23.2 C
Jember
Friday, 24 March 2023

Legalisasi Galian C Tuai Kritik

Mobile_AP_Rectangle 1

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Rencana pemerintah melegalkan semua aktivitas pertambangan galian C di Jember menuai sorotan dari sejumlah kalangan. Sebab, tambang galian C yang akan digunakan untuk memasok material proyek pembangunan Pemkab Jember itu dirasa perlu diimbangi dengan kebijakan tegas. Jika tidak, justru akan memicu kerusakan lingkungan.

Kepala Program Studi (Kaprodi) Magister Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan (PSDAL) Pascasarjana Universitas Jember (Unej) Dr Luh Putu Suciati menilai, upaya pemerintah itu memang bagus. Namun, jika kebijakan tersebut berkaitan dengan kondisi lingkungan, maka harus diimbangi dengan aturan tegas. “Satu-satunya cara mencegah ya dengan peraturan yang mengikat atau mewajibkan pengusaha tambang,” jelasnya.

Ia menyebut, aturan yang dibikin pemerintah itu bisa terdiri atas analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) yang mewajibkan tiap pengusaha tambang yang akan dilegalkan nantinya. Di mana salah satu kewajibannya adalah melakukan reklamasi, restorasi, remediasi, dan lainnya. “Ada banyak cara untuk pelaku tambang. Tentunya dengan ada monev (monitoring dan evaluasi, Red) dari Dinas Lingkungan Hidup,” sebutnya.

Mobile_AP_Rectangle 2

Selain itu, ia juga menilai, kabar pemerintah daerah yang akan menyusun dokumen kajian lingkungan hidup strategis (KLHS), juga harus selaras dengan rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD) dan rencana aksi daerah (RAD). Semuanya harus mengarah pada tujuan pembangunan berkelanjutan atau SDGs. “Instrumennya memang di peraturan daerah. Dan harus dikawal,” bebernya.

Sementara itu, Ketua Dewan Eksekutif Lembaga Pendidikan Rakyat untuk Kedaulatan Sumber-Sumber Agraria (LPR KuaSA) Muhammad Nur Wahid menilai berbeda. Menurut dia, berbicara tambang galian C, berarti menyoal kelestarian alam yang merujuk pada keberadaan gumuk-gumuk di Jember.

Sebab, kata dia, gumuk tersebut menjadi salah satu tameng alami dari adanya angin puting beliung, serta menjadi daerah resapan air sekaligus habitat binatang liar. “Jember akan kehilangan ikon Kota Seribu Gumuk. Dan pada akhirnya menghadirkan bencana,” jelas Wahid.

Jika alasan pemerintah daerah untuk memasok material pada proyek pemkab, maka hal itu seharusnya bisa diupayakan dengan mendatangkan pasokan dari luar. Pasir Lumajang, misalnya.

Ia juga menilai, kalaupun kebijakan pemkab tersebut untuk menggeliatkan perekonomian, seharusnya lebih diarahkan ke bidang pertanian, perkebunan, dan atau pariwisata. Sebab, selama ini Pendapatan Asli Daerah (PAD) Jember banyak ditopang oleh sektor tersebut.

Lebih jauh, Wahid memaparkan, dalam catatannya, pada 2012 lalu terdapat sekitar 1.670 gumuk. Sampai saat ini, jumlah tersebut terus menyusut dan turun hingga mencapai 15 persen lebih. Sekalipun nanti pengusaha tambang diwajibkan mereklamasi atau merestorasi bekas galian tambang, namun hal itu dianggapnya belum cukup untuk mencegah dampak kerusakan yang telah nyata.

Apalagi menjawab dampak yang dihasilkan dari gumuk setelah ditambang. “Kalau kita ingin berbicara geliatnya ekonomi kerakyatan, seharusnya diarahkan ke sumber-sumber strategis. Dan itu bukan tambang,” pungkasnya.

 

 

Jurnalis : Maulana
Fotografer : Dokumentasi Radar Jember
Redaktur : Mahrus Sholih

- Advertisement -

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Rencana pemerintah melegalkan semua aktivitas pertambangan galian C di Jember menuai sorotan dari sejumlah kalangan. Sebab, tambang galian C yang akan digunakan untuk memasok material proyek pembangunan Pemkab Jember itu dirasa perlu diimbangi dengan kebijakan tegas. Jika tidak, justru akan memicu kerusakan lingkungan.

Kepala Program Studi (Kaprodi) Magister Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan (PSDAL) Pascasarjana Universitas Jember (Unej) Dr Luh Putu Suciati menilai, upaya pemerintah itu memang bagus. Namun, jika kebijakan tersebut berkaitan dengan kondisi lingkungan, maka harus diimbangi dengan aturan tegas. “Satu-satunya cara mencegah ya dengan peraturan yang mengikat atau mewajibkan pengusaha tambang,” jelasnya.

Ia menyebut, aturan yang dibikin pemerintah itu bisa terdiri atas analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) yang mewajibkan tiap pengusaha tambang yang akan dilegalkan nantinya. Di mana salah satu kewajibannya adalah melakukan reklamasi, restorasi, remediasi, dan lainnya. “Ada banyak cara untuk pelaku tambang. Tentunya dengan ada monev (monitoring dan evaluasi, Red) dari Dinas Lingkungan Hidup,” sebutnya.

Selain itu, ia juga menilai, kabar pemerintah daerah yang akan menyusun dokumen kajian lingkungan hidup strategis (KLHS), juga harus selaras dengan rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD) dan rencana aksi daerah (RAD). Semuanya harus mengarah pada tujuan pembangunan berkelanjutan atau SDGs. “Instrumennya memang di peraturan daerah. Dan harus dikawal,” bebernya.

Sementara itu, Ketua Dewan Eksekutif Lembaga Pendidikan Rakyat untuk Kedaulatan Sumber-Sumber Agraria (LPR KuaSA) Muhammad Nur Wahid menilai berbeda. Menurut dia, berbicara tambang galian C, berarti menyoal kelestarian alam yang merujuk pada keberadaan gumuk-gumuk di Jember.

Sebab, kata dia, gumuk tersebut menjadi salah satu tameng alami dari adanya angin puting beliung, serta menjadi daerah resapan air sekaligus habitat binatang liar. “Jember akan kehilangan ikon Kota Seribu Gumuk. Dan pada akhirnya menghadirkan bencana,” jelas Wahid.

Jika alasan pemerintah daerah untuk memasok material pada proyek pemkab, maka hal itu seharusnya bisa diupayakan dengan mendatangkan pasokan dari luar. Pasir Lumajang, misalnya.

Ia juga menilai, kalaupun kebijakan pemkab tersebut untuk menggeliatkan perekonomian, seharusnya lebih diarahkan ke bidang pertanian, perkebunan, dan atau pariwisata. Sebab, selama ini Pendapatan Asli Daerah (PAD) Jember banyak ditopang oleh sektor tersebut.

Lebih jauh, Wahid memaparkan, dalam catatannya, pada 2012 lalu terdapat sekitar 1.670 gumuk. Sampai saat ini, jumlah tersebut terus menyusut dan turun hingga mencapai 15 persen lebih. Sekalipun nanti pengusaha tambang diwajibkan mereklamasi atau merestorasi bekas galian tambang, namun hal itu dianggapnya belum cukup untuk mencegah dampak kerusakan yang telah nyata.

Apalagi menjawab dampak yang dihasilkan dari gumuk setelah ditambang. “Kalau kita ingin berbicara geliatnya ekonomi kerakyatan, seharusnya diarahkan ke sumber-sumber strategis. Dan itu bukan tambang,” pungkasnya.

 

 

Jurnalis : Maulana
Fotografer : Dokumentasi Radar Jember
Redaktur : Mahrus Sholih

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Rencana pemerintah melegalkan semua aktivitas pertambangan galian C di Jember menuai sorotan dari sejumlah kalangan. Sebab, tambang galian C yang akan digunakan untuk memasok material proyek pembangunan Pemkab Jember itu dirasa perlu diimbangi dengan kebijakan tegas. Jika tidak, justru akan memicu kerusakan lingkungan.

Kepala Program Studi (Kaprodi) Magister Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan (PSDAL) Pascasarjana Universitas Jember (Unej) Dr Luh Putu Suciati menilai, upaya pemerintah itu memang bagus. Namun, jika kebijakan tersebut berkaitan dengan kondisi lingkungan, maka harus diimbangi dengan aturan tegas. “Satu-satunya cara mencegah ya dengan peraturan yang mengikat atau mewajibkan pengusaha tambang,” jelasnya.

Ia menyebut, aturan yang dibikin pemerintah itu bisa terdiri atas analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) yang mewajibkan tiap pengusaha tambang yang akan dilegalkan nantinya. Di mana salah satu kewajibannya adalah melakukan reklamasi, restorasi, remediasi, dan lainnya. “Ada banyak cara untuk pelaku tambang. Tentunya dengan ada monev (monitoring dan evaluasi, Red) dari Dinas Lingkungan Hidup,” sebutnya.

Selain itu, ia juga menilai, kabar pemerintah daerah yang akan menyusun dokumen kajian lingkungan hidup strategis (KLHS), juga harus selaras dengan rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD) dan rencana aksi daerah (RAD). Semuanya harus mengarah pada tujuan pembangunan berkelanjutan atau SDGs. “Instrumennya memang di peraturan daerah. Dan harus dikawal,” bebernya.

Sementara itu, Ketua Dewan Eksekutif Lembaga Pendidikan Rakyat untuk Kedaulatan Sumber-Sumber Agraria (LPR KuaSA) Muhammad Nur Wahid menilai berbeda. Menurut dia, berbicara tambang galian C, berarti menyoal kelestarian alam yang merujuk pada keberadaan gumuk-gumuk di Jember.

Sebab, kata dia, gumuk tersebut menjadi salah satu tameng alami dari adanya angin puting beliung, serta menjadi daerah resapan air sekaligus habitat binatang liar. “Jember akan kehilangan ikon Kota Seribu Gumuk. Dan pada akhirnya menghadirkan bencana,” jelas Wahid.

Jika alasan pemerintah daerah untuk memasok material pada proyek pemkab, maka hal itu seharusnya bisa diupayakan dengan mendatangkan pasokan dari luar. Pasir Lumajang, misalnya.

Ia juga menilai, kalaupun kebijakan pemkab tersebut untuk menggeliatkan perekonomian, seharusnya lebih diarahkan ke bidang pertanian, perkebunan, dan atau pariwisata. Sebab, selama ini Pendapatan Asli Daerah (PAD) Jember banyak ditopang oleh sektor tersebut.

Lebih jauh, Wahid memaparkan, dalam catatannya, pada 2012 lalu terdapat sekitar 1.670 gumuk. Sampai saat ini, jumlah tersebut terus menyusut dan turun hingga mencapai 15 persen lebih. Sekalipun nanti pengusaha tambang diwajibkan mereklamasi atau merestorasi bekas galian tambang, namun hal itu dianggapnya belum cukup untuk mencegah dampak kerusakan yang telah nyata.

Apalagi menjawab dampak yang dihasilkan dari gumuk setelah ditambang. “Kalau kita ingin berbicara geliatnya ekonomi kerakyatan, seharusnya diarahkan ke sumber-sumber strategis. Dan itu bukan tambang,” pungkasnya.

 

 

Jurnalis : Maulana
Fotografer : Dokumentasi Radar Jember
Redaktur : Mahrus Sholih

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca