24.4 C
Jember
Thursday, 1 June 2023

Pelaku Didominasi Keluarga Dekat

Butuh Peran Pengawasan dan Pengasuhan Anak

Mobile_AP_Rectangle 1

LUMAJANG, RADARJEMBER.ID – Maraknya kasus asusila terhadap anak membuat masyarakat makin waswas. Bagaimana tidak, kasus tersebut terjadi di lingkungan yang dianggap aman. Namun nyatanya, lingkungan keluarga menjadi momok bagi anak. Sebab, rentan memunculkan pelaku kejahatan seksual berasal dari keluarga.

Peran pengawasan dan pengasuhan anak memang perlu dievaluasi bersama. Sebab, selama ini peran tersebut masih sering disalahpahami. Lengahnya peran dimanfaatkan pelaku untuk melancarkan aksinya. “Upaya yang bisa kita lakukan adalah meningkatkan peran pengawasan dan pengasuhan anak,” kata Rosyidah, Kepala Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, dan Pemberdayaan Perempuan (DPPKBPP) Lumajang.

Rosyidah mengatakan, kejahatan tersebut rentan menyasar kelompok minoritas seperti perempuan, anak-anak, bahkan anak berkebutuhan khusus (ABK). “Kasus-kasus baru justru muncul dari lingkungan terkecil di masyarakat, yaitu keluarga. Yang rentan menjadi korban adalah kaum minoritas. Oleh karena itu, pemerintah perlu melindungi mereka melalui regulasi-regulasi yang berpihak,” katanya.

Mobile_AP_Rectangle 2

Dia menjelaskan, peran itu dapat disinergikan dengan kegiatan masyarakat di tingkat paling rendah. “Masyarakat dan pemerintah bisa bersinergi. Di masing-masing desa juga sudah disediakan Rumah Curhat. Mereka akan mendapat fasilitas dan penyelesaian dari setiap masalah keluarga. Mulai  dari kekerasan hingga kejahatan lainnya. Karena mereka sudah dibekali bagaimana penerapan Undang-Undang Perlindungan Anak serta langkah apa saja yang dilakukan ketika ada masalah keluarga. Terutama yang bersinggungan dengan anak-anak,” jelasnya.

Masyarakat, utamanya korban, bisa melaporkan segala bentuk kekerasan dan kejahatan melalui Rumah Curhat. Namun, jika laporan diabaikan, korban bisa melapor ke tingkat yang lebih tinggi. “Hal itu bisa saja terjadi karena beberapa hal. Misalnya korban merupakan ABK. Pelaku akan berpikir korban tidak sanggup melapor. Toh, jika memang melapor, hal itu akan dianggap sebagai informasi yang tidak benar dan cenderung diremehkan,” tuturnya.

Pihaknya berharap, kasus-kasus tersebut bisa terselesaikan di tingkat terendah. Oleh karena itu, ke depan pihaknya akan membentuk perlindungan anak terpadu berbasis masyarakat (PATBM) di tingkat rukun warga. “Sudah ada beberapa yang terbentuk. Dan akan kami tambah lagi pembentukan di RW. Hal itu sebagai upaya memutus mata rantai kekerasan terhadap anak,” pungkasnya.

Jurnalis: mg2
Fotografer: Muhammad Sidikin Ali
Editor: Hafid Asnan

- Advertisement -

LUMAJANG, RADARJEMBER.ID – Maraknya kasus asusila terhadap anak membuat masyarakat makin waswas. Bagaimana tidak, kasus tersebut terjadi di lingkungan yang dianggap aman. Namun nyatanya, lingkungan keluarga menjadi momok bagi anak. Sebab, rentan memunculkan pelaku kejahatan seksual berasal dari keluarga.

Peran pengawasan dan pengasuhan anak memang perlu dievaluasi bersama. Sebab, selama ini peran tersebut masih sering disalahpahami. Lengahnya peran dimanfaatkan pelaku untuk melancarkan aksinya. “Upaya yang bisa kita lakukan adalah meningkatkan peran pengawasan dan pengasuhan anak,” kata Rosyidah, Kepala Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, dan Pemberdayaan Perempuan (DPPKBPP) Lumajang.

Rosyidah mengatakan, kejahatan tersebut rentan menyasar kelompok minoritas seperti perempuan, anak-anak, bahkan anak berkebutuhan khusus (ABK). “Kasus-kasus baru justru muncul dari lingkungan terkecil di masyarakat, yaitu keluarga. Yang rentan menjadi korban adalah kaum minoritas. Oleh karena itu, pemerintah perlu melindungi mereka melalui regulasi-regulasi yang berpihak,” katanya.

Dia menjelaskan, peran itu dapat disinergikan dengan kegiatan masyarakat di tingkat paling rendah. “Masyarakat dan pemerintah bisa bersinergi. Di masing-masing desa juga sudah disediakan Rumah Curhat. Mereka akan mendapat fasilitas dan penyelesaian dari setiap masalah keluarga. Mulai  dari kekerasan hingga kejahatan lainnya. Karena mereka sudah dibekali bagaimana penerapan Undang-Undang Perlindungan Anak serta langkah apa saja yang dilakukan ketika ada masalah keluarga. Terutama yang bersinggungan dengan anak-anak,” jelasnya.

Masyarakat, utamanya korban, bisa melaporkan segala bentuk kekerasan dan kejahatan melalui Rumah Curhat. Namun, jika laporan diabaikan, korban bisa melapor ke tingkat yang lebih tinggi. “Hal itu bisa saja terjadi karena beberapa hal. Misalnya korban merupakan ABK. Pelaku akan berpikir korban tidak sanggup melapor. Toh, jika memang melapor, hal itu akan dianggap sebagai informasi yang tidak benar dan cenderung diremehkan,” tuturnya.

Pihaknya berharap, kasus-kasus tersebut bisa terselesaikan di tingkat terendah. Oleh karena itu, ke depan pihaknya akan membentuk perlindungan anak terpadu berbasis masyarakat (PATBM) di tingkat rukun warga. “Sudah ada beberapa yang terbentuk. Dan akan kami tambah lagi pembentukan di RW. Hal itu sebagai upaya memutus mata rantai kekerasan terhadap anak,” pungkasnya.

Jurnalis: mg2
Fotografer: Muhammad Sidikin Ali
Editor: Hafid Asnan

LUMAJANG, RADARJEMBER.ID – Maraknya kasus asusila terhadap anak membuat masyarakat makin waswas. Bagaimana tidak, kasus tersebut terjadi di lingkungan yang dianggap aman. Namun nyatanya, lingkungan keluarga menjadi momok bagi anak. Sebab, rentan memunculkan pelaku kejahatan seksual berasal dari keluarga.

Peran pengawasan dan pengasuhan anak memang perlu dievaluasi bersama. Sebab, selama ini peran tersebut masih sering disalahpahami. Lengahnya peran dimanfaatkan pelaku untuk melancarkan aksinya. “Upaya yang bisa kita lakukan adalah meningkatkan peran pengawasan dan pengasuhan anak,” kata Rosyidah, Kepala Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, dan Pemberdayaan Perempuan (DPPKBPP) Lumajang.

Rosyidah mengatakan, kejahatan tersebut rentan menyasar kelompok minoritas seperti perempuan, anak-anak, bahkan anak berkebutuhan khusus (ABK). “Kasus-kasus baru justru muncul dari lingkungan terkecil di masyarakat, yaitu keluarga. Yang rentan menjadi korban adalah kaum minoritas. Oleh karena itu, pemerintah perlu melindungi mereka melalui regulasi-regulasi yang berpihak,” katanya.

Dia menjelaskan, peran itu dapat disinergikan dengan kegiatan masyarakat di tingkat paling rendah. “Masyarakat dan pemerintah bisa bersinergi. Di masing-masing desa juga sudah disediakan Rumah Curhat. Mereka akan mendapat fasilitas dan penyelesaian dari setiap masalah keluarga. Mulai  dari kekerasan hingga kejahatan lainnya. Karena mereka sudah dibekali bagaimana penerapan Undang-Undang Perlindungan Anak serta langkah apa saja yang dilakukan ketika ada masalah keluarga. Terutama yang bersinggungan dengan anak-anak,” jelasnya.

Masyarakat, utamanya korban, bisa melaporkan segala bentuk kekerasan dan kejahatan melalui Rumah Curhat. Namun, jika laporan diabaikan, korban bisa melapor ke tingkat yang lebih tinggi. “Hal itu bisa saja terjadi karena beberapa hal. Misalnya korban merupakan ABK. Pelaku akan berpikir korban tidak sanggup melapor. Toh, jika memang melapor, hal itu akan dianggap sebagai informasi yang tidak benar dan cenderung diremehkan,” tuturnya.

Pihaknya berharap, kasus-kasus tersebut bisa terselesaikan di tingkat terendah. Oleh karena itu, ke depan pihaknya akan membentuk perlindungan anak terpadu berbasis masyarakat (PATBM) di tingkat rukun warga. “Sudah ada beberapa yang terbentuk. Dan akan kami tambah lagi pembentukan di RW. Hal itu sebagai upaya memutus mata rantai kekerasan terhadap anak,” pungkasnya.

Jurnalis: mg2
Fotografer: Muhammad Sidikin Ali
Editor: Hafid Asnan

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca