SUMBERSARI, RADARJEMBER.ID – Sekitar empat bulan yang lalu, salah seorang penyandang disabilitas tuli, Risa (nama samaran), dilecehkan oleh rekannya. Namun, dia enggan bercerita mengenai hal yang menimpanya. Teman dekatnya yang kemudian menceritakan kisah yang dialami korban ke komunitas remaja inklusi.
Menurut Ketua Komunitas Remaja Inklusi Salman Al-Faris, kasus pelecehan bukan terjadi sekali itu saja. Sudah beberapa kali, namun banyak dirahasiakan. “Tahun lalu ada satu. Empat bulan yang lalu juga ada satu lagi. Mereka gak mau speak up,” kata Salman, Kamis (28/10).
Persoalan ini pun tidak sampai keluar dan menjadi sebuah kasus. Namun, selesai di internal keluarga korban dan pelaku. Keluarganya cukup malu jika persoalan ini sampai terdengar oleh banyak orang. “Cukup jadi evaluasi kami, penanganan internal keluarga,” imbuh Salman. Hal itu tentu akan membuat malu keluarga jika sampai keluar.
Kasus pelecehan seperti itu menjadi salah satu poin evaluasi di organisasinya. Bahwa semua anggota remaja inklusi seharusnya paham betul dengan hak untuk menentukan apa pun yang terjadi pada tubuh dan organ reproduksinya. Mereka harus bebas dari campur tangan siapa pun. Namun demikian, pemenuhan hak tersebut belum menjangkau perempuan penyandang disabilitas sebagai kelompok yang terpinggirkan.
Salah satu upaya untuk memperkuat dan memberikan kesadaran akan hak-hak organ tubuhnya yakni melalui pemutaran film pendek bertajuk “Nyala”. Film ini diluncurkan Yayasan Sentra Advokasi Perempuan, Difabel, dan Anak (SAPDA).
Menurut Salman, film itu hadir untuk mewakili perempuan penyandang disabilitas di seluruh Indonesia yang kini sedang berjuang memenuhi hak atas otoritas tubuh dan seksualitasnya. Tokoh Nyala adalah seorang perempuan penyandang disabilitas, mantan atlet pelari yang berjuang keluar dari bayang-bayang trauma pelecehan seksual. Ketika sahabat baiknya berada di bawah ancaman pelaku yang sama, Nyala memiliki keinginan untuk menyelamatkannya.
Terpisah, Direktur SAPDA Nurul Saadah Andriani menyampaikan, perempuan penyandang disabilitas memiliki risiko lebih tinggi menghadapi pelanggaran hak atas otoritas tubuh dan seksualitas. “Mereka rentan menjadi penyintas kekerasan seksual, kehamilan yang tidak direncanakan, pemaksaan perkawinan, dan pemakaian kontrasepsi, hingga menghadapi risiko kesehatan serius seperti penyakit menular seksual,” jelentrehnya.
Selain itu, Nurul juga menegaskan kerentanan tersebut tidak hanya berasal dari keluarga terdekat. Bisa juga dari lingkungan luar. “Misalnya, adanya stigma yang memandang mereka sebagai individu yang aseksual, atau bahkan hiperseksual,” tambahnya.
Melalui film ini, diharapkan remaja di Jember, baik yang disabilitas maupun nondisabilitas, memiliki kepedulian dan wawasan yang cukup untuk melindungi hak atas tubuhnya.
Reporter : Dian Cahyani
Fotografer : Dian Cahyani
Editor : Nur Hariri