23.5 C
Jember
Saturday, 25 March 2023

Dampingi Orang Tua Sakit Hati

Mobile_AP_Rectangle 1

LUMAJANG, RADARJEMBER.ID – Bertemu dengan banyak orang dengan karakter berbeda-beda tentu tidak mudah. Apalagi jika yang dihadapi adalah barisan orang-orang yang sakit hati. Beragam cara harus disiapkan. Sebab, setiap permasalahan berbeda solusi. Seperti yang dialami oleh Khamidatun Nissa’ beberapa tahun lalu.

Perempuan yang akrab disapa Nanis tersebut berbagi pengalamannya mendampingi kelompok orang tua yang sakit hati. Sebagai founder Math Science Club (MSC) Lumajang, dia sering menerima aduan dari para orang tua. Baik permasalahan kecil hingga masalah besar yang harus segera diselesaikan. “Saya dan teman-teman di MSC sering menerima aduan dari orang tua yang sakit hati. Terutama pada masalah zonasi sekolah,” ungkapnya, memulai cerita.

Menurutnya, zonasi sekolah yang diterapkan beberapa tahun ini menjadi polemik. Tidak hanya bagi sekolah, tetapi orang tua juga. Banyak orang tua yang pesimistis bahkan sakit hati. Sebab, anak-anak mereka yang berprestasi tidak dapat melanjutkan ke sekolah favorit.

Mobile_AP_Rectangle 2

“Adanya zonasi sekolah memberikan efek luar biasa. Banyak orang tua sakit hati. Mereka tidak bisa menyekolahkan anaknya ke sekolah yang dituju. Meski berprestasi dan memiliki sertifikat kejuaraan, pesaingnya sangat banyak. Di awal zonasi, hanya disediakan kuota jalur prestasi lima persen. Sedangkan mereka yang berprestasi jumlahnya banyak. Tentu ini tidak seimbang,” katanya.

Lulusan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya tersebut menjelaskan, orang tua menjadi putus asa. Hal tersebut berdampak terhadap semangat belajar anak-anaknya. “Mereka putus asa. Bahkan beberapa menelepon saya seperti menyesal. Katanya, tidak penting lagi anak-anaknya ikut lomba dan juara. Toh, ujung-ujungnya mereka hanya sekolah di sekitar rumah saja. Hampir setiap hari kami menerima aduan tersebut. Itu membuat anak-anak menjadi tidak semangat belajar,” jelas perempuan yang pernah menjadi dosen di Unmuh Gresik tersebut.

Oleh sebab itu, dia memutuskan untuk melakukan pendampingan kepada mereka. Terutama saat penerimaan peserta didik baru (PPDB). “Kami sempat mencari informasi hingga ke luar kota tentang masalah prestasi yang tidak dianggap penting saat PPDB. Kami memutuskan untuk membuka semacam kotak pengaduan. Selanjutnya, kami lakukan pendampingan dan mencari solusi bersama,” tambahnya.

Dia mendorong orang tua yang sakit hati untuk berani menyampaikan ke publik. Namun, mereka takut. Sebab, hal tersebut akan mengancam masa depan pendidikan anak mereka. “Pertama, takut identitas diketahui publik. Kalau sudah terungkap, khawatir anaknya akan dipersulit pendidikannya di sekolah. Akhirnya, kami menjembatani untuk bertemu dengan pemerintah daerah. Tetapi, mereka masih belum berani menyampaikan aspirasinya,” tuturnya.

Meski demikian, dia tetap berdiri bersama para orang tua. Dia berharap orang tua dan siswa semakin semangat berprestasi dalam sekolah. “Sebab, prestasi tersebut bisa menjadi jembatan kesuksesan di masa mendatang,” harapnya.

Jurnalis: mg2
Fotografer: Muhammad Sidikin Ali
Editor: Hafid Asnan

- Advertisement -

LUMAJANG, RADARJEMBER.ID – Bertemu dengan banyak orang dengan karakter berbeda-beda tentu tidak mudah. Apalagi jika yang dihadapi adalah barisan orang-orang yang sakit hati. Beragam cara harus disiapkan. Sebab, setiap permasalahan berbeda solusi. Seperti yang dialami oleh Khamidatun Nissa’ beberapa tahun lalu.

Perempuan yang akrab disapa Nanis tersebut berbagi pengalamannya mendampingi kelompok orang tua yang sakit hati. Sebagai founder Math Science Club (MSC) Lumajang, dia sering menerima aduan dari para orang tua. Baik permasalahan kecil hingga masalah besar yang harus segera diselesaikan. “Saya dan teman-teman di MSC sering menerima aduan dari orang tua yang sakit hati. Terutama pada masalah zonasi sekolah,” ungkapnya, memulai cerita.

Menurutnya, zonasi sekolah yang diterapkan beberapa tahun ini menjadi polemik. Tidak hanya bagi sekolah, tetapi orang tua juga. Banyak orang tua yang pesimistis bahkan sakit hati. Sebab, anak-anak mereka yang berprestasi tidak dapat melanjutkan ke sekolah favorit.

“Adanya zonasi sekolah memberikan efek luar biasa. Banyak orang tua sakit hati. Mereka tidak bisa menyekolahkan anaknya ke sekolah yang dituju. Meski berprestasi dan memiliki sertifikat kejuaraan, pesaingnya sangat banyak. Di awal zonasi, hanya disediakan kuota jalur prestasi lima persen. Sedangkan mereka yang berprestasi jumlahnya banyak. Tentu ini tidak seimbang,” katanya.

Lulusan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya tersebut menjelaskan, orang tua menjadi putus asa. Hal tersebut berdampak terhadap semangat belajar anak-anaknya. “Mereka putus asa. Bahkan beberapa menelepon saya seperti menyesal. Katanya, tidak penting lagi anak-anaknya ikut lomba dan juara. Toh, ujung-ujungnya mereka hanya sekolah di sekitar rumah saja. Hampir setiap hari kami menerima aduan tersebut. Itu membuat anak-anak menjadi tidak semangat belajar,” jelas perempuan yang pernah menjadi dosen di Unmuh Gresik tersebut.

Oleh sebab itu, dia memutuskan untuk melakukan pendampingan kepada mereka. Terutama saat penerimaan peserta didik baru (PPDB). “Kami sempat mencari informasi hingga ke luar kota tentang masalah prestasi yang tidak dianggap penting saat PPDB. Kami memutuskan untuk membuka semacam kotak pengaduan. Selanjutnya, kami lakukan pendampingan dan mencari solusi bersama,” tambahnya.

Dia mendorong orang tua yang sakit hati untuk berani menyampaikan ke publik. Namun, mereka takut. Sebab, hal tersebut akan mengancam masa depan pendidikan anak mereka. “Pertama, takut identitas diketahui publik. Kalau sudah terungkap, khawatir anaknya akan dipersulit pendidikannya di sekolah. Akhirnya, kami menjembatani untuk bertemu dengan pemerintah daerah. Tetapi, mereka masih belum berani menyampaikan aspirasinya,” tuturnya.

Meski demikian, dia tetap berdiri bersama para orang tua. Dia berharap orang tua dan siswa semakin semangat berprestasi dalam sekolah. “Sebab, prestasi tersebut bisa menjadi jembatan kesuksesan di masa mendatang,” harapnya.

Jurnalis: mg2
Fotografer: Muhammad Sidikin Ali
Editor: Hafid Asnan

LUMAJANG, RADARJEMBER.ID – Bertemu dengan banyak orang dengan karakter berbeda-beda tentu tidak mudah. Apalagi jika yang dihadapi adalah barisan orang-orang yang sakit hati. Beragam cara harus disiapkan. Sebab, setiap permasalahan berbeda solusi. Seperti yang dialami oleh Khamidatun Nissa’ beberapa tahun lalu.

Perempuan yang akrab disapa Nanis tersebut berbagi pengalamannya mendampingi kelompok orang tua yang sakit hati. Sebagai founder Math Science Club (MSC) Lumajang, dia sering menerima aduan dari para orang tua. Baik permasalahan kecil hingga masalah besar yang harus segera diselesaikan. “Saya dan teman-teman di MSC sering menerima aduan dari orang tua yang sakit hati. Terutama pada masalah zonasi sekolah,” ungkapnya, memulai cerita.

Menurutnya, zonasi sekolah yang diterapkan beberapa tahun ini menjadi polemik. Tidak hanya bagi sekolah, tetapi orang tua juga. Banyak orang tua yang pesimistis bahkan sakit hati. Sebab, anak-anak mereka yang berprestasi tidak dapat melanjutkan ke sekolah favorit.

“Adanya zonasi sekolah memberikan efek luar biasa. Banyak orang tua sakit hati. Mereka tidak bisa menyekolahkan anaknya ke sekolah yang dituju. Meski berprestasi dan memiliki sertifikat kejuaraan, pesaingnya sangat banyak. Di awal zonasi, hanya disediakan kuota jalur prestasi lima persen. Sedangkan mereka yang berprestasi jumlahnya banyak. Tentu ini tidak seimbang,” katanya.

Lulusan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya tersebut menjelaskan, orang tua menjadi putus asa. Hal tersebut berdampak terhadap semangat belajar anak-anaknya. “Mereka putus asa. Bahkan beberapa menelepon saya seperti menyesal. Katanya, tidak penting lagi anak-anaknya ikut lomba dan juara. Toh, ujung-ujungnya mereka hanya sekolah di sekitar rumah saja. Hampir setiap hari kami menerima aduan tersebut. Itu membuat anak-anak menjadi tidak semangat belajar,” jelas perempuan yang pernah menjadi dosen di Unmuh Gresik tersebut.

Oleh sebab itu, dia memutuskan untuk melakukan pendampingan kepada mereka. Terutama saat penerimaan peserta didik baru (PPDB). “Kami sempat mencari informasi hingga ke luar kota tentang masalah prestasi yang tidak dianggap penting saat PPDB. Kami memutuskan untuk membuka semacam kotak pengaduan. Selanjutnya, kami lakukan pendampingan dan mencari solusi bersama,” tambahnya.

Dia mendorong orang tua yang sakit hati untuk berani menyampaikan ke publik. Namun, mereka takut. Sebab, hal tersebut akan mengancam masa depan pendidikan anak mereka. “Pertama, takut identitas diketahui publik. Kalau sudah terungkap, khawatir anaknya akan dipersulit pendidikannya di sekolah. Akhirnya, kami menjembatani untuk bertemu dengan pemerintah daerah. Tetapi, mereka masih belum berani menyampaikan aspirasinya,” tuturnya.

Meski demikian, dia tetap berdiri bersama para orang tua. Dia berharap orang tua dan siswa semakin semangat berprestasi dalam sekolah. “Sebab, prestasi tersebut bisa menjadi jembatan kesuksesan di masa mendatang,” harapnya.

Jurnalis: mg2
Fotografer: Muhammad Sidikin Ali
Editor: Hafid Asnan

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca