LUMAJANG, RADARJEMBER.ID – Dalam dua dekade terakhir, pendapatan pajak pasir menjadi lumbung terbesar pendapatan daerah bagi Lumajang. Sebab, gelontoran material Gunung Semeru tidak perlu diorder. Pemerintah hanya mengatur perizinan dan pemungutan pajak.
Dari tahun ke tahun, perubahan pola pungutan dan inovasi untuk mendongkrak pendapatan selalu dilakukan. Sehingga targetnya selalu dinaikkan. Terbesar, targetnya mencapai Rp 37 miliar. Diimbangi dengan sejumlah terobosan.
Memasuki tahun 2020 pada dua tahun pemerintahan Thoriq-Indah hasilnya mulai dispekulasikan. Sehingga muncul rencana pembangunan terminal pasir, mengembalikan lintasan armada truk ke jalur khusus, menempatkan petugas di mulut tambang, hingga mencabut moratorium pertambangan pasir.
Namun, sampai akhir tahun lalu, perencanaan itu sebagian tidak maksimal. Bahkan ada yang gagal. Sebab, banyak anggaran yang dikepras, semua di-refocusing untuk penanganan korona. Lebih ngenesnya lagi, capaiannya hancur, sekalipun target sudah dikurangi puluhan miliar. Hanya tercapai Rp 6,8 miliar dari target Rp 13 miliar.
Kepala Badan Pajak dan Retribusi Daerah (BPRD) Lumajang Hari Susiati menjelaskan, tahun ini target pajak pasir kembali ditambah sekalipun anggaran operasional sebetulnya berkurang. Dirinya yakin target itu tetap bisa tercapai. Banyak cara yang sedang dipersiapkan. “Kurang lebih Rp 25 miliar,” ucapnya.
Menurutnya, dana operasional penagihan BPRD Lumajang memang tengah disesuaikan dengan kemampuan anggaran yang sudah ditetapkan. Sekali lagi, ini merupakan imbas dari penanganan korona. “Mohon maaf, itu adalah kebijakan pemerintah sesuai dengan kemampuan fiskal daerah,” tambahnya.
Ketua Komisi C DPRD Lumajang Trisno mengkhawatirkan kinerja petugas penagihan tidak maksimal. Sebab, dana operasional dikurangi. Dampaknya, petugas semakin tak serius ambil setoran. “Bagaikan bertarung dan bertempur keras, tapi pakai senjata ala kadarnya. Hasilnya ya begitu-begitu saja. Kadang kalah,” pungkasnya.
Lebih Banyak Dikeruk Tambang Ilegal
SUMBERWULUH, Radar Semeru – Penambahan target pajak pasir telah didengar Asosiasi Penambang Rakyat Indonesia (APRI) Lumajang. Semuanya sepakat mendukung realisasi target tersebut. Namun, ada beberapa catatan kewajiban dan hak yang harus dipenuhi antara pemerintah dan penambang.
Kewajiban sebagai penambang pasir tentu harus menyetorkan sebagian perolehannya untuk kas daerah. Sebab, mereka telah mengeruk kekayaan alam yang dimiliki Lumajang. Sementara, hak mereka adalah mendapatkan jaminan keamanan dalam melakukan usaha maupun produksi pertambangan pasir.
Sementara itu, kewajiban dan hak pemerintah adalah kebalikan dari penambang. Pemkab Lumajang berhak menerima pajak dari pertambangan pasir melalui surat keterangan asal barang (SKAB). Sedangkan kewajibannya adalah memberikan jaminan kenyamanan kepada para pemilik izin.
Ketua Asosiasi Penambang Rakyat Indonesia (APRI) Lumajang Sofyanto menjelaskan, semangat pemerintah dalam menata tata niaga pertambangan pasir seperti hangat-hangat tai ayam. Sebab, sampai saat ini penataannya dianggap masih carut-marut. Termasuk masih membiarkan penambang ilegal yang makin menjamur tetap beroperasi.
“Di balik musibah, pasti ada berkah. Hamparan pasir yang melimpah itu sekarang bisa dikelola 20 persen penambang legal dan 80 persen penambang ilegal. Kami wajib pajak kadang masih dibenturkan dengan mereka. Ya bagaimana target itu bisa tercapai dengan baik,” jelasnya.
Pantauan Jawa Pos Radar Semeru, penempatan petugas di mulut tambang banyak yang menilai masih belum efektif. Sebab, beberapa kali didapati petugas kadang meloloskan armada truk pasir yang tak mengantongi SKAB. Padahal keberadaan mereka bisa menekan angkutan pasir ilegal.
Terpisah, Ketua Tim Reaksi Cepat (TRC) Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Lumajang Sugiono menjelaskan, beberapa badan sungai di sekitar gunung masih banyak tumpukan pasir yang mengendap. Pasir-pasir itu belum turun semua. “Pasirnya masih banyak, tahunan tidak akan habis,” pungkasnya.