LUMAJANG, RADARJEMBER.ID – Desa selalu menjadi tempat yang penuh dengan banyak cerita. Kawasannya yang sejuk, asri, tenang, dan damai berbanding terbalik dengan perkotaan. Tak heran jika desa selalu menarik untuk dikunjungi. Seperti halnya Desa Argosari, Senduro, yang letaknya di pegunungan barat Lumajang.
Seperti yang diungkapkan Suharyo AP. Lelaki yang kini menjabat Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Lumajang tersebut mengungkapkan kerinduannya berkegiatan di sana. Menurutnya, desa memiliki ragam keunikan yang berbeda-beda. Salah satunya adalah unik sebagai bagian dari dakwah. “Berdakwah di desa sangat unik. Selalu ada cerita menarik yang akan dikenang. Sebab, masyarakat desa sangat butuh pencerahan dan pemahaman ilmu agama. Saya rindu membumikan pesan langit di sana,” katanya.
Dia menjelaskan, kepolosan masyarakat menjadi indikasi keikhlasan belajar agama. “Saya melihat kepolosan mereka dalam menerima ajaran agama menjadi indikasi kerelaan hati untuk mengamalkan ajaran Islam. Mereka mau mendengar, menyimak, dan akhirnya menjalankan sesuai syariat. Hal ini yang sering kali tidak dimiliki oleh orang lain. Oleh karena itu, dai harus memanfaatkan dengan benar peluang itu,” jelasnya.
Lelaki yang pernah mengajar empat sekolah sekaligus tersebut menuturkan, peluang yang dapat diambil adalah berdakwah dengan bahasa lokal. “Pendekatan yang bisa dilakukan adalah dengan menggunakan bahasa lokal setempat. Kalau mengisi kajian di masyarakat Jawa, gunakan bahasa Jawa. Kalau di masyarakat Madura, gunakan bahasa Madura. Itu jauh lebih sederhana dan mengena di masyarakat,” tuturnya.
Bahasa lokal, lanjutnya, membantu masyarakat memahami pesan dakwah para dai. “Tahun lalu mengisi kajian di Argosari. Bayangkan saja, dengan kondisi yang dingin, mereka mau berkumpul mendengarkan kajian Islam. Mereka duduk sambil menyelimuti badan dengan sarung-sarung. Tetapi, mereka semangat menerima ilmu baru dengan bahasa sederhana, bahasa lokal,” lanjutnya.
Meski menggunakan bahasa lokal, tidak semua masyarakat mampu memahami. Sebab, materi kajian saat itu tentang perjalanan Isra Mikraj Nabi. “Kadang mereka tidak nyambung. Tetapi, saya menjelaskan dengan banyak sisi. Kalaupun menggunakan contoh perkembangan teknologi, tidak semua masyarakat di sana mampu memahaminya. Hal seperti ini yang membuat saya rindu untuk bercengkerama di tengah mereka dengan selimut sarung dan syal di badan,” pungkas lelaki enam puluh tahun tersebut.
Jurnalis: mg2
Fotografer: Istimewa
Editor: Hafid Asnan