JEMBER, RADARJEMBER.ID – Urusan THR sejatinya telah tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan dan Permenaker Nomor 6 Tahun 2016 tentang THR. Amanah PP dan Permenaker juga menegaskan perusahaan berkewajiban menunaikan hak THR paling lambat tujuh hari sebelum hari raya keagamaan. Baik buruh yang berstatus tetap ataupun buruh yang diikat dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT).
Baca Juga : Perusahaan Wajib Membayarkan THR Penuh Tahun Ini
Selama dua tahun terakhir, pandemi Covid-19 sempat menjadi alasan nomor wahid bagi seluruh perusahaan untuk tidak membayarkannya. Ada perusahaan yang tidak membayarkan THR sama sekali, ada yang minta separuhnya, ditangguhkan, dan ada yang “melupakannya” dengan alasan perusahaan kolaps. Bahkan, tidak sedikit yang dibahas dengan kesepakatan-kesepakatan antara buruh dengan perusahaan.
Kali ini korona akan berlebaran untuk kali ketiga. Akankah hal ini membuat perusahaan ogah untuk membayarkan THR? Apabila yang terjadi demikian, pekerja atau buruh pasti bertanya-tanya, apa fungsi dan di mana perlindungan pemerintah?
Namun, pandemi sejak 2020 lalu kerap disebut-sebut menjadi faktor tersendatnya THR. Bahkan ada THR yang ditunaikan berdasarkan kesepakatan. “Dalam Permenaker Nomor 6 Tahun 2016, sudah ditegaskan bahwa kewajiban perusahaan harus membayarkan THR paling lambat H-7 Lebaran,” kata Umar Faruk, Ketua DPC Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) Jember.
Dia menjelaskan, ada beberapa poin mengenai kewajiban perusahaan dalam hal THR itu. Pertama, perusahaan wajib memberikan THR keagamaan kepada pekerja/buruh yang telah mempunyai masa kerja satu bulan secara terus-menerus atau lebih. Kedua, pekerja buruh yang mempunyai masa bekerja 12 bulan atau lebih, diberikan satu bulan upah. Ketiga, pekerja buruh yang memiliki masa kerja satu bulan terus-terusan tapi kurang dari 12 bulan, diberikan secara proporsional sesuai dengan masa kerja dengan perhitungan masa kerja dibagi dua belas dikalikan satu kali upah.
Keempat, untuk jenis pekerjaan yang upahnya dibayar borongan, besaran tunjangan hari raya adalah upah rata-rata tiga bulan terakhir. Kelima, THR keagamaan wajib dibayarkan oleh pengusaha paling lambat H-7 sebelum hari raya keagamaan, sekitar 23 April 2022. Keenam, perusahaan yang terlambat membayarkan THR itu dikenai denda 5 persen dari total THR yang harus dibayarkan. “Pengenaan denda atas keterlambatan pembayaran THR tidak menghilangkan kewajiban perusahaan untuk tetap membayarkan THR keagamaan,” jelas Faruk.
Dalam beberapa riwayat laporan dari Sarbumusi di tingkat basis, lanjut dia, selama 2020 dan 2021 kemarin, ada beberapa buruh yang masih tersendat penerimaan THR-nya. Dari yang dicicil, terlalu mepet Lebaran, hingga dihasilkan berdasarkan kesepakatan. Namun demikian, kondisi kolapsnya perusahaan dinilainya tidak bisa dikesampingkan karena faktor pandemi. Ada wilayah yang memang harus disikapi dengan arif dan bijaksana, tanpa merugikan kedua belah pihak (buruh dan perusahaan). “Kami menyadari tidak semua perusahaan dalam kondisi sehat. Tapi tetap harus disikapi dengan bijak,” kata Faruk.
Senada, Sekretaris Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Jember Taufik Rahman juga menilai serupa. Menurut dia, dengan kondisi perusahaan yang diakuinya sudah mulai me-recovery pascapandemi, maka kewajiban perusahaan itu sudah semestinya ditunaikan secara proporsional dan sesuai amanat undang-undang yang berlaku. “Meskipun ada toleransi kepada perusahaan, namun kami berharap THR itu ditunaikan, paling lambat H-7 Lebaran nanti,” kata Taufik.
Bentuk pemakluman terhadap perusahaan itu harus disadari oleh perusahaan, yang memang merupakan kewajiban dari perusahaan dan telah diatur undang-undang. Namun demikian, pihaknya mewanti-wanti, meski nanti THR terlahir dari kesepakatan, nilainya tidak boleh di bawah ketentuan yang sudah diatur undang-undang. “Kalau kesepakatan itu terlahir dan nilainya di bawah ketentuan yang diatur undang-undang, maka itu batal demi hukum,” tegas Taufik.
Pihaknya melalui SPSI juga membuka posko pengaduan untuk para buruh atau karyawan yang merasa bermasalah dalam penerimaan THR itu di kantor SPSI Jember. “Kami ingin mengetuk nurani pengusaha, untuk mencoba mengerti kondisi pekerja dan keluarganya di tengah harga-harga yang sedang naik. Kami ingin dorong pengusaha untuk berbagi, dengan cara menyalurkan hak pekerjanya sesuai ketentuan yang berlaku,” pungkasnya.
Jurnalis : Maulana
Fotografer : Grafis reza
Redaktur : Nur Hariri