30.5 C
Jember
Friday, 9 June 2023

BBM Naik, Pertashop Terancam Gulung Tikar

Mobile_AP_Rectangle 1

GESANG, Radar Semeru – Perlahan-lahan dampak kenaikan harga BBM makin terasa. Bukan hanya pada penggunanya, tetapi juga pada pengusaha Pertashop yang ada di desa. Kecenderungan warga memakai pertalite ketimbang pertamax sebagai bahan bakar membuat sebagian besar pengusaha Pertashop terancam gulung tikar.

BACA JUGA : Lebih Hati-hati, Obat Tradisional Bisa Berbahaya!

Pertashop merupakan salah satu bentuk inovasi Pertamina dengan pemerintah untuk menjangkau pengguna BBM di pelosok desa. Namun, stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) itu hanya melayani pembelian pertamax. Informasinya, ada 35 Pertashop yang dibangun di Lumajang. Baik dikelola langsung perorangan maupun desa.

Mobile_AP_Rectangle 2

Mahendra, salah satu pengusaha Pertashop di Desa Gesang, Kecamatan Tempeh, menjelaskan, sejak pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM pada April lalu, omzet usahanya perlahan mulai menurun. Sebab, selisih harga pembelian pertalite dengan pertamax terpaut sangat jauh. Warga banyak beralih menggunakan pertalite.

“Yang naik dulu cuma pertamax, dari Rp 9 ribuan ke Rp 12.500. Saat itu masih lumayan bersaing. Karena eceran pertalite sekitar Rp 10 ribu. Warga masih ada yang mau mengisi BBM di Pertashop. Tetapi, penjualannya turun, dari rata-rata maksimal bisa 700 liter per hari, menurun jadi 200 sampai 300 liter per hari,” katanya.

Menurutnya, awal bulan September ini menjadi momen paling mengenaskan. Pasalnya, semua jenis BBM mengalami kenaikan harga signifikan. Bahkan selisihnya juga tetap jauh. Akibatnya, penjualan pertamax makin anjlok. Dalam sehari, Pertashop hanya mampu mengeluarkan seratus liter per hari. Itu pun kadang tak genap seratus.

Sementara itu, Ketua Paguyuban Pertashop Lumajang Roni Santoso menjelaskan, untuk mencapai break even point (BEP) atau titik keseimbangan, idealnya Pertashop harus mampu menjual 400 liter per hari selama empat tahun. Namun, dengan kondisi seperti sekarang rasanya sangat mustahil bisa balik modal.

“Seratus liter per hari itu kita sudah tombok. Untuk gaji karyawan dan biaya operasional lainnya sebetulnya kurang. Selama ini kami memakai dana talangan dari bank. Ini sudah mau bangkrut. Ini 75 persen Pertashop sudah mau tutup. Harapannya kami meminta pemerintah bisa lebih bijak menyikapi ini,” pungkasnya. (son/c2/fid)

- Advertisement -

GESANG, Radar Semeru – Perlahan-lahan dampak kenaikan harga BBM makin terasa. Bukan hanya pada penggunanya, tetapi juga pada pengusaha Pertashop yang ada di desa. Kecenderungan warga memakai pertalite ketimbang pertamax sebagai bahan bakar membuat sebagian besar pengusaha Pertashop terancam gulung tikar.

BACA JUGA : Lebih Hati-hati, Obat Tradisional Bisa Berbahaya!

Pertashop merupakan salah satu bentuk inovasi Pertamina dengan pemerintah untuk menjangkau pengguna BBM di pelosok desa. Namun, stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) itu hanya melayani pembelian pertamax. Informasinya, ada 35 Pertashop yang dibangun di Lumajang. Baik dikelola langsung perorangan maupun desa.

Mahendra, salah satu pengusaha Pertashop di Desa Gesang, Kecamatan Tempeh, menjelaskan, sejak pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM pada April lalu, omzet usahanya perlahan mulai menurun. Sebab, selisih harga pembelian pertalite dengan pertamax terpaut sangat jauh. Warga banyak beralih menggunakan pertalite.

“Yang naik dulu cuma pertamax, dari Rp 9 ribuan ke Rp 12.500. Saat itu masih lumayan bersaing. Karena eceran pertalite sekitar Rp 10 ribu. Warga masih ada yang mau mengisi BBM di Pertashop. Tetapi, penjualannya turun, dari rata-rata maksimal bisa 700 liter per hari, menurun jadi 200 sampai 300 liter per hari,” katanya.

Menurutnya, awal bulan September ini menjadi momen paling mengenaskan. Pasalnya, semua jenis BBM mengalami kenaikan harga signifikan. Bahkan selisihnya juga tetap jauh. Akibatnya, penjualan pertamax makin anjlok. Dalam sehari, Pertashop hanya mampu mengeluarkan seratus liter per hari. Itu pun kadang tak genap seratus.

Sementara itu, Ketua Paguyuban Pertashop Lumajang Roni Santoso menjelaskan, untuk mencapai break even point (BEP) atau titik keseimbangan, idealnya Pertashop harus mampu menjual 400 liter per hari selama empat tahun. Namun, dengan kondisi seperti sekarang rasanya sangat mustahil bisa balik modal.

“Seratus liter per hari itu kita sudah tombok. Untuk gaji karyawan dan biaya operasional lainnya sebetulnya kurang. Selama ini kami memakai dana talangan dari bank. Ini sudah mau bangkrut. Ini 75 persen Pertashop sudah mau tutup. Harapannya kami meminta pemerintah bisa lebih bijak menyikapi ini,” pungkasnya. (son/c2/fid)

GESANG, Radar Semeru – Perlahan-lahan dampak kenaikan harga BBM makin terasa. Bukan hanya pada penggunanya, tetapi juga pada pengusaha Pertashop yang ada di desa. Kecenderungan warga memakai pertalite ketimbang pertamax sebagai bahan bakar membuat sebagian besar pengusaha Pertashop terancam gulung tikar.

BACA JUGA : Lebih Hati-hati, Obat Tradisional Bisa Berbahaya!

Pertashop merupakan salah satu bentuk inovasi Pertamina dengan pemerintah untuk menjangkau pengguna BBM di pelosok desa. Namun, stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) itu hanya melayani pembelian pertamax. Informasinya, ada 35 Pertashop yang dibangun di Lumajang. Baik dikelola langsung perorangan maupun desa.

Mahendra, salah satu pengusaha Pertashop di Desa Gesang, Kecamatan Tempeh, menjelaskan, sejak pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM pada April lalu, omzet usahanya perlahan mulai menurun. Sebab, selisih harga pembelian pertalite dengan pertamax terpaut sangat jauh. Warga banyak beralih menggunakan pertalite.

“Yang naik dulu cuma pertamax, dari Rp 9 ribuan ke Rp 12.500. Saat itu masih lumayan bersaing. Karena eceran pertalite sekitar Rp 10 ribu. Warga masih ada yang mau mengisi BBM di Pertashop. Tetapi, penjualannya turun, dari rata-rata maksimal bisa 700 liter per hari, menurun jadi 200 sampai 300 liter per hari,” katanya.

Menurutnya, awal bulan September ini menjadi momen paling mengenaskan. Pasalnya, semua jenis BBM mengalami kenaikan harga signifikan. Bahkan selisihnya juga tetap jauh. Akibatnya, penjualan pertamax makin anjlok. Dalam sehari, Pertashop hanya mampu mengeluarkan seratus liter per hari. Itu pun kadang tak genap seratus.

Sementara itu, Ketua Paguyuban Pertashop Lumajang Roni Santoso menjelaskan, untuk mencapai break even point (BEP) atau titik keseimbangan, idealnya Pertashop harus mampu menjual 400 liter per hari selama empat tahun. Namun, dengan kondisi seperti sekarang rasanya sangat mustahil bisa balik modal.

“Seratus liter per hari itu kita sudah tombok. Untuk gaji karyawan dan biaya operasional lainnya sebetulnya kurang. Selama ini kami memakai dana talangan dari bank. Ini sudah mau bangkrut. Ini 75 persen Pertashop sudah mau tutup. Harapannya kami meminta pemerintah bisa lebih bijak menyikapi ini,” pungkasnya. (son/c2/fid)

BERITA TERKINI

Wajib Dibaca