JEMBER, RADARJEMBER.ID ā GUNAWAN masih teringat ketika dia diberhentikan dari pekerjaan sebelumnya, akhir Juni 2020 lalu. Kala itu, dia merupakan karyawan kedai mie yang populer di Jember. Pandemi yang menghantam Jember sejak Maret sebelumnya memukul usaha di tempatnya bekerja. Omzet kedai mi tersebut turun akibat pembatasan jam operasional. Di sisi lain, daya beli masyarakat juga turun drastis hingga memengaruhi penjualan.
Sejak di-PHK, Gunawan merasa khawatir akan masa depannya. Dia juga sering merasa cemas dan bingung sendiri. Bahkan rasa percaya diri untuk berbaur dengan lingkungan sosialnya hilang seketika. Namun, dia kembali optimistis mencari pekerjaan baru karena berpikir hidup harus terus berlanjut. āSaya ada tanggungan cicilan. Bagaimana cara membayarnya? Itu yang bikin saya bingung,ā tuturnya.
Setelah lebih enam bulan menganggur, Gunawan akhirnya diterima di salah satu kedai mi yang relatif baru berdiri. Dia bekerja malam sejak pukul 19.00 hingga 02.00 dini hari. Upah yang ia dapat tak jauh berbeda dengan tempat ia bekerja sebelumnya. āAlhamdulillah, saya dapat kerja di tempat yang sekarang ini,ā ungkapnya.
Sementara itu, Novita, seorang pekerja lepas yang bekerja di salah satu media lokal, bercerita, walaupun bekerja paruh waktu, dia masih sering ke kantor untuk sekadar mengedit video. November 2020 menjadi bulan terakhirnya bekerja sebagai editor video. Media tempatnya bekerja kolaps, pendapatan iklan seret, dan akhirnya memberhentikan semua tenaga kerja dan menutup perusahaan.
Medio 2020, dia menambahkan, upahnya sempat tersendat. Mulai dari tidak tepatnya pembayaran hingga ada pemotongan upah. Kini perempuan yang akrab disapa Novi itu masih berikhtiar agar segera mendapatkan pekerjaan lagi. āKantor saya sudah tutup akhir tahun lalu,ā kisahnya.
Secara umum, pandemi telah berdampak buruk pada ekonomi sepanjang 2020 lalu hingga berdampak pada sektor ketenagakerjaan. Banyak buruh yang di-PHK, sementara peluang kerja baru belum terbuka. Apa yang dialami oleh Gunawan dan Novita ini hanya potret kecil dari gambaran tentang kondisi ketenagakerjaan di Jember. Sebab, jumlah pekerja yang terdampak pagebluk angkanya cukup banyak.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Jember, jumlah pengangguran selama pandemi mengalami kenaikan yang cukup tajam. Bahkan, selama tiga tahun terakhir, pada 2020 itu jumlahnya yang paling tinggi. Jika membandingkan dengan tahun sebelumnya, pada 2018 angka pengangguran terbuka mencapai 4,01 persen, 2019 menurun menjadi 3,16 persen. Jumlah itu melonjak drastis ketika pandemi datang hingga pada 2020 jumlahnya mencapai 5,12 persen dari seluruh penduduk di Jember. āJadi, selama tiga tahun terakhir, di masa Covid-19 ini yang paling tinggi yakni pada tahun 2020,ā Kata Kepala BPS Jember Arif Joko Setejo, kemarin (12/9).
Naiknya angka pengangguran, Arif menjelaskan, disebabkan oleh beberapa faktor. Di antaranya pemutusan hubungan kerja dan bangkrutnya usaha individu yang bersifat swasta, serta pengurangan jam kerja. Berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sarkenas), jumlah pengangguran karena dampak Covid-19 sebanyak 14,6 ribu orang. Sementara, penduduk yang tidak bekerja karena dirumahkan sebanyak 15,26 ribu orang.
Selain itu, pegawai yang mengalami pengurangan jam kerja sebanyak 132,87 ribu orang. Data penduduk yang bekerja usaha sendiri pada tahun 2019 yang awalnya mencapai 16,85 ribu orang, juga turun sekitar 350 usaha pada 2020 menjadi 16,50 ribu penduduk.
Menurut Arif, tingginya pengangguran sepanjang 2020 tak terlepas dari daya beli masyarakat yang tergerus akibat pandemi. Padahal, konsumsi rumah tangga menjadi tumpuan pertumbuhan ekonomi. Imbasnya, produk domestik regional bruto (PDRB) pada 2020 juga mengalami kontraksi 2,98 persen. Kondisi ini otomatis berdampak terhadap turunnya usaha di sektor barang dan jasa. āDaya beli masyarakat, inflasinya rendah. Dan deflasi kemarin itu, bisa jadi salah satu penyebabnya karena daya beli rendah,ā ungkapnya.
Reporter : Dwi Siswanto dan Dian Cahyani
Fotografer : Ilustrasi Radar Jember
Editor : Mahrus Sholih