23 C
Jember
Saturday, 25 March 2023

Pekerja di Jember Kian Tak Berdaya

"Teman-teman buruh juga pesimistis takut tiba-tiba di-PHK. Karena perusahaan atau tempat mereka bekerja juga mengalami kerugian." Taufiq Rahman - Ketua SPSI Jember

Mobile_AP_Rectangle 1

JEMBER, RADARJEMBER.ID – WALAU pandemi kian membaik, namun perekonomian di Indonesia, termasuk di Jember, masih belum pulih dan berjalan lambat. Terutama sejak adanya penerapan PPKM yang terus diperpanjang dan tak kunjung selesai. Membuat beberapa usaha mengurangi jumlah karyawan. Bahkan, beberapa di antaranya sampai gulung tikar.

Selama pandemi, para pekerja memang banyak yang menjadi korban PHK. Mereka harus mencari cara untuk tetap mendapatkan penghasilan agar bisa bertahan hidup. Sebab, tagihan listrik, biaya pendidikan anak, dan biaya untuk makan masih menjadi tanggungan yang tak bisa dihilangkan.

Ketua Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Jember Taufiq Rahman menjelaskan, kondisi para pekerja dan buruh di Jember sangat haus perhatian. Mereka yang di-PHK banyak yang tidak tahu harus ke mana mencari pekerjaan. Terutama bagi pekerja yang usianya mendekati setengah abad, karena tenaga mereka tidak lagi diincar oleh perusahaan.

Mobile_AP_Rectangle 2

Tak hanya bagi buruh yang telah di-PHK, karyawan yang masih bekerja juga memiliki kecemasan yang sama. Mereka khawatir pendapatan berkurang akibat gajinya dipotong, lantaran waktu bekerja berkurang akibat aturan PPKM yang terus berkelanjutan. “Teman-teman buruh juga pesimistis takut tiba-tiba di-PHK. Karena perusahaan atau tempat mereka bekerja juga mengalami kerugian,” ucap Taufiq.

Beberapa waktu lalu, sebagian buruh memang menerima Bantuan Sosial Upah (BSU) yang diberikan secara bertahap. Namun, bantuan tersebut dinilai tidak tepat sasaran. Artinya, sebagian buruh yang tak menerima bantuan justru lebih membutuhkan. “Yang mendata dari pusat. Jadi, kurang mengetahui bagaimana keadaan teman-teman di lapangan. Kondisi pekerjaan atau penghasilannya berapa, itu bantuannya belum disesuaikan dengan itu,” ungkapnya.

Meski para buruh telah memiliki kemampuan tertentu dalam beberapa bidang, namun mereka tak bisa memanfaatkan skill tersebut karena kurangnya pengetahuan juga dukungan dari pemerintah. Dalam situasi keterpurukan seperti saat ini, mereka membutuhkan stimulus yang bentuknya tak harus berupa materi atau uang. Mereka justru membutuhkan pelatihan, bagaimana caranya agar skill yang mereka miliki tidak hanya digunakan di perusahaan.

“Setidaknya ada pemberdayaan, seperti pelatihan, yang di situ disesuaikan dengan kebutuhan teman-teman,” tuturnya. Dulu, dia menambahkan, memang pernah ada pelatihan merias. Namun, tidak semua membutuhkan dan hanya kalangan tertentu yang bisa. Setidaknya, pelatihan yang digelar adalah yang dibutuhkan oleh industri atau perusahaan sekarang. “Jadi, teman-teman bisa punya kemampuan sesuai lapangan kerja yang ada. Dan itu tentu menjadi peluang besar untuk mendapat penghasilan yang lebih baik,” imbuhnya.

Sejak era pemerintahan bupati sebelumnya hingga saat ini, Taufiq berkata, belum pernah ada kebijakan yang berpihak terhadap buruh. Padahal, nasib mereka sangat bergantung pada kebijakan dan kondisi perusahaan tempat mereka bekerja. “Semakin lama adanya PPKM ini, semakin terasa dampaknya bagi kami. Ini menambah kecemasan, karena banyak perusahaan yang hanya buka paruh waktu saja. Sementara, pemerintah belum membuat kebijakan yang menjamin pekerjaan dan penghasilan kami,” ujarnya.

Tak jauh berbeda, Ketua Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) Jember Umar Faruk mengatakan, kondisi buruh saat ini sangat memprihatinkan. Terutama sejak awal pandemi, sekitar akhir Maret 2020 lalu. “Sebuah malapetaka bagi kami. Saat itu ada sekitar 350 anggota Sarbumusi yang terkena PHK maupun dirumahkan,” katanya.

Pihaknya sempat mengajukan permohonan bantuan karena kebetulan ada program dari pemerintah melalui program ketenagakerjaan. Alhasil, dari 350 orang yang diajukan dalam bantuan itu, ada sekitar 30 persen yang mendapat bantuan senilai Rp 600 ribu.

Sebenarnya, dirinya kecewa atas ketidaksesuaian bantuan dengan data yang diajukan. Sebab, sejumlah nama yang dimasukkan dalam data adalah mereka yang memang kehilangan sumber penghasilan. Akhirnya, Faruk mencoba berkomentar ke dinas terkait, yakni Dinas Ketenagakerjaan, untuk menjelaskan perihal bantuan yang tidak merata tersebut. “Dinas tenaga kerja sendiri tidak memberi info jelas. Ini harusnya disampaikan ke serikat buruh, sehingga kami bisa memberi data valid berapa jumlah anggota kami yang terkena PHK dan dirumahkan. Akhirnya, kami kirim ke kementerian dan bupati,” terangnya.

Sampai saat ini, Faruk melanjutkan, terdapat beberapa perusahaan yang menerapkan waktu bekerja hanya 12 hari dalam sebulan. Tentunya gaji yang diterima sesuai waktu bekerja. Adanya kebijakan ini belum mendapat respons dari pemerintah, baik pusat maupun daerah, melalui surat edaran atau petunjuk bagi pengusaha dan perusahaan. “Imbas itu memang ada. Kemarin per Agustus ada sekitar 21 orang yang tidak dipekerjakan karena alasan PPKM. Lalu, di Semen Puger ada sekitar 300 lebih pekerja. Pabrik PT Semen Puger tutup dengan alasan Covid-19. Sampai sekarang masih tutup dan mereka tidak membayar apa pun,” ujarnya.

Menurutnya, peristiwa ini menjadi masalah bersama yang harus segara dituntaskan. Seharusnya, pemerintah segera menanggapi dan merangkul para buruh dengan membuat program konkret. Seperti mengadakan pelatihan dan pengembangan skill. Sebab, menurut pengamatannya, mayoritas buruh di Jember belum memiliki skill yang mumpuni karena rendahnya tingkat pendidikan yang mereka miliki.

“Kami berharap ada komunikasi yang lebih baik dari pemerintah. Harusnya Disnaker punya data resmi tentang keberadaan serikat buruh di Jember. Begitu juga dengan jumlah anggotanya. Dari situ kan jelas ada sebuah pembinaan dari pemerintah kepada kami,” katanya.

Faruk menyebut, dari data yang diperoleh, jumlah perusahaan di Jember kurang lebih sekitar 850 dengan sekitar 170 ribu tenaga kerja. Di sisi lain, personel bidang pengawasan hanya dua orang di Jember. Karenanya, rasio antara jumlah perusahaan, buruh, dan pengawas sangat timpang. “Tentu jangan berpikir negatif kepada para buruh. Kalau ada sosialisasi dari pemerintah, kami juga tidak hanya mengkritisi saja. Tapi, kami bisa bermitra dengan baik dan membantu mencari solusi dalam mencari pekerjaan,” pungkasnya.

Reporter : Delfi Nihayah

Fotografer : Ilustrasi Radar Jember

Editor : Mahrus Sholih

- Advertisement -

JEMBER, RADARJEMBER.ID – WALAU pandemi kian membaik, namun perekonomian di Indonesia, termasuk di Jember, masih belum pulih dan berjalan lambat. Terutama sejak adanya penerapan PPKM yang terus diperpanjang dan tak kunjung selesai. Membuat beberapa usaha mengurangi jumlah karyawan. Bahkan, beberapa di antaranya sampai gulung tikar.

Selama pandemi, para pekerja memang banyak yang menjadi korban PHK. Mereka harus mencari cara untuk tetap mendapatkan penghasilan agar bisa bertahan hidup. Sebab, tagihan listrik, biaya pendidikan anak, dan biaya untuk makan masih menjadi tanggungan yang tak bisa dihilangkan.

Ketua Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Jember Taufiq Rahman menjelaskan, kondisi para pekerja dan buruh di Jember sangat haus perhatian. Mereka yang di-PHK banyak yang tidak tahu harus ke mana mencari pekerjaan. Terutama bagi pekerja yang usianya mendekati setengah abad, karena tenaga mereka tidak lagi diincar oleh perusahaan.

Tak hanya bagi buruh yang telah di-PHK, karyawan yang masih bekerja juga memiliki kecemasan yang sama. Mereka khawatir pendapatan berkurang akibat gajinya dipotong, lantaran waktu bekerja berkurang akibat aturan PPKM yang terus berkelanjutan. “Teman-teman buruh juga pesimistis takut tiba-tiba di-PHK. Karena perusahaan atau tempat mereka bekerja juga mengalami kerugian,” ucap Taufiq.

Beberapa waktu lalu, sebagian buruh memang menerima Bantuan Sosial Upah (BSU) yang diberikan secara bertahap. Namun, bantuan tersebut dinilai tidak tepat sasaran. Artinya, sebagian buruh yang tak menerima bantuan justru lebih membutuhkan. “Yang mendata dari pusat. Jadi, kurang mengetahui bagaimana keadaan teman-teman di lapangan. Kondisi pekerjaan atau penghasilannya berapa, itu bantuannya belum disesuaikan dengan itu,” ungkapnya.

Meski para buruh telah memiliki kemampuan tertentu dalam beberapa bidang, namun mereka tak bisa memanfaatkan skill tersebut karena kurangnya pengetahuan juga dukungan dari pemerintah. Dalam situasi keterpurukan seperti saat ini, mereka membutuhkan stimulus yang bentuknya tak harus berupa materi atau uang. Mereka justru membutuhkan pelatihan, bagaimana caranya agar skill yang mereka miliki tidak hanya digunakan di perusahaan.

“Setidaknya ada pemberdayaan, seperti pelatihan, yang di situ disesuaikan dengan kebutuhan teman-teman,” tuturnya. Dulu, dia menambahkan, memang pernah ada pelatihan merias. Namun, tidak semua membutuhkan dan hanya kalangan tertentu yang bisa. Setidaknya, pelatihan yang digelar adalah yang dibutuhkan oleh industri atau perusahaan sekarang. “Jadi, teman-teman bisa punya kemampuan sesuai lapangan kerja yang ada. Dan itu tentu menjadi peluang besar untuk mendapat penghasilan yang lebih baik,” imbuhnya.

Sejak era pemerintahan bupati sebelumnya hingga saat ini, Taufiq berkata, belum pernah ada kebijakan yang berpihak terhadap buruh. Padahal, nasib mereka sangat bergantung pada kebijakan dan kondisi perusahaan tempat mereka bekerja. “Semakin lama adanya PPKM ini, semakin terasa dampaknya bagi kami. Ini menambah kecemasan, karena banyak perusahaan yang hanya buka paruh waktu saja. Sementara, pemerintah belum membuat kebijakan yang menjamin pekerjaan dan penghasilan kami,” ujarnya.

Tak jauh berbeda, Ketua Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) Jember Umar Faruk mengatakan, kondisi buruh saat ini sangat memprihatinkan. Terutama sejak awal pandemi, sekitar akhir Maret 2020 lalu. “Sebuah malapetaka bagi kami. Saat itu ada sekitar 350 anggota Sarbumusi yang terkena PHK maupun dirumahkan,” katanya.

Pihaknya sempat mengajukan permohonan bantuan karena kebetulan ada program dari pemerintah melalui program ketenagakerjaan. Alhasil, dari 350 orang yang diajukan dalam bantuan itu, ada sekitar 30 persen yang mendapat bantuan senilai Rp 600 ribu.

Sebenarnya, dirinya kecewa atas ketidaksesuaian bantuan dengan data yang diajukan. Sebab, sejumlah nama yang dimasukkan dalam data adalah mereka yang memang kehilangan sumber penghasilan. Akhirnya, Faruk mencoba berkomentar ke dinas terkait, yakni Dinas Ketenagakerjaan, untuk menjelaskan perihal bantuan yang tidak merata tersebut. “Dinas tenaga kerja sendiri tidak memberi info jelas. Ini harusnya disampaikan ke serikat buruh, sehingga kami bisa memberi data valid berapa jumlah anggota kami yang terkena PHK dan dirumahkan. Akhirnya, kami kirim ke kementerian dan bupati,” terangnya.

Sampai saat ini, Faruk melanjutkan, terdapat beberapa perusahaan yang menerapkan waktu bekerja hanya 12 hari dalam sebulan. Tentunya gaji yang diterima sesuai waktu bekerja. Adanya kebijakan ini belum mendapat respons dari pemerintah, baik pusat maupun daerah, melalui surat edaran atau petunjuk bagi pengusaha dan perusahaan. “Imbas itu memang ada. Kemarin per Agustus ada sekitar 21 orang yang tidak dipekerjakan karena alasan PPKM. Lalu, di Semen Puger ada sekitar 300 lebih pekerja. Pabrik PT Semen Puger tutup dengan alasan Covid-19. Sampai sekarang masih tutup dan mereka tidak membayar apa pun,” ujarnya.

Menurutnya, peristiwa ini menjadi masalah bersama yang harus segara dituntaskan. Seharusnya, pemerintah segera menanggapi dan merangkul para buruh dengan membuat program konkret. Seperti mengadakan pelatihan dan pengembangan skill. Sebab, menurut pengamatannya, mayoritas buruh di Jember belum memiliki skill yang mumpuni karena rendahnya tingkat pendidikan yang mereka miliki.

“Kami berharap ada komunikasi yang lebih baik dari pemerintah. Harusnya Disnaker punya data resmi tentang keberadaan serikat buruh di Jember. Begitu juga dengan jumlah anggotanya. Dari situ kan jelas ada sebuah pembinaan dari pemerintah kepada kami,” katanya.

Faruk menyebut, dari data yang diperoleh, jumlah perusahaan di Jember kurang lebih sekitar 850 dengan sekitar 170 ribu tenaga kerja. Di sisi lain, personel bidang pengawasan hanya dua orang di Jember. Karenanya, rasio antara jumlah perusahaan, buruh, dan pengawas sangat timpang. “Tentu jangan berpikir negatif kepada para buruh. Kalau ada sosialisasi dari pemerintah, kami juga tidak hanya mengkritisi saja. Tapi, kami bisa bermitra dengan baik dan membantu mencari solusi dalam mencari pekerjaan,” pungkasnya.

Reporter : Delfi Nihayah

Fotografer : Ilustrasi Radar Jember

Editor : Mahrus Sholih

JEMBER, RADARJEMBER.ID – WALAU pandemi kian membaik, namun perekonomian di Indonesia, termasuk di Jember, masih belum pulih dan berjalan lambat. Terutama sejak adanya penerapan PPKM yang terus diperpanjang dan tak kunjung selesai. Membuat beberapa usaha mengurangi jumlah karyawan. Bahkan, beberapa di antaranya sampai gulung tikar.

Selama pandemi, para pekerja memang banyak yang menjadi korban PHK. Mereka harus mencari cara untuk tetap mendapatkan penghasilan agar bisa bertahan hidup. Sebab, tagihan listrik, biaya pendidikan anak, dan biaya untuk makan masih menjadi tanggungan yang tak bisa dihilangkan.

Ketua Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Jember Taufiq Rahman menjelaskan, kondisi para pekerja dan buruh di Jember sangat haus perhatian. Mereka yang di-PHK banyak yang tidak tahu harus ke mana mencari pekerjaan. Terutama bagi pekerja yang usianya mendekati setengah abad, karena tenaga mereka tidak lagi diincar oleh perusahaan.

Tak hanya bagi buruh yang telah di-PHK, karyawan yang masih bekerja juga memiliki kecemasan yang sama. Mereka khawatir pendapatan berkurang akibat gajinya dipotong, lantaran waktu bekerja berkurang akibat aturan PPKM yang terus berkelanjutan. “Teman-teman buruh juga pesimistis takut tiba-tiba di-PHK. Karena perusahaan atau tempat mereka bekerja juga mengalami kerugian,” ucap Taufiq.

Beberapa waktu lalu, sebagian buruh memang menerima Bantuan Sosial Upah (BSU) yang diberikan secara bertahap. Namun, bantuan tersebut dinilai tidak tepat sasaran. Artinya, sebagian buruh yang tak menerima bantuan justru lebih membutuhkan. “Yang mendata dari pusat. Jadi, kurang mengetahui bagaimana keadaan teman-teman di lapangan. Kondisi pekerjaan atau penghasilannya berapa, itu bantuannya belum disesuaikan dengan itu,” ungkapnya.

Meski para buruh telah memiliki kemampuan tertentu dalam beberapa bidang, namun mereka tak bisa memanfaatkan skill tersebut karena kurangnya pengetahuan juga dukungan dari pemerintah. Dalam situasi keterpurukan seperti saat ini, mereka membutuhkan stimulus yang bentuknya tak harus berupa materi atau uang. Mereka justru membutuhkan pelatihan, bagaimana caranya agar skill yang mereka miliki tidak hanya digunakan di perusahaan.

“Setidaknya ada pemberdayaan, seperti pelatihan, yang di situ disesuaikan dengan kebutuhan teman-teman,” tuturnya. Dulu, dia menambahkan, memang pernah ada pelatihan merias. Namun, tidak semua membutuhkan dan hanya kalangan tertentu yang bisa. Setidaknya, pelatihan yang digelar adalah yang dibutuhkan oleh industri atau perusahaan sekarang. “Jadi, teman-teman bisa punya kemampuan sesuai lapangan kerja yang ada. Dan itu tentu menjadi peluang besar untuk mendapat penghasilan yang lebih baik,” imbuhnya.

Sejak era pemerintahan bupati sebelumnya hingga saat ini, Taufiq berkata, belum pernah ada kebijakan yang berpihak terhadap buruh. Padahal, nasib mereka sangat bergantung pada kebijakan dan kondisi perusahaan tempat mereka bekerja. “Semakin lama adanya PPKM ini, semakin terasa dampaknya bagi kami. Ini menambah kecemasan, karena banyak perusahaan yang hanya buka paruh waktu saja. Sementara, pemerintah belum membuat kebijakan yang menjamin pekerjaan dan penghasilan kami,” ujarnya.

Tak jauh berbeda, Ketua Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) Jember Umar Faruk mengatakan, kondisi buruh saat ini sangat memprihatinkan. Terutama sejak awal pandemi, sekitar akhir Maret 2020 lalu. “Sebuah malapetaka bagi kami. Saat itu ada sekitar 350 anggota Sarbumusi yang terkena PHK maupun dirumahkan,” katanya.

Pihaknya sempat mengajukan permohonan bantuan karena kebetulan ada program dari pemerintah melalui program ketenagakerjaan. Alhasil, dari 350 orang yang diajukan dalam bantuan itu, ada sekitar 30 persen yang mendapat bantuan senilai Rp 600 ribu.

Sebenarnya, dirinya kecewa atas ketidaksesuaian bantuan dengan data yang diajukan. Sebab, sejumlah nama yang dimasukkan dalam data adalah mereka yang memang kehilangan sumber penghasilan. Akhirnya, Faruk mencoba berkomentar ke dinas terkait, yakni Dinas Ketenagakerjaan, untuk menjelaskan perihal bantuan yang tidak merata tersebut. “Dinas tenaga kerja sendiri tidak memberi info jelas. Ini harusnya disampaikan ke serikat buruh, sehingga kami bisa memberi data valid berapa jumlah anggota kami yang terkena PHK dan dirumahkan. Akhirnya, kami kirim ke kementerian dan bupati,” terangnya.

Sampai saat ini, Faruk melanjutkan, terdapat beberapa perusahaan yang menerapkan waktu bekerja hanya 12 hari dalam sebulan. Tentunya gaji yang diterima sesuai waktu bekerja. Adanya kebijakan ini belum mendapat respons dari pemerintah, baik pusat maupun daerah, melalui surat edaran atau petunjuk bagi pengusaha dan perusahaan. “Imbas itu memang ada. Kemarin per Agustus ada sekitar 21 orang yang tidak dipekerjakan karena alasan PPKM. Lalu, di Semen Puger ada sekitar 300 lebih pekerja. Pabrik PT Semen Puger tutup dengan alasan Covid-19. Sampai sekarang masih tutup dan mereka tidak membayar apa pun,” ujarnya.

Menurutnya, peristiwa ini menjadi masalah bersama yang harus segara dituntaskan. Seharusnya, pemerintah segera menanggapi dan merangkul para buruh dengan membuat program konkret. Seperti mengadakan pelatihan dan pengembangan skill. Sebab, menurut pengamatannya, mayoritas buruh di Jember belum memiliki skill yang mumpuni karena rendahnya tingkat pendidikan yang mereka miliki.

“Kami berharap ada komunikasi yang lebih baik dari pemerintah. Harusnya Disnaker punya data resmi tentang keberadaan serikat buruh di Jember. Begitu juga dengan jumlah anggotanya. Dari situ kan jelas ada sebuah pembinaan dari pemerintah kepada kami,” katanya.

Faruk menyebut, dari data yang diperoleh, jumlah perusahaan di Jember kurang lebih sekitar 850 dengan sekitar 170 ribu tenaga kerja. Di sisi lain, personel bidang pengawasan hanya dua orang di Jember. Karenanya, rasio antara jumlah perusahaan, buruh, dan pengawas sangat timpang. “Tentu jangan berpikir negatif kepada para buruh. Kalau ada sosialisasi dari pemerintah, kami juga tidak hanya mengkritisi saja. Tapi, kami bisa bermitra dengan baik dan membantu mencari solusi dalam mencari pekerjaan,” pungkasnya.

Reporter : Delfi Nihayah

Fotografer : Ilustrasi Radar Jember

Editor : Mahrus Sholih

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca