutaan. Sementara untuk burung puyuhnya sendiri, sekitar Rp 8 jutaan untuk per seribu ekor yang siap telur. Modal pertama untuk peternak puyuh itu sekitar Rp 12 jutaan.

Sejak tiga tahun lamanya dia menekuni usaha puyuh, bukan berarti Habibi tak bisa lagi mengutak-atik sepeda motor, sebagaimana kemampuan yang didapatkan saat sekolah SMK. Dia mengaku, sebenarnya bisa saja sambil membuka bengkel sepeda motor atau jadi montir maupun teknisi. Namun, hal itu tidak dilakukannya. Bagi dia, kunci menjalankan usaha atau bisnis itu bukan terletak pada latar belakang pendidikan, namun tak kalah penting adalah kemauannya.

Reporter : Maulana

Fotografer : Fahrur Rozi For Radar Jember

Editor : Mahrus Sholih

KEBANYAKAN orang bekerja memilih sesuai dengan kemampuan akademik. Namun, ada beberapa dari mereka yang justru memilih bekerja di luar studi yang ditempuh. Dan, ini terkadang membuat usaha mereka cukup menjanjikan. Zamzam Habibi ini contohnya. Pemuda asal Dusun Jadugan, Desa Mojosari, Kecamatan Puger, yang menekuni usaha budi daya burung puyuh.

Dia mengisahkan, setelah lulus dari SMK jurusan teknik mesin pada 2017 lalu, setahun berikutnya Habibi bekerja di salah satu toko retail, tak jauh dari rumahnya. Selama bekerja, dia merasa tak kerasan. Di tahun yang sama, dirinya lantas mencoba usaha ternak burung puyuh. Padahal usahanya itu sama sekali tak ada kaitannya dengan teknik mesin atau perbengkelan. “Awalnya coba-coba, ternyata hasilnya lumayan. Lebih besar ketimbang saat jadi karyawan,” aku pemuda 23 tahun ini.

Ide berwirausaha itu dipilihnya karena dinilai lebih ramah lingkungan. Selain itu, juga tak banyak menghabiskan tempat. Lambat laun, dia justru merasa lebih enak merintis usaha sendiri. Kini, dia pun melepaskan statusnya sebagai karyawan di tempat awalnya bekerja itu.

Menurut dia, saat fokus mengurusi budi daya puyuh itu, awalnya hanya 500 ekor. Lalu, seiring berjalannya waktu, kini bertambah menjadi 2.000 ekor. Bahkan, dirinya sudah menjalin kemitraan dengan beberapa pihak yang juga memelihara puyuh. “Ada yang 3.000 puyuh, ada yang 1.000. Kalau total, ada sekitaran 10 ribuan puyuh ditambah dengan kemitraan,” imbuh Habibi.

Menekuni usaha yang sama sekali tak linier dengan akademiknya bukan berarti tanpa ada masalah. Hal itu pula yang dialami Habibi. Terutama dalam pemasaran di masa pandemi ini. Dirinya yang masih awam menjangkau pasar, diakuinya sempat kesulitan. Sebab, telur-telur puyuh itu tidak seperti telur ayam yang menjadi konsumsi utama, sekaligus bisa diolah sebagai bahan campuran kue.

Telur puyuh berbeda. Sebab, telur puyuh lebih sering dikonsumsi anak-anak sebagai pemenuhan gizi pertumbuhan mereka. “Alhamdulillah, beberapa sudah ada pasar tetap. Seperti kirim ke Jayapura, Manokwari, dan Mataram. Ada channel penjualan ke sana,” sambungnya.

Rupanya keuntungan beternak puyuh juga tak kalah menjanjikan. Sebab, telur puyuh bisa dipanen tiap hari. Jika dirata-rata, hasil panennya dihitung berdasarkan habisnya pakan. Misal, per seribu ekor puyuh, menghabiskan satu sak sentrat dan menghasilkan 20 kilogram telur. Karena itu, 20 kilogram dikurangi harga telur, Rp 27 ribu per kilogram, menghasilkan Rp 540 ribu. Lalu dikurangi harga sentrat per sak Rp 330 ribu. “Sehingga bersih itu Rp 210 ribu per dua hari. Satu bulan ketemu Rp 6,3 juta per 2.000 ekor puyuh,” jelas Habibi.

Bagi dia, keuntungan dan kerugian maupun peluang dan tantangan dalam menekuni usaha pasti ada. Namun, semuanya bisa lebih mudah jika tiap bisnis dijalankan sendiri. “Kalau diternakkan sendiri itu bebas. Mau libur atau mengembangkan, semua bisa. Kalau jadi karyawan belum tentu,” tambahnya.

Soal modal, Habibi berkata, juga tidak terlampau besar. Untuk kandang per 1.000 puyuh butuh dana sekitar Rp 3 jutaan. Sementara untuk burung puyuhnya sendiri, sekitar Rp 8 jutaan untuk per seribu ekor yang siap telur. Modal pertama untuk peternak puyuh itu sekitar Rp 12 jutaan.

Sejak tiga tahun lamanya dia menekuni usaha puyuh, bukan berarti Habibi tak bisa lagi mengutak-atik sepeda motor, sebagaimana kemampuan yang didapatkan saat sekolah SMK. Dia mengaku, sebenarnya bisa saja sambil membuka bengkel sepeda motor atau jadi montir maupun teknisi. Namun, hal itu tidak dilakukannya. Bagi dia, kunci menjalankan usaha atau bisnis itu bukan terletak pada latar belakang pendidikan, namun tak kalah penting adalah kemauannya.

Reporter : Maulana

Fotografer : Fahrur Rozi For Radar Jember

Editor : Mahrus Sholih

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca