23.2 C
Jember
Friday, 24 March 2023

Sejarah Keberadaan GPdI di Tempeh

Renovasi tempat ibadah umat Kristen yang ditolak sejumlah warga Desa Tempeh Tengah, Kecamatan Tempeh, memiliki sejarah panjang. Sejak tahun 1972, umat Kristen ternyata sudah melaksanakan ibadah di rumah pendeta tersebut, yang memang rencananya dibangun gereja.

Mobile_AP_Rectangle 1

DITOTRUNAN, Radar Semeru – Kesepakatan sejumlah tokoh agama umat Islam dengan tokoh umat Kristen tahun 2005 silam untuk mengembalikan status gereja menjadi rumah rupanya memicu kesalahpahaman. Beberapa tahun berikutnya, kesalahpahaman itu semakin menajam. Sampai-sampai memasuki Ramadan, gejolak itu kembali muncul ke permukaan.

Penolakan sejumlah santri pondok pesantren dan warga setempat terhadap salah satu Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) kembali terjadi awal April 2022 lalu. Akibatnya, Pemkab Lumajang melakukan rapat terbatas. Bersama jajaran forkopimda serta pihak yang berkaitan, mereka mengurai masalah sekaligus mencarikan titik temu.

Perwakilan GPdI, Pendeta Jordi, mengatakan, perkembangan gereja dimulai tahun 1972 dengan terjadinya pergantian pemimpin seiring berjalannya waktu. Renovasi gereja pertama kali dilakukan tahun 1987. Karena jemaat terus berkembang, mereka berkeinginan memiliki aset tetap. Lalu, pada tahun 1993 itulah, GPdI membeli sebidang tanah.

Mobile_AP_Rectangle 2

“Dalam aliran kami, rumah pendeta adalah rumah untuk melayani jemaat. Makanya, pembelian aset itu ditujukan untuk pembangunan gereja. Lalu, tahun 2005, muncul kerinduan. Karena jemaat bertambah, maka dilakukan renovasi lagi. Nah, saat renovasi itulah gejolak muncul. Tiba-tiba ada kesepakatan,” katanya.

Menurutnya, sebelum kesepakatan itu muncul, renovasi-renovasi yang dilakukan sebelumnya disetujui pemerintah. Bahkan, jajaran forkopimca saat itu ikut menandatangani persetujuan melakukan setiap pelaksanaan renovasi sebelumnya. Harapannya, seluruh proses administratif tersebut menjadi pertimbangan.

Sementara itu, Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Lumajang Ari Murcono mengatakan, secara administrasi, permohonan IMB gereja telah memenuhi syarat. Permohonan itu dilakukan pada 5 Mei 2021, lalu IMB diterbitkan pada 27 Desember 2021.

“Sempat ada koreksi untuk menyediakan lahan parkir. Namun, setelah dilakukan verifikasi, ternyata kebutuhan itu terpenuhi. Rencananya gereja akan dibangun dua lantai. Lantai pertama akan digunakan lahan parkir. Tetapi, belakangan ini ada penolakan dari warga sekitar,” pungkasnya. (son/c2/fid)

Kumpulkan Bukti-Bukti Tertulis

 TUDINGAN proses peralihan status bangunan rumah menjadi bangunan gereja yang dianggap menyalahi aturan diklarifikasi. Pemkab Lumajang mulai mencari bukti tertulis aktivitas gereja yang diklaim telah berjalan puluhan tahun itu. Bahkan, sekalipun tidak terbukti, harapannya disediakan lahan pengganti.

GPdI mencatat, total jemaat umat Kristen yang tersebar di Kecamatan Tempeh sebanyak 105 orang. Jumlah itu berdasar KTP yang terkumpul sampai pagi kemarin. Total itu belum termasuk kalangan usia remaja maupun anak-anak yang belum berusia 17 tahun.

Kepala Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Lumajang Muhammad Muslim mengatakan, seluruh pemeluk agama memiliki hak yang sama dalam mendapatkan jaminan keamanan. Karenanya, permasalahan ini harus ditegakkan sesuai aturan yang berlaku. Bukan pada kemauan individu maupun kelompok.

“Apa pun hasil dari pengumpulan bukti-bukti harus dijalankan. Itu menjadi konsekuensi. Kalau pun misalnya, umat Kristen secara aturan memang tidak boleh membangun di sana, pemkab harus mencarikan tempat lainnya. Sebaliknya, jika pihak gereja memiliki bukti tertulis niatan aktivitasnya sesuai administrasi, itu harus dijalankan,” katanya.

Bupati Lumajang Thoriqul Haq mengatakan, pihaknya akan melakukan klarifikasi terhadap kesepakatan yang terjadi pada 2005 silam. Menurutnya, baik pihak gereja maupun masyarakat yang melakukan penolakan harus mampu menunjukkan bukti secara tertulis yang diketahui pemerintah.

“Kesepakatan itu harus berdasar. Artinya, kami masih memperdalam masalah itu dengan hati-hati. Semua harus berjalan dengan aturan. Semua memiliki hak untuk melaksanakan ibadahnya dan terjamin aman,” pungkasnya. (son/c2/fid)

- Advertisement -

DITOTRUNAN, Radar Semeru – Kesepakatan sejumlah tokoh agama umat Islam dengan tokoh umat Kristen tahun 2005 silam untuk mengembalikan status gereja menjadi rumah rupanya memicu kesalahpahaman. Beberapa tahun berikutnya, kesalahpahaman itu semakin menajam. Sampai-sampai memasuki Ramadan, gejolak itu kembali muncul ke permukaan.

Penolakan sejumlah santri pondok pesantren dan warga setempat terhadap salah satu Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) kembali terjadi awal April 2022 lalu. Akibatnya, Pemkab Lumajang melakukan rapat terbatas. Bersama jajaran forkopimda serta pihak yang berkaitan, mereka mengurai masalah sekaligus mencarikan titik temu.

Perwakilan GPdI, Pendeta Jordi, mengatakan, perkembangan gereja dimulai tahun 1972 dengan terjadinya pergantian pemimpin seiring berjalannya waktu. Renovasi gereja pertama kali dilakukan tahun 1987. Karena jemaat terus berkembang, mereka berkeinginan memiliki aset tetap. Lalu, pada tahun 1993 itulah, GPdI membeli sebidang tanah.

“Dalam aliran kami, rumah pendeta adalah rumah untuk melayani jemaat. Makanya, pembelian aset itu ditujukan untuk pembangunan gereja. Lalu, tahun 2005, muncul kerinduan. Karena jemaat bertambah, maka dilakukan renovasi lagi. Nah, saat renovasi itulah gejolak muncul. Tiba-tiba ada kesepakatan,” katanya.

Menurutnya, sebelum kesepakatan itu muncul, renovasi-renovasi yang dilakukan sebelumnya disetujui pemerintah. Bahkan, jajaran forkopimca saat itu ikut menandatangani persetujuan melakukan setiap pelaksanaan renovasi sebelumnya. Harapannya, seluruh proses administratif tersebut menjadi pertimbangan.

Sementara itu, Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Lumajang Ari Murcono mengatakan, secara administrasi, permohonan IMB gereja telah memenuhi syarat. Permohonan itu dilakukan pada 5 Mei 2021, lalu IMB diterbitkan pada 27 Desember 2021.

“Sempat ada koreksi untuk menyediakan lahan parkir. Namun, setelah dilakukan verifikasi, ternyata kebutuhan itu terpenuhi. Rencananya gereja akan dibangun dua lantai. Lantai pertama akan digunakan lahan parkir. Tetapi, belakangan ini ada penolakan dari warga sekitar,” pungkasnya. (son/c2/fid)

Kumpulkan Bukti-Bukti Tertulis

 TUDINGAN proses peralihan status bangunan rumah menjadi bangunan gereja yang dianggap menyalahi aturan diklarifikasi. Pemkab Lumajang mulai mencari bukti tertulis aktivitas gereja yang diklaim telah berjalan puluhan tahun itu. Bahkan, sekalipun tidak terbukti, harapannya disediakan lahan pengganti.

GPdI mencatat, total jemaat umat Kristen yang tersebar di Kecamatan Tempeh sebanyak 105 orang. Jumlah itu berdasar KTP yang terkumpul sampai pagi kemarin. Total itu belum termasuk kalangan usia remaja maupun anak-anak yang belum berusia 17 tahun.

Kepala Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Lumajang Muhammad Muslim mengatakan, seluruh pemeluk agama memiliki hak yang sama dalam mendapatkan jaminan keamanan. Karenanya, permasalahan ini harus ditegakkan sesuai aturan yang berlaku. Bukan pada kemauan individu maupun kelompok.

“Apa pun hasil dari pengumpulan bukti-bukti harus dijalankan. Itu menjadi konsekuensi. Kalau pun misalnya, umat Kristen secara aturan memang tidak boleh membangun di sana, pemkab harus mencarikan tempat lainnya. Sebaliknya, jika pihak gereja memiliki bukti tertulis niatan aktivitasnya sesuai administrasi, itu harus dijalankan,” katanya.

Bupati Lumajang Thoriqul Haq mengatakan, pihaknya akan melakukan klarifikasi terhadap kesepakatan yang terjadi pada 2005 silam. Menurutnya, baik pihak gereja maupun masyarakat yang melakukan penolakan harus mampu menunjukkan bukti secara tertulis yang diketahui pemerintah.

“Kesepakatan itu harus berdasar. Artinya, kami masih memperdalam masalah itu dengan hati-hati. Semua harus berjalan dengan aturan. Semua memiliki hak untuk melaksanakan ibadahnya dan terjamin aman,” pungkasnya. (son/c2/fid)

DITOTRUNAN, Radar Semeru – Kesepakatan sejumlah tokoh agama umat Islam dengan tokoh umat Kristen tahun 2005 silam untuk mengembalikan status gereja menjadi rumah rupanya memicu kesalahpahaman. Beberapa tahun berikutnya, kesalahpahaman itu semakin menajam. Sampai-sampai memasuki Ramadan, gejolak itu kembali muncul ke permukaan.

Penolakan sejumlah santri pondok pesantren dan warga setempat terhadap salah satu Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) kembali terjadi awal April 2022 lalu. Akibatnya, Pemkab Lumajang melakukan rapat terbatas. Bersama jajaran forkopimda serta pihak yang berkaitan, mereka mengurai masalah sekaligus mencarikan titik temu.

Perwakilan GPdI, Pendeta Jordi, mengatakan, perkembangan gereja dimulai tahun 1972 dengan terjadinya pergantian pemimpin seiring berjalannya waktu. Renovasi gereja pertama kali dilakukan tahun 1987. Karena jemaat terus berkembang, mereka berkeinginan memiliki aset tetap. Lalu, pada tahun 1993 itulah, GPdI membeli sebidang tanah.

“Dalam aliran kami, rumah pendeta adalah rumah untuk melayani jemaat. Makanya, pembelian aset itu ditujukan untuk pembangunan gereja. Lalu, tahun 2005, muncul kerinduan. Karena jemaat bertambah, maka dilakukan renovasi lagi. Nah, saat renovasi itulah gejolak muncul. Tiba-tiba ada kesepakatan,” katanya.

Menurutnya, sebelum kesepakatan itu muncul, renovasi-renovasi yang dilakukan sebelumnya disetujui pemerintah. Bahkan, jajaran forkopimca saat itu ikut menandatangani persetujuan melakukan setiap pelaksanaan renovasi sebelumnya. Harapannya, seluruh proses administratif tersebut menjadi pertimbangan.

Sementara itu, Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Lumajang Ari Murcono mengatakan, secara administrasi, permohonan IMB gereja telah memenuhi syarat. Permohonan itu dilakukan pada 5 Mei 2021, lalu IMB diterbitkan pada 27 Desember 2021.

“Sempat ada koreksi untuk menyediakan lahan parkir. Namun, setelah dilakukan verifikasi, ternyata kebutuhan itu terpenuhi. Rencananya gereja akan dibangun dua lantai. Lantai pertama akan digunakan lahan parkir. Tetapi, belakangan ini ada penolakan dari warga sekitar,” pungkasnya. (son/c2/fid)

Kumpulkan Bukti-Bukti Tertulis

 TUDINGAN proses peralihan status bangunan rumah menjadi bangunan gereja yang dianggap menyalahi aturan diklarifikasi. Pemkab Lumajang mulai mencari bukti tertulis aktivitas gereja yang diklaim telah berjalan puluhan tahun itu. Bahkan, sekalipun tidak terbukti, harapannya disediakan lahan pengganti.

GPdI mencatat, total jemaat umat Kristen yang tersebar di Kecamatan Tempeh sebanyak 105 orang. Jumlah itu berdasar KTP yang terkumpul sampai pagi kemarin. Total itu belum termasuk kalangan usia remaja maupun anak-anak yang belum berusia 17 tahun.

Kepala Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Lumajang Muhammad Muslim mengatakan, seluruh pemeluk agama memiliki hak yang sama dalam mendapatkan jaminan keamanan. Karenanya, permasalahan ini harus ditegakkan sesuai aturan yang berlaku. Bukan pada kemauan individu maupun kelompok.

“Apa pun hasil dari pengumpulan bukti-bukti harus dijalankan. Itu menjadi konsekuensi. Kalau pun misalnya, umat Kristen secara aturan memang tidak boleh membangun di sana, pemkab harus mencarikan tempat lainnya. Sebaliknya, jika pihak gereja memiliki bukti tertulis niatan aktivitasnya sesuai administrasi, itu harus dijalankan,” katanya.

Bupati Lumajang Thoriqul Haq mengatakan, pihaknya akan melakukan klarifikasi terhadap kesepakatan yang terjadi pada 2005 silam. Menurutnya, baik pihak gereja maupun masyarakat yang melakukan penolakan harus mampu menunjukkan bukti secara tertulis yang diketahui pemerintah.

“Kesepakatan itu harus berdasar. Artinya, kami masih memperdalam masalah itu dengan hati-hati. Semua harus berjalan dengan aturan. Semua memiliki hak untuk melaksanakan ibadahnya dan terjamin aman,” pungkasnya. (son/c2/fid)

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca