29.7 C
Jember
Sunday, 26 March 2023

Rintis Pendirian Madrasah Aliyah

Mobile_AP_Rectangle 1

LUMAJANG, RADARJEMBER.ID – Banyak orang beranggapan bahwa lulusan jurusan agama mentok menjadi guru. Namun, nyatanya tidak semua lulusan seperti itu. Hasyim As’ari misalnya. Lulusan Pendidikan Agama Islam (PAI) STAIN Jember ini melebihi hal itu. Menjadi guru, perintis pendirian sekolah, dan sempat menjabat sebagai kepala sekolah.

Hasyim, sapaan akrabnya, mulai mengajar setelah lulus kuliah. Pada tahun 2007, dia mengajar siswa madrasah tsanawiyah (setingkat SMP) di desanya. Melihat banyak anak di desanya melanjutkan sekolah di kecamatan lain hingga luar kota, hatinya tergerak. Bermodal nekat dan semangat gelora mudanya, Hasyim mengusulkan pendirian madrasah aliyah atau sekolah lanjutan setingkat SMA.

Dia mulai merintis pada tahun 2009. Dan sekolah mulai resmi memiliki surat izin tahun 2011. “Banyak hal yang dikorbankan seperti uang, waktu, tenaga, dan pikiran. Namanya juga merintis. Memang tidak mudah. Ada banyak tantangan yang harus dihadapi. Tetapi, ini adalah upaya kami agar anak-anak tidak perlu menempuh jarak yang jauh untuk menimba ilmu,” ungkapnya.

Mobile_AP_Rectangle 2

Saat awal membuka sekolah tersebut, dia kesulitan mencari siswa. Sebab, masyarakat setempat lebih memilih sekolah negeri lain. Kepercayaan untuk menitipkan anak mereka di sekolahnya masih sangat minim. Namun, hal tersebut tidak membuatnya berhenti dan putus asa. Beragam cara dilakukan. Hasilnya, sekolah yang sempat diremehkan tersebut tetap bertahan hingga sekarang.

“Kami lakukan pendekatan ke orang tua siswa dulu baru ke siswa. Banyak tantangannya. Nah, dulu dipandang sebelah mata. Sekarang MA Nurul Huda Ranuyoso kualitasnya semakin baik dan meningkat. Meski hanya menjadi kepala sekolah selama empat tahun, saya tetap mengawal sekolah itu,” jelasnya.

Tidak hanya itu, guru atau pengajar di sekolah baru tersebut sangat terbatas. Karena itu, dia harus membuat jadwal yang berimbang. “Saya mengajar beberapa mata pelajaran sekaligus di MTs dan MA. Begitu juga dengan guru lainnya. Kami tidak berpikir berapa gaji yang kami dapat. Karena bagi kami, mengajar di madrasah adalah bagian dari upaya mencerdaskan anak bangsa. Dan terpenting, keberkahan mengajarnya sangat besar,” tuturnya.

Keterbatasan ruang kelas juga sempat menjadi kendala. Sebab, pihaknya harus menyekat ruang kelas MTs untuk ditempati siswa MA. Namun, hal tersebut tidak membuat tekad belajar siswa terhambat. Mereka tetap bisa fokus dan nyaman dalam belajar. Oleh sebab itu, sebagai perintis, dia mengusahakan agar fasilitas semakin terpenuhi. Belakangan, usahanya membuahkan hasil. Sekolah bakal mendapat bantuan renovasi, sehingga bangunan sekolah menjadi dua lantai.

Kini, aktivitasnya banyak terfokus pada penanganan kesejahteraan sosial. Sebab, setelah tidak lagi menjabat kepala sekolah, dia diterima sebagai pendamping Program Keluarga Harapan (PKH) dari Kementerian Sosial. Pengalaman mengajar, merintis, dan menjadi kepala sekolah mengantarkannya menjadi Koordinator II PKH Kabupaten Lumajang. “Apa pun itu, disyukuri. Kuncinya, ya, mencari berkah,” pungkasnya.

 

 

Jurnalis : Muhammad Sidkin Ali
Fotografer : Muhammad Sidkin Ali
Redaktur : Hafid Asnan

- Advertisement -

LUMAJANG, RADARJEMBER.ID – Banyak orang beranggapan bahwa lulusan jurusan agama mentok menjadi guru. Namun, nyatanya tidak semua lulusan seperti itu. Hasyim As’ari misalnya. Lulusan Pendidikan Agama Islam (PAI) STAIN Jember ini melebihi hal itu. Menjadi guru, perintis pendirian sekolah, dan sempat menjabat sebagai kepala sekolah.

Hasyim, sapaan akrabnya, mulai mengajar setelah lulus kuliah. Pada tahun 2007, dia mengajar siswa madrasah tsanawiyah (setingkat SMP) di desanya. Melihat banyak anak di desanya melanjutkan sekolah di kecamatan lain hingga luar kota, hatinya tergerak. Bermodal nekat dan semangat gelora mudanya, Hasyim mengusulkan pendirian madrasah aliyah atau sekolah lanjutan setingkat SMA.

Dia mulai merintis pada tahun 2009. Dan sekolah mulai resmi memiliki surat izin tahun 2011. “Banyak hal yang dikorbankan seperti uang, waktu, tenaga, dan pikiran. Namanya juga merintis. Memang tidak mudah. Ada banyak tantangan yang harus dihadapi. Tetapi, ini adalah upaya kami agar anak-anak tidak perlu menempuh jarak yang jauh untuk menimba ilmu,” ungkapnya.

Saat awal membuka sekolah tersebut, dia kesulitan mencari siswa. Sebab, masyarakat setempat lebih memilih sekolah negeri lain. Kepercayaan untuk menitipkan anak mereka di sekolahnya masih sangat minim. Namun, hal tersebut tidak membuatnya berhenti dan putus asa. Beragam cara dilakukan. Hasilnya, sekolah yang sempat diremehkan tersebut tetap bertahan hingga sekarang.

“Kami lakukan pendekatan ke orang tua siswa dulu baru ke siswa. Banyak tantangannya. Nah, dulu dipandang sebelah mata. Sekarang MA Nurul Huda Ranuyoso kualitasnya semakin baik dan meningkat. Meski hanya menjadi kepala sekolah selama empat tahun, saya tetap mengawal sekolah itu,” jelasnya.

Tidak hanya itu, guru atau pengajar di sekolah baru tersebut sangat terbatas. Karena itu, dia harus membuat jadwal yang berimbang. “Saya mengajar beberapa mata pelajaran sekaligus di MTs dan MA. Begitu juga dengan guru lainnya. Kami tidak berpikir berapa gaji yang kami dapat. Karena bagi kami, mengajar di madrasah adalah bagian dari upaya mencerdaskan anak bangsa. Dan terpenting, keberkahan mengajarnya sangat besar,” tuturnya.

Keterbatasan ruang kelas juga sempat menjadi kendala. Sebab, pihaknya harus menyekat ruang kelas MTs untuk ditempati siswa MA. Namun, hal tersebut tidak membuat tekad belajar siswa terhambat. Mereka tetap bisa fokus dan nyaman dalam belajar. Oleh sebab itu, sebagai perintis, dia mengusahakan agar fasilitas semakin terpenuhi. Belakangan, usahanya membuahkan hasil. Sekolah bakal mendapat bantuan renovasi, sehingga bangunan sekolah menjadi dua lantai.

Kini, aktivitasnya banyak terfokus pada penanganan kesejahteraan sosial. Sebab, setelah tidak lagi menjabat kepala sekolah, dia diterima sebagai pendamping Program Keluarga Harapan (PKH) dari Kementerian Sosial. Pengalaman mengajar, merintis, dan menjadi kepala sekolah mengantarkannya menjadi Koordinator II PKH Kabupaten Lumajang. “Apa pun itu, disyukuri. Kuncinya, ya, mencari berkah,” pungkasnya.

 

 

Jurnalis : Muhammad Sidkin Ali
Fotografer : Muhammad Sidkin Ali
Redaktur : Hafid Asnan

LUMAJANG, RADARJEMBER.ID – Banyak orang beranggapan bahwa lulusan jurusan agama mentok menjadi guru. Namun, nyatanya tidak semua lulusan seperti itu. Hasyim As’ari misalnya. Lulusan Pendidikan Agama Islam (PAI) STAIN Jember ini melebihi hal itu. Menjadi guru, perintis pendirian sekolah, dan sempat menjabat sebagai kepala sekolah.

Hasyim, sapaan akrabnya, mulai mengajar setelah lulus kuliah. Pada tahun 2007, dia mengajar siswa madrasah tsanawiyah (setingkat SMP) di desanya. Melihat banyak anak di desanya melanjutkan sekolah di kecamatan lain hingga luar kota, hatinya tergerak. Bermodal nekat dan semangat gelora mudanya, Hasyim mengusulkan pendirian madrasah aliyah atau sekolah lanjutan setingkat SMA.

Dia mulai merintis pada tahun 2009. Dan sekolah mulai resmi memiliki surat izin tahun 2011. “Banyak hal yang dikorbankan seperti uang, waktu, tenaga, dan pikiran. Namanya juga merintis. Memang tidak mudah. Ada banyak tantangan yang harus dihadapi. Tetapi, ini adalah upaya kami agar anak-anak tidak perlu menempuh jarak yang jauh untuk menimba ilmu,” ungkapnya.

Saat awal membuka sekolah tersebut, dia kesulitan mencari siswa. Sebab, masyarakat setempat lebih memilih sekolah negeri lain. Kepercayaan untuk menitipkan anak mereka di sekolahnya masih sangat minim. Namun, hal tersebut tidak membuatnya berhenti dan putus asa. Beragam cara dilakukan. Hasilnya, sekolah yang sempat diremehkan tersebut tetap bertahan hingga sekarang.

“Kami lakukan pendekatan ke orang tua siswa dulu baru ke siswa. Banyak tantangannya. Nah, dulu dipandang sebelah mata. Sekarang MA Nurul Huda Ranuyoso kualitasnya semakin baik dan meningkat. Meski hanya menjadi kepala sekolah selama empat tahun, saya tetap mengawal sekolah itu,” jelasnya.

Tidak hanya itu, guru atau pengajar di sekolah baru tersebut sangat terbatas. Karena itu, dia harus membuat jadwal yang berimbang. “Saya mengajar beberapa mata pelajaran sekaligus di MTs dan MA. Begitu juga dengan guru lainnya. Kami tidak berpikir berapa gaji yang kami dapat. Karena bagi kami, mengajar di madrasah adalah bagian dari upaya mencerdaskan anak bangsa. Dan terpenting, keberkahan mengajarnya sangat besar,” tuturnya.

Keterbatasan ruang kelas juga sempat menjadi kendala. Sebab, pihaknya harus menyekat ruang kelas MTs untuk ditempati siswa MA. Namun, hal tersebut tidak membuat tekad belajar siswa terhambat. Mereka tetap bisa fokus dan nyaman dalam belajar. Oleh sebab itu, sebagai perintis, dia mengusahakan agar fasilitas semakin terpenuhi. Belakangan, usahanya membuahkan hasil. Sekolah bakal mendapat bantuan renovasi, sehingga bangunan sekolah menjadi dua lantai.

Kini, aktivitasnya banyak terfokus pada penanganan kesejahteraan sosial. Sebab, setelah tidak lagi menjabat kepala sekolah, dia diterima sebagai pendamping Program Keluarga Harapan (PKH) dari Kementerian Sosial. Pengalaman mengajar, merintis, dan menjadi kepala sekolah mengantarkannya menjadi Koordinator II PKH Kabupaten Lumajang. “Apa pun itu, disyukuri. Kuncinya, ya, mencari berkah,” pungkasnya.

 

 

Jurnalis : Muhammad Sidkin Ali
Fotografer : Muhammad Sidkin Ali
Redaktur : Hafid Asnan

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca